Langsung ke konten utama
Membangun Masyarakat Tangsel yang Pancasilais
Fahd Pahdepie |
Hari ini kita merayakan hari kesaktian Pancasila. Momen bersejarah yang harus kita maknai sebagai titik tolak sekaligus titik kembali dalam rangka membangun manusia Indonesia yang Pancasilais. Bagaimana mengerjakannya di level kota?
Pancasila adalah konsensus, ia harus menjadi titik tengah yang membuat semua pihak bertemu, menyatakan komitmennya, serta mengamalkan nilai-nilainya. Pancasila harus menjadi ruh sebuah kota untuk melaksanakan kerja-kerja pembangunannya, sekaligus menjadi tubuh yang mencerminkan tatanan masyarakat yang berketuhanan, berperikemanusiaan, guyub, toleran, demokratis dan berkeadilan.
Sebagaimana sila dalam Pancasila, ada lima prinsip penting yang perlu dipegang untuk membangun masyarakat Tangsel yang Pancasilais.
Pertama, sila Ketuhanan Yang Maha Esa harus dibumikan menjadi nilai-nilai religiusitas yang tercermin dalam kehidupan bermasyarakat. Masjid dan tempat-tempat ibadah lainnya harus menjadi poros utama untuk menghidupkan peradaban kota.
Tempat ibadah adalah titik kilometer nol di mana masyarakat bisa menemukan kebijaksanaan, pelajaran serta teladan untuk menjadi manusia yang berakhlak–menjadi masyarakat yang berbudi pekerti. Masjid dan tempat ibadah lainnya harus menjadi barometer pembangunan kota. Bukan hanya diperhatikan dan difasilitasi secara fisik, tetapi juga dibangun aspek-aspek sosial-budayanya.
Titik nol yang lainnya adalah makam. Ciri sebuah kota dengan masyarakat yang maju dicerminkan melalui perlakuan pemerintah dan warganya terhadap pemakaman. Makam tidak boleh dilihat semata sebagai sebuah tempat untuk mengubur jasad orang-orang yang sudah meninggal, melainkan tempat untuk menyimpan ingatan dan perasaan orang-orang di masa lalu.
Kesadaran untuk membangun area pemakaman yang layak, bersih, dan tertata rapi adalah wujud masyarakat yang berketuhanan. Pemerintah kota harus hadir secara baik bukan hanya ketika melayani warga barunya yang lahir, tetapi juga melepas dan memperlakukan dengan baik mereka yang telah tiada.
Kedua, sila kemanusiaan yang adil dan beradab harus diejawantahkan melalui pembangunan karakter manusia Tangsel yang berbudaya. Adab yang baik merupakan hasil dari budaya yang baik. Maka kebudayaan harus menjadi poros kedua yang berfungsi mendidik masyarakat kota yang berkeadaban (tamadun) itu. Pelaku dan pusat-pusat kebudayaan harus diperhatikan dengan baik, diberdayakan dan disejahterakan.
Masyarakat yang berkeadaban adalah juga masyarakat yang terdidik. Maka layanan pendidikan harus merata untuk semua warga. Bukan hanya penyelenggaraan dan pencapaian jenjang pendidikannya, tetapi juga pemenuhan fasilitas-fasilitasnya yang setara dan paripurna. Sekolah-sekolah, sanggar-sanggar kesenian, padepokan-padepokan bela diri, dan lainnya harus menjadi pusat-pusat pendidikan karakter masyarakat.
Ketiga, sila persatuan Indonesia harus bisa mendorong tatanan masyarakat kota yang guyub, rukun, toleran, inklusif dan punya tradisi kolaborasi (gotong royong). Tidak boleh ada kelompok yang merasa lebih tinggi, lebih berkuasa, dan lebih berdaya dari kelompok yang lain. Pemerintah kota harus memastikan tidak ada satupun warganya yang terdiskriminasi dan termarjinalkan.
Hal ini harus ditopang oleh politik regulasi yang adil, tidak memihak atau menguntungkan pihak tertentu saja. Kebijakan pemerintah kota harus berpijak pada pemenuhan hak-hak sipil setiap warga secara non-diskriminatif. Tidak bias gender, suku, golongan, agama, dan seterusnya.
Keempat, sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan perlu dipahami sebagai prinsip kita dalam membangun Tangsel secara demokratis. Agenda pembangunan tidak boleh berangkat dari kehendak dan pikiran elit, tetapi harus berakar dan berpijak kepada kepentingan masyarakat banyak.
Budaya rembug mesti dibangun dari level RT-RW, mengalir menjadi aspirasi ke level kelurahan, diserap di level kecamatan, untuk kemudian dieksekusi menjadi kebijakan di level kota. Musrembang harus dikerjakan secara kolektif dari struktur masyarakat terbawah, bukan sekadar formalitas belaka.
Kelima, sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah tolok ukur pembangunan kota. Prestasi sebuah kota tidak boleh hanya diukur dari penyelenggaraan acara-acara yang bersifat seremonial, piagam penghargaan, trofi atau lainnya. Keberhasilan sebuah kota adalah hadirnya keadilan sosial di tengah masyarakat. Bahwa percepatan pembangunan sebuah kota, laju perekonomiannya, penyelenggaraan layanan publiknya, tidak boleh meninggalkan luka dan rasa kalah pada sebagian warganya.
Penyelenggaraan pemerintahan kota yang efektif, politik anggaran yang efisien dan transparan, serta kerja-kerja pelayanan publik yang empatik, merupakan modal penting untuk menciptakan keadilan sosial tadi. Hadirnya para birokrat yang berintegritas, profesional, dan punya jiwa melayani merupakan elan vital dari sebuah kota yang madani.
Tidak boleh ada warga yang sakit tanpa terobati dan mendapatkan layanan kesehatan yang memadai. Tidak boleh ada warga yang putus sekolah. Tidak boleh ada warga yang merasa tidak berdaya. Tidak boleh ada warga yang merasa tidak aman. Tidak boleh ada warga yang diperlakukan tidak adil. Itulah di antara ciri-ciri sebuah masyarakat kota yang menerapkan nilai-nilai Pancasila.
Akhirnya, jika kita memiliki visi dan perspektif semacam itu, membangun masyarakat Tangsel yang Pancasilais bukan sekadar jargon belaka. Bukan semata ‘lip service’ yang muncul dalam pidato. Tetapi menjadi fondasi berfikir dan bertindak. Untuk kelak membumi menjadi nilai-nilai yang nyata di tengah-tengah kita.
Selamat hari kesaktian Pancasila. 1 Oktober 2019.
*Penulis: Fahd Pahdepie – Bakal Calon Walikota Tangerang Selatan 2020-2024