Beranda Update Menalar Efek Media dalam Membangun Konstruksi Berpikir dan Bersosial

Menalar Efek Media dalam Membangun Konstruksi Berpikir dan Bersosial

0
Ket. Anastasia Rosalinda (Foto: Istimewa)

Oleh:
Anastasia Rosalinda
*

Istilah konstruksi atas realitas sosial (social construction of reality) menjadi
terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman melalui
bukunya yang berjudul The Social
Construction of Reality: A Treatise in the Sociological of Knowledge (1966)
.
Ia menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, dimana
individu menciptakan secara terus menerus suatu realitas yang dimiliki dan
dialami bersama secara subyektif.
Konstruksi berpikir atau bangunan dari cara
berpikir manusia bukan hal yang alamiah atau muncul begitu saja, ada begitu
banyak elemen yang turut mempengaruhi yaitu keluarga, budaya dasar, Agama,
sosial, lingkungan sekolah, hingga Media Elektronik, media cetak,  media sosial, turut berpengaruh.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki
adab tersendiri tentang bagaimana hidup berkeluarga, berbudaya, bermasyarakat
dan berbangsa. Saya ingin mengambil contoh Suku Bugis-Makassar, dalam konsep
ke-Tuhanan orang bugis Makassar diyakini dewa yang tunggal dalam La Galigo, sewaktu Agama Islma masuk ke
Sulawesi Selatan pada abad ke-17 yang kemudian ajarah Tauhid dalam Islam begitu
mudah difahami dan diterima oleh penduduk setempat oleh karena keyakinan akan
dewa yang tungga itu. Dengan cepat bertumbuh karena kontak terus menerus dengan
pedagang Melayu Islam yang sudah menetap di Makassar mupun kunjungan orang
Bugis-Makassar kenegeri – negeri lain yang sudah berkeyakinan Islam.

Hukum Syari’ah kemudian diintegrasikan kedalam
Panngaderreng dan menjadi Sara’ sebagai suatu unsur pokok darinya
dan kemudian malahan menjiwai keseluruhannya. Sara’ kemudian disusun oleh organisasi ade’ dan berkembangkaan suatu pembagian lapangan dimana Sara’ mengatur kehidupan kerohanian dan Ade’ mengatur kehidupan keduniawian dan
politik. Dalam kehidupan masyarakat Bugis-Makassar juga dikenal dengan istila Siri’, konsep siri’ itu telah diberi interpretasi bermacam-macam, salah satunya
adalah identitas sosial dan martabat orang bugus atau harga diri yang dianggap
sebagai hal yang terpuji juga terhormat. 

Bagi suku Bugis-Makassar, orang yang
kehilangan harga dirinya sama halnya dengan bangkai hidup (Mate Siri”). Dan kenyataan sosial orang bugis dapat diobservasi,
orang – orang Bugis-Makassar yang cepat merasa tersinggung, jika harga dirinya
terenggut nyawapun dipertaruhkan. Jadi budaya begitu mempengaruhi konstruksi
sosial pada zamannya.
Dewasa ini sebuah fakta/realitas cenderung
dipengaruhi oleh media khususnya media elektronik (TV)
dan sosial media lainnya
yang kian membentuk konstruksi berpikir dan kehidupan bersosial seorang,
dalam hal ini realitas bersifat subjektif.
Reali
tas berasal dari konseptor atau orang yang
berperan dibelakang layar, kemudian menggunakan media sebagai penyalur konsep
hingga tersebar secara merata dilakangan masyarakat. Singkatnya yang membentuk
konstruksi sosial bukanlah media elektronik, media elektronik hanyalah alat
dari para konseptor yang memiliki 
kepentingan jangka panjang.
Salah satu contoh keberhasilan dalam
menggunakan media elektronik sebagai pembentuk konstruksi sosial adalah
sinetron, dimana realitas yang dibangun sesuai dengan keinginan konseptor.
Dalam setiap sinetron-sinetron ditampilkan seorang religus melalui
simbol-simbol, seperti orang baik yang nantinya akan masuk surga disimbolkan
dengan penggunaan atribut agama, tidak perna berkata kasar sedikitpun, tidak
menggunakan tatto, tidak perokok kemudian kehidupannya cenderung menderita atau
termarginalkan. Sementara sijahat yang nantinya ketika mati niscaya masuk
neraka adalah mereka yang menggunakan pakaian serba kekurangan kain, bertato,
perokok, peminum minuman keras, dan kehidupan yang borjuis.
Tanpa kita sadari konstruksi sosial itu
kemudian menjadikan manusia melampaui hak Ke-Tuhanan,
menjadikan manusia menjudgetifikasi sesamanya sebagai
pendosa, dan menilai keimanan dari simbol atau realitas yang dapat dijangkau
oleh indera kemudian menganggap diri jauh lebih baik. Juga mengesampingkan hal
mendasar dari pada hakekat hidup bersesama. Tidakkah kita diciptakan sebagai
seorang yang munafik?
, menunjukkan
kebaikan dengan atribut lalu membangun sekat sosial dengan orang lain.
Pernahkan terpikir bagaimana jika seorang
pemabuk, malang melintang di
dunia
malam tetapi pada satu titik ia membesarkan anak layaknya orangtua, dan seorang
yang dianggap tidak perna keluyuran, menggunakan atribut atau simbol yang baik
lalu melakukan tindakan aborsi dengan dalil menjaga nama baik keluarga bahkan
demi tetap terlihat baik-baik dimata masyarakat. Membunuh tentunya tindakan
yang dilarang oleh seluruh kepercaan yang ada di Indonesia.

Contoh berikutnya bagaimana konseptor
membentuk opini publik saat suksesi Pilpres, masyarakat seolah dipetakkan
menjadi dua kubuh, mulai dari kubu cebong dan kubu kampret. Simbolisasi itu
kemudian berkembang begitu pesat dikalangan Netizen pengguna media sosial
hingga menjadi trend tersendiri dan jika ditelaah lebih lanjut tentunya ada
tujuan yang jauh lebih besar dalam pembentukan opini publik ini. 

Bukan sekedar
memperoleh materi berupa uang, tetapi memudarkan politik gagasan, memudarkan
kebijakan yang tidak pro terhadap kepentingan rakyat karena masyarakat
disibukkan untuk saling membully bahkan menimbulkan konflik horizontal.
Kemungkinan berikutnya konseptor ini terdiri dari satu orang yang berperan
ganda seolah berasal dari dua kubu yang berbeda, disini kecerdasan netizen
menjadi penentu saat media begitu liar dalam pemberitaan.

Politik memang merupakan jembatan menuju
kemaslahatan bersama tetapi para elit politik mencoba menampilkan kesadaran
palsu bahwa yang abadi dalam politik adalah kepentingan mereka, dengan segala
daya upaya memudarkan kenyataan bahwa tugas mereka bukan sekedar mengemban
gelar sebagai elit politik tetapi bagaimana menjadikan upaya baik pribadi,
kelompok, partai politik sebagi pendidikan politik yang mendewasakan demokrasi Indonesia.
Disini masyarakat dituntun menjadi lebih cerdas, tidak sekedar cerdas tetapi
bijaksana dan berbudaya sebab banyak juga orang cerdas yang tenggelam dalam
arus konstruksi sosial oleh konseptor media.

*Penulis adalah Ketua Presidium Perhimpunan Mahasiswa Katolik
Republik Indonesia Cabang Makassar St. Albertus Magnus Periode 2018/2019

Exit mobile version