Beranda Update Menanak Nasi Indonesia

Menanak Nasi Indonesia

0
Ket. Mario Yosryandi Sara

Oleh: Mario Yosryandi Sara*
Apakah kita kita
bisa mempercepat kemajuan kondisi bangsa? Pertanyaan ini mengingatkan polemik
kebudayaan pada kurun 1935-1939 antara Sutan Takdir Alisjahbana (STA) dan yang
lain. Polemik itu merupakan respons generasi pasca Sumpah Pemuda 28 Oktober
1928 terhadap persoalan besar cita-cita nasional segala bidang. STA yang masih
berusia 27 tahun ketika polemik merumuskan pandangannya secara jelas, betatapun
kontroversial.
Pemicu polemik
tulisan STA “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru, Indonesia dan Pra
Indonesia” yang lantas ditanggapi Sanusi pane pada Agustus-September 1935.Dari
sini polemik terus menggelinding hingga tahun 1939 dengan tambahan penanggap
lain, seperti Soetomo, Tjindarbumi, Adinegoro dan Ki Hadjar Dewantara. Tak
seperti komentar instan dan singkat di masa media social jaman kita ini, semua
pemikiran dalam polemik ditulis dengan kalimat-kalimat yang jelas, utuh dan
terbaca luas oleh publik pada zamannya.
Tulisan-tulisan
STA menegaskan, sejarah Indonesia dimulai sejak abad ke-20, ”ketika lahir
generasi baru dengan insaf hendak menempuh jalan baru bagi bangsa dan
negerinya”. Zaman baru tersebut berbeda dengan “zaman hingga penutup abad
ke-19” sebagai zama pra Indonesia. STA merekrontruksi sejarah baru Indonesia, dimana
zaman Indonesia bukan sambungan atau terusan masalalu, Indonesia dicita-citakan
oleh generasi baru, karena itu, bukan sambungan Mataram atau yang lain. Kebudayaan
Indonesia harus dicari sesuai keperluan kemajuan masyarakat.
STA berpendapat,
tali persatuan Indonesia itu kepentingan bersama. Sebuah bangsa tidak boleh
statis, tetapi harus dinamis sehingga dapat “berlomba-lomba dilautan dunia yang
luas”. STA menegaskan, bangsa Indonesia harus menanak nasi oleh karena itu
harus menghidupkan api. Ini berbeda dengan bangsa Barat yang sudah menanak
nasi, apinya sudah menyala-nyala. Bagi Barat, masalahnya ialah bagimana menjaga
agar nasinya jangan sampai hangus, maka mengurangi nyala api. Kalau bangsa
Indonesia justru memikirkan bagaimana mengurangi api, maka nasi Indonesia tidak
akan masak-masak karena apinya saja tak hidup.
Api yang
dimaksud STA ialah intelektualisme, individualisme, egoisme,dan materialisme, dimana
tiga hal terakhir ini tidak selalu bermakna negatif. Semua itu berkembang di
Barat. Karena itu, bagi STA, budaya Barat perlu dilihat karena tidak saja mampu
mendorong kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, juga filsafat, keagamaan, dan
kesusatraan. Dalam konteks waktu itu, STA mengibaratkan Indonesia lemah seperti
“pohon yang sudah mati, dahannya tiada berdaun, tiada berkembang, dan tidak
berbuah”. Kalaupun ada daun, kembang dan buahnya, “itu sangat kecil dan merana
sehingga boleh dikatakan tidak berarti dimata dunia”. Karena itu “jiwa barat”
harus diambil dan kebalikannya, yakni “jiwa nrimo” alias pasrah semata-mata, harus
ditolak.
Apakah dengan
mengsulkan agar bangsa Indonesia mengambil “jiwa barat” itu berarti STA sepakat
dengan pembaratan atau westernisasi? Dalam sebuah wawancara pada tahun 1976 STA
mengatakan “tidak embicarakan tentang Barat” tetapi mengenai “suatu
mentalitas”. STA mengaku bukan “pemuja Barat”. Dirinya sepakat dengan pendapat
Andre Malraux bahwa barat sudah tidak mampu lagi menghasilkan suatu karya agung
seperti Michelangelo di zaman Reinaisans.
STA memakai
istilah “jiwa barat” lebih merujuk pada “manusia berpikir, mengambil keputusan
dan memegang nasib ditangannya sendiri”. Pendapat demikian merupakan
perkembangan penting setelah sekian lama polemik kebudayaan. Ia melakukan
obyektivikasi justru dengan menolak mengidentikan mengambil “jiwa barat” dengan
pembaratan.
Sebagai refleksi
untuk masa kita,apakah manusia Indonesia sudah “berpikir, mengambil keputusan,
dan memegang nasib ditangan sendiri”? Pertenyaan itu dapat diringkas,dengan
sedikit modifikasi pertanyaan Kishore Mahbubani, “can’t Asian think”? dapatkah orang Indonesia berpikir? Pertanyaan
ini penting mengingat sesungguhnya ia bersifat abadi, tidak saja berlaku di
masa penjajahan, juga lazum saja di masa kini mengingat merdeka beku tentu
mandiri dalam hal kebebasan berpikir dan pengambilan keputusan yang terkait
dengan penentuan nasib bangsa.

