Korupsi dan Strategi Penguatan Akuntabilitas

Erens Holivil (Foto: Dok. Pribadi)

Oleh: Erens Holivil*

Sementara publik merasakan
geliatnya euforia demokrasi hari-hari ini, tiba-tiba persoalan korupsi kembali
mencuat ke permukaan. Wakil Ketua DPR nonaktif, Taufik Kurniawan, diperiksa
sebagai tersangka kasus dugaan suap pengurusan Dana Alokasi Khusus (DAK) Kabupaten
Kebumen. Taufik diduga menerima Rp 3,65 Miliar dari Bupati Kebumen, Muhammad
Yahya Fuad. Yahya sebelumnya sudah dijerat KPK dalam kasus suap DAK bersama 8
orang lainnya (Kompas.com,12/2/2019). 
Lagi-lagi, kasus ini menjerat
beberapa oknum di lembaga birokrasi dan legislatif. Lembaga yang sebetulnya
menjadi pilar demokrasi, tetapi malah menjadi salah satu episentrum korupsi.
Ini ironis, karena di lingkungan birokrasi sekalipun, yang sebetulnya punya
tanggunjawab besar dalam proses pembuatan kebijakan, gerbong korupsi masih
sangat terbuka.

Tentu
persoalan ini memantik perhatian masyarakat, walaupun meresponya dengan cara
yang berbeda-beda. Ada yang muak dan karenanya apatis dengan masalah korupsi. Sikap
seperti ini bisa dimengerti, sebab secara in se korupsi merusak seluruh tatanan
hidup rakyat. Tetapi apakah dengan sikap seperti itu, masalah korupsi lenyap
dari problem kebangsaan ini.

Kita
memang risih dengan problem itu, tetapi melihat korupsi secara komprehensif
masih sangat penting. Penting, karena korupsi punya dampak luar biasa dalam
kehidupan masyarakat. Seperti ungkapan Kofi Annan, seorang mantan sekjen PBB
dalam acara promulgasi Konvensi PBB Antikorupsi tahun 2004, bahwa korupsi
adalah sebuah wabah dengan spectrum dampak sangat luas yang menghancurkan
tatanan sosial, tatanan ekonomi pasar, menurunkan kualitas hidup, dan
menyuburkan kejahatan terorganisir. Dengan alasan itu, maka menelaah masalah
korupsi masih sangat relevan.

Korupsi, Remunerasi, dan Lemahnya Sistem Akuntabilitas

Harus
diakui, bahwa fenomena korupsi masih masif terjadi di bangsa ini. Dalam banyak
kasus korupsi, oknum DPR/DPRD yang paling rentan dengan prilaku korup. Merilis
data KPK, dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2018, pejabat DPR/DPRD yang
terlibat kasus korupsi sebanyak 247 orang, Gubernur 20 orang, dan
Walikota/Bupati dan Wakil sebanyak 101 orang (https://acch.kpk.go.id, update
31/12/2018). Jelas, DPR/DPRD pencetak rekor paling banyak dalam menghasilkan
para koruptor.

Tentu
tidak hanya terjadi dalam tubuh internal legislatif, di lembaga birokrasi yang
notabene sebagai lembaga pembuat kebijakan, juga menjadi tempat kumpulan para
koruptor. Ada banyak bentuk kasus korupsi di dalam internal birokrasi itu,
yaitu berupa penyuapan, penggelapan, gratifikasi, pemerasan, dan penyimpangan
dalam pendanaan. Saya kira masih segar dalam ingatan kita akan kasus-kasus
korupsi di lingkungan birokrasi beberapa tahun silam. 

Rentetan kasus korupsi
seperti fenomena Bank Century dan Wisma atlet yang melibatkan pejabat kemenpora
sampai hari ini belum selesai. Kasus itu masih berkembang dengan pengungkapan
tersangka baru, seperti Mantan Kemenpora Andi Malarangeng dan Mantan Ketua
Partai Demokrat Anas Urbaninggrum. Beberapa pihak kemudian beranggapan bahwa
kedua kasus ini masih terus berkembang dan disinyalir menyeret beberapa
petinggi di negara ini.

Dari
semua kasus korupsi itu, satu hal yang pasti bahwa ternyata pintu korupsi masih
selalu terbuka para birokrat dan politisi, sejauh pemerintah bersikap apatis.
Padahal, sesungguhnya dampak korupsi itu sangat masif bagi masyarakat luas,
terutama masyarakat miskin. Sehingga tidak heran kalau Daniel F. Finn melihat
korupsi sebagai praktik perampasan tanpa rasa kemanusiaan atas hak-hak orang miskin
dan terpinggirkan (Daniel F. Finn, 2014). Akibat langsung dari korupsi untuk
orang-orang miskin tanpak dalam fenomena sekolah tanpa buku, dan kualitas
infrastrukut yang buruk, misalnya jalan raya, transportasi publik, dan pelayan
air minum dan listrik.

Dari
realitas buram ini, Lantas kita pun bertanya; apa yang seharusnya dibuat
pemerintah dan masyarakat? Mengapa penyakit ini terus menghantui kehidupan
bangsa kita? Dari faktanya, dalam hal tertentu pemerintah gagal dalam membuat
strategi analisis yang holistik terhadap kasus korupsi. Arah program
penanggulangan korupsi selama ini terbatas pada pelaku korupsi sebagai manusia
ekonomi atau homo economicus. Oleh karenanya kebijakan-kebijakan yang diambil
oleh pemerintah hanya berupa remunerasi atau pemberian punishment sebagai efek
jera.

Salah satu wujud dari remunerasi
adalah reformasi pemberian penggajian pegawai pemerintah, sebagaimana halnya di
Singapura dan Hongkong (Stupenhurst & Langseth, 1997). Pengabdosian
kebijakan ini, oleh negara dipercaya sebagai kebijakan yang otentik  dalam upaya mengurangi prilaku korup.

Upaya
renumerasi ini ternyata tidak efektif dalam kontek keindonesiaan kita. Nafsu
liar para koruptor toh masih terus terjadi di beberapa kementrian atau
institusi pemerintah. Kasus mafia pajak Gayus Tambunan, penyelewengan pangadaan
alat simulator SIM oleh Joko Susilo, mafia kasus Akil Mochtar (Institute of
Governance and Public Affairs, Magister Administasi Public UGM, 2014), dan
kasus kolusi antara DPR dan Bupati, merupakan rentetan kasus dari tidak
efektifnya renumerasi sebagai instrument pengurangan angka korupsi. Dengan kata
lain, kebijakan remunerasi belum dapat memberikan jaminan birokrasi bersih dari
korupsi.

Selian
kebijakan renumerasi, penyebab lain yang bisa kita liat dari kegagalan
penuntasan kasus korupsi ini adalah tidak adanya akuntabilitas yang kuat. Dalam
hubungan dengan ini, Robert Klitgaard mengaskan bahwa korupsi terjadi karena
adanya monopoli kekuasaan yang terjadi karena para pemegang otoritas memiliki
diskresi atau keluasaan dalam menjalankan kekuasaan serta tidak adanya
akuntabilitas (Klitgaard, 2000). Artinya, masalah korupsi lebih disebabkan
adanya kekuasaan dalam monopoli kekuasaan serta tidak ditunjangi akuntabilitas
publik yang kuat.  

Praktikntya
selama ini, bangsa ini sudah memiliki sistem akuntabilitas anggaran publik.
Tentu tujuannya jelas untuk mempersempit ruang gerak para koruptor. Namun,
dalam banyak hal terdapat substansi peraturan tentang akuntabilitas penggunaan
keuangan negara masih bersifat internal dan cendrung formalistik. Hasilnya
kongkalikong antara Bupati dan DPRD masih sangat mungkin terjadi. Seharusnya,
akuntabilitas ini bisa memberikan porsi yang lebih bagi akuntabilitas eksternal
