Menagih Kepahlawanan Generasi Muda Dalam Tawanan Neokolonialisme

Menagih Kepahlawanan Generasi Muda Dalam Tawanan Neokolonialisme. Peringatan hari pahlawan setiap 10 November merupakan momentum penting bagi bangsa Indonesia untuk merefleksikan jasa dan pengorbanan para pejuang bangsa di era pra dan awal-awal kemerdekan republik Indonesia dalam melawan penjajah.

Sejarah panjang perlawanan dan heroisme rakyat nusantara dalam setiap fase perjuangan menuju kemerdekaan tentu menjadi spirit dan referensi historis bagi generasi muda untuk terus menegakan jas merah dan menjadi pahlawan diera modern.

Sebelum deklarasi proklamasi, kemerdekaan kita mengetahui bahwa para pahlawan bangsa dalam melawan penjajah dengan mempertaruhkan darah dan nyawa demi memerdekakan Indonesia. Kekuataan konvensional dan kesadaran rakyat sebagai bangsa yang memiliki nasib, cita-cita dan prinsip untuk menjadi manusia dan sebuah negara yang merdeka di tengah pahit dan perihnya penindasan yang dilakukan oleh bangsa kolonial Belanda dan inggris.

Baca juga: Menpora RI Dito Ariotedjo Siap Mendukung Konferensi Studi Nasional PMKRI di Denpasar

Kolonialisasi bangsa barat dengan motif ekonomi berujung pada mengakarnya watak dominasi, ekspansi dan eksploitasi bangsa penjajah di bumi nusantara sejak abad 16an membuat rakyat semakin diperhadapkan dengan situasi sulit, kerja paksa , intimidatif dan penghisapan sistemik atas kekejaman bangsa penjajah sehingga sense of freedom,independent dan sense of heroism mulai bangkit untuk menumbangkan eksistensi dan penghisapan penjajah.

Memuncaknya sikap dan perlawanan yang berbasis pada semangat kepahlawanan pada 10 November 1945 yang dibuktikan dengan pertempuran yang menggugurkan ribuan hingga belasan ribu nyawa manusia (hero) di Surabaya pada 1945 merupakan hari bersejarah dalam memuluskan perjalanan awal kemerdekaan Indonesia sebagai negara merdeka. Tentu awal dari kemerdekaan bukan berarti akhir dari kolonialisme melainkan titik awal menghadapi bentuk baru dari kolonialisme itu sendiri.

Konklusi historis yang meletakan status pahlawan dimasa lampau sebagai patriot/pejuang dalam menumpas dan merobohkan tembok besar kolonialisme dalam memperjuangkan kemerdekaan dari tangan penjajah bukanlah akhir dari tugas pahlawan itu sendiri. Eksistensi dan hakikat pahlawan di tengah dinamika, perkembangan, globalisasi dan kompleksnya diskursus tentang penjajahan terhadap bangsa Indonesia mengharuskan kita untuk terus menjadi pahlawan bagi bangsa kita dalam melawan Neokolonialisme post kemerdekaan.

Baca juga: Bahas Isu Ekologi – Keadilan Iklim di KSN 2023, PMKRI Ajak Kementerian Lingkungan Hidup Kolaborasi

Berakhirnya kolonialisme terhadap bangsa Indonesia sama sekali tidak menunjukan bahwa Indonesia benar-benar merdeka secara utuh dan penuh atas kedaulatannya. Pasca kemerdekaan Indonesia secara substansial, masih dililiti benih-benih penjajahan yang menjalar di setiap sendi-sendi utama kehidupan berbangsa dan bernegara mulai dari sistem politik, ekonomi maupun ideologi.

Secara teoritik kita bisa memahami secara sederhana bahwa era kolonialisme basis jajahannya yaitu ekspansi dan penaklukan suatu wilayah jajahan dengan cara-cara kekerasan, militerisme atau perang konvensional (hard power) sehingga sangat terasa secara langsung efeknya seperti halnya belanda, inggris menjajah Indonesia diera penjajahan sehingga dapat dipahami secara telanjang siapa musuh kita dan bagaimana mereka merampok kekayaan alam kita.