Maka, persoalan
kita adalah bagaimana api Indonesia yang sudah menyalah sejak kemerdakaan itu
terkelola secara efektif sehingga pemanaan nasi Indonesia berjalan tanpa
kekurangan api. Api kita masih kecil nyalanya, belum seperti bangsa maju lain.
Namun, yang jelas, menanak nasi Indonesia berarti menjaga apinya tetap menyala
abadi, dan tentu ini lebih merupakan urusan dan ikhtiar jangka Panjang. 

Kepemimpinan tentu aspek penting dalam menjaga nyala api Indonesia mengingat
ada fungsi motivasi. Menjadi pemimpin bangsa yang besar seperti Indonesia tentu
saja tak mudah. Nyala api berarti identik dengan retorika pemimpin “solidarity maker”, tetapi lebih terkait
pada efektivitas dan efisiensi kebijakan yang sistematik.
Dari STA kita peroleh
catatan penting. Pertama, terkait internalisasi dan reaktualisasi nilai-nilai
Pancasila. Ini dasar dari pembentukan karakter bangsa. STA sangat menekankan
faktor nilai, sebagaimana terbetik dalam karya momentumentalnya Values as Integrating Forces in Personality,
Society and Culture
(1974). Nilai-nilai Pancasila sudah sangat tepat bagi
Indonesia sebagai bangsa yang religius dan majemuk. Selama nilai-nilai ini
terjaga dan tidak memudar atau tergeser, maka roh Indonesia masih tetap ada.
Kedua, perlunya
mengubah cara berpikir dan bersikapsecara modern, tetapi terukur dalam kerangka
kepentingan nasional. STA menekankan soal kepentingan nasional sedemikian rupa
sehingga ego kelompokdan sectoral harus ditolak. Kita harus berpikir besarsoal
kebangsaan, bukan kelompok dan apalagi hanya sekedar berpikir untuk kepentingan
jangka pendek. Tentu saja itu semua bermula dari ranah personalisasi atau
mental perorangan yang terus bergerak ke ranah nasional kebangsaan.
Ketiga, perlunya
ikhtiar melepas ketergantungan dan memantapkan budaya mandiri. Ini tidak
sekedar terkaitr dengan kepemimpinan bangsa, juga bagi khalayak yang masih
terpatri pada pola kepemimpinan patrimonaliastik atau neo-patrimonial. Kita
perlu model kepemimpinan dan kepengikutan yang otentik, dengan ciri tidak
memangkas kemandirian, kreativitas, dan inovasi. Ujung dari semua ini maka akan
terbangun jalan kemandirian bangsa.
Keempat,
perlunya penguatan sistem dan reformasi kelembagaan. Keduanya merupakan
pekerjaan rumah yang sangat serius. Parah elite yang punya tanggung jawab besar
guna mewujudkan sistem kebangsaan di segala lini, sayangnya masih banyak yang
meminjam kuntowijoyo “berkaca mata kuda”, terjebak pada masalah jangka pendek
dan konflik tidak produktif. Proses reintelektualiasasi perluh dilakukan agar
parah elite punya kesadaran dan kapasitas akademis yang baik sehingga
diharapkan mampu membuat sistem yang baik dan efektif.
Kita perluh
membentuk jiwa Indonesia sebagai jiwa yang mampu menyalakan api kemajuan itu.
Meminjam retorika Bung Hatta,  kita harus
lebih cepat dan selamat.
 *Penulis
adalah Anggota PMKRI Cabang Kupang

Exit mobile version