Laudato Si dan Pembangunan di Yogyakarta

Sumber foto: www.metrotvnews.com

Oleh: Imanuel Turot*

Dalam  perkembangan menghadapi tindakan keserakahan dan arogansi manusia terhadap saudarinya ibu bumi, Paus Fransiskus mengangkat kembali seruan atraktif santo Yohanes Paulus II agar manusia melakukan Pertobatan Ekologis. 

Kita diajak untuk berbalik, memutar haluan, merubah pola pikir dan pola bertindak kita sebagai penghuni ibu pertiwi masa kini. Pola pikir dan bertindak baru perlu dikumandangkan. Pola baru itu berkenaan dengan cara memandang keindahan dan rasa tanggung jawab kita untuk melestarikan rumah kita bersama ini daripada mengeksploitasi habis-habisan isi perut bumi dan menghilangkan keindahan “saudari” kita ini.

Sentuhan humanis ensiklik ini melekat pada karakter pribadi Paus Fransiskus, pencetus surat apostolik Evangelii Gaudium. Kesegaran hidup penuh sukacita injili ditampilkan.

Paus menegaskan dalam ensiklik  Laudato Si bahwa di tengah hiruk pikuk pemerkosaan terhadap ibu bumi yang dilakukan saudara-saudari manusia tamak, arogan, sesungguhnya ada secercah harapan. Tidak sedikit saudara-saudari manusia di planet ini mempunyai jiwa serta semangat memelihara ibu bumi, rumah kita bersama ini.

Dimana-mana berkecambah dan bertumbuh subur kesadaran di kalangan manusia berhati baik untuk memperhatikan lingkungan, menjaga alam, memelihara air, menumbuhkan pohon-pohonan, dan mengatasi polusi udara. Pengakuan akan realitas positif ini menjadi bagian intrinsik dari ensiklik ini.

Mengakui kenyataan ini, Paus Fransiskus menegaskan, “Kita manusia ini mempunyai kemampuan untuk melahirkan tindakan yang positif terhadap ibu bumi, walau tidak disangkal anda juga anak manusia yang bertindak semena-mena terhadap saudari ibu bumi.  Marilah kita memilih untuk mengembangkan kemampuan positif pada diri kita.”

Inilah saatnya kita memulai lagi bertindak dalam semangat pertobatan ekologis. Seruan Pertobatan ekologis mengajak kita untuk melakukan dialog lintas agama dan dialog kemanusiaan. Ensiklik ini bermuara pula pada inti hidup manusia.

Peristiwa perjumpaan antarmanusia ditempatkan selaras dengan perhatian untuk memelihara ibu bumi. Paus Fransiskus mengalamatkan ajarannya ini pertama-tama tertuju kepada umat katolik. Beliau mengingatkan, “sadarilah tanggung jawab kita terhadap alam ciptaan Tuhan dan kewajiban mereka terhadap alam semesta dan Pencipta.”

Pelaksanaan tanggung jawab dan kewajiban ini merupakan bagian integral dan esensial dari hidup beriman. Tetapi Paus Fransiskus mengarahkan pandangannya terhadap sesama umat manusia yang mendiami planet bumi ini.

Dia mengakui adanya gerakan-gerakan memeliharan ibu bumi yang dimotori oleh Gereja-gereja Kristen lainnya dan juga umat beragama lain.  Diakuinya pula institusi dan yayasan-yayasan kemanusiaan yang mengutamakan penyelamatan ibu bumi. 

Yogyakarta dan Pembangunan Yang Menyengsarakan

Saat ini, Yogyakarta tengah menggalakkan banyak pembangunan. PMKRI Cabang Yogyakarta mengambil posisi tegas dalam menyikapi berbagai pembangunan ini dengan berlandaskan pada perspektif Laudato Si ini. Ada tiga megaproyek yang sedang digarap di Yogyakarta, yaitu pembangunan Bandara Internasional, pertambangan pasir besi, dan pembangunan pabrik baja. 

Pembangunan Bandara Internasional disebut-sebut sebagai proyek strategis nasional, sesungguhnya kegagalan Jogja mempertahankan pertanian pesisir selatan berproduktivitas tinggi dan khas budaya Jogja. Pemerintah Indonesia diwakili PT. Angkasa Pura I bekerjasama dengan investor India, GVK Power and Infrastrukture dalam megaproyek ini.

Pembangunan bandara melalui penerbitan izin penetapan lokasi oleh Gubernur dan pembebasan lahan dilakukan sebelum ada izin lingkungan. Setelah rentetan tak jelas karena cacat prosedur, para petani tetap dipaksa angkat kaki melalui UU Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum. Hak petani yang menolak proyek seperti paguyuban warga Wahana Tri Tunggal, terabaikan. Uang ganti rugi tetap dititipkan di pengadilan.

Di Bantul, warga Parangkusumo, menghadapi ancaman penggusuran untuk pembangunan Parangtritis Geomaritime Science Park. Ia didapuk sebagai kawasan konservasi di tanah yang diklaim sebagai Sultan Ground. Di Gunung Kidul, warga Watu Kodok berjuang karena terusir investor yang merasa berhak menggusur warga melalui surat sakti yang dikeluarkan lembaga swasta Kesultanan.

Di Kota Yogyakarta dan Sleman, warga menolak masifnya pembangunan hotel, mall, dan apartemen. Pembangunan itu disebut merusak tatanan sosial, lingkungan, dan budaya masyarakat. Paling terasa, pembangunan menyebabkan air sumur warga kering akibat penyedotan air tanah berlebihan dan tanpa mentaati prosedur.

Presidium Gerakan Kemasyarakatan PMKRI Cabang Yogyakarta St. Thomas Aquinas, Rendra Warang dalam beberapa kesempatan aksi terus mengecam keras bentuk-bentuk penggusuran paksa yang banyak melahirkan korban rakyat. Pemerintahan saat ini justru memilih tak bersikap tegas dengan dalih hak keistimewaan Yogyakarta. Sikap ini, katanya, mengindikasikan pemerintah turut melanggengkan praktik-praktik feodalisme di Yogyakarta yang menjadi sebab konflik agraria.

Warga Parangkusumo, misalnya, lahan yang mereka tempati masuk Sultan Ground. Warga menilai penetapan wilayah konservasi Gumuk Pasir akal-akalan pemerintah guna memuluskan pembuatan lapangan Golf 65 hektar.

Klaim-klaim sepihak atas nama Sultan Ground untuk merampas tanah rakyat jelas harus diakhiri. Penggusuran merupakan bentuk pemiskinan struktural. PMKRI Cabang Yogyakarta menyampaikan pentingnya perencanaan dan konsultasi bersama warga sebelum pembangunan dilakukan.

Selain itu, kebijakan penggusuran tanpa menyiapkan tempat relokasi terlebih dahulu agar warga dapat melanjutkan hidup adalah tindakan sembrono. Penggusuran paksa tak hanya mengancam hak perumahan warga juga berpotensi besar memunculkan pelanggaran hak-hak sipil dan politik, missal, hak hidup, hak dilindungi, hak tak diusik privasi, keluarga, dan rumah, dan hak menikmati kepemilikan tenteram.

Bagi orang-orang terimbas yang tak mampu menyediakan berbagai kebutuhan mereka, negara harus menerapkan segala ukuran yang tepat untuk memastikan perumahan, pemukiman, dan akses alternatif tanah produktif. 

*Penulis merupakan Presidium Hubungan Perguruan Tinggi PMKRI Cabang Yogyakarta

RELATED ARTICLES

Most Popular