Neo-kolonialisme sebagai upaya untuk melanggengkan penindasan, penjajahan terhadap negara lain dengan mengendalikan paradigma ideologis, perang psikologis serta mengontrol sistem suatu negara secara tidak langsung sehingga masyarakat tidak mengetahui dan apa sesungguhnya yang sedang terjadi. Penjajahan neokolonialisme juga sering disebut ( soft power) sebagai upaya mengendalikan sistem politik dan ekonomi sehingga kebijakan politik dan ekonomi menguntungkan segelintir golongan dan mengorbankan masyarakat kecil.( Baca. perang asimetris ).

Salah satu peristiwa konkrit praktek neokolonialisme, seperti yang kita saksikan dengan miris dan tragis peristiwa di Rempang- Batam Kepulauan Riau beberapa waktu lalu. Masyarakat dipindah paksa, lahannya dieksploitasi, aparat negara dikerahkan,kejahatan lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia hanya untuk memuluskan proyek strategis nasional (eco-park) yang secara faktual milik korporasi/investor dengan memakai tangan negara . Negara terkesan sebagai alat pemukul bagi penjajah ekonomi alias invasi ekonomi berkedok investasi.

Dalam soal lain proyek geothermal yang masif di beberapa titik di NTT, kehadiran proyek ini juga sama sekali tidak menjawab secara mendasar kebutuhan masyarakat Karena pada dasarnya pemerintah sudah dikendalikan oleh investor yang mengkapitalisir keberadaan masyarakat ditempat. Desain dan pola untuk memuluskan itu seperti yang terjadi di Rempang dan tidak berimplikasi terhadap kesejahteraan masyarakat setempat. Masih banyak peristiwa lain di beberapa daerah di Indonesia karena kebijakanya lahir dari titipan investor, oligarki, korporat yang berselingkuh dengan birokrat setempat untuk kepentingan kumulatifnya.

Realitas politik hari ini yang semakin mengkhawatirkan dan berjarak dengan isu-isu kerakyatan seperti kemiskinan, terbatasnya lapangan kerja, mahal dan rendahnya mutu pendidikan, pengendalian kekayaan ekonomi ditangan korporat/oligarki membuat dan menuntun generasi muda untuk terus memperjuangkan dan menghidupkan ulang semangat kepahlawanan bagi diri, lingkungan masyarakat dan bangsanya.

Panggung politik yang dikendalikan oleh elit ekonomi, kaum ningrat, dan dinasti politik tidak lain sebagai implikasi dari lahirnya kembali kolonialisme gaya baru yang diaktori oleh bangsa sendiri yang ditunggangi oleh feodalisme baru dinasti politik sehingga rakyat hanya mengkonsumsi ampas dan menghirup polusi politik yang tidak berpihak pada masalah rakyat sehingga kekayaan alam Indonesia hanya dinikmati oleh penguasa dan korporat. (baca, system Ekonomi dan politik Indonesia ).

Pada saat yang sama keadaan dan kesadaran masyarakat sipil di tengah gerakan buruh, petani mahasiswa dan gerakan extra birokratis/parlementer yang masih parsialitas di tengah realitas hari ini membuat actor politik terus berselancar diatas gelombang neokoloniaslisasi yang mereka ciptakan dan nikmati. Elit politik dan ekonomi juga mengendalikan opini publik, membelah informasi, mengacaukan psikologi masyarakat sehingga publik tergiring pada corong kebenaran yang by design dan manipulatif apalagi di iklim politik menuju 2024. Kekacauan narasi politik ,delegitimasi lembaga penegakan hukum, intervensi proses judicial semakin tak tak kunjung berakhir membuat rakyat sekedar objek di tengah keterbatasan kesadaran dan pengetahuannya.

Dengan peringatan hari pahlawan ini, berharap generasi muda bisa menjadi pahlawan diera sekarang untuk mendiskursuskan dan mewujudkan kembali rasa, spirit dan api perlawanan yang lenyap di tengah neokolonialisasi elit yang menggelinding di panggung publik dan Istana.

Tidak adanya kesadaran kritis- kolektif di tengah kerapuhan proses bernegara, menjadi momentum penting agar penjajah baru yang mengendalikan sistem politik dan menguasai ekonomi Indonesia hari ini dapat ditumbangkan/dirontokan oleh awareness dan soliditas kepahlawanan generasi muda atas ide, konsep, gerakan perlawanan kelas yang terpimpin, tersystem dan ter komando bersama rakyat. Sehingga kemerdekaan tekstual berubah menjadi kemerdekaan substansial baik ekonomi, politik maupun pendidikan.

Exit mobile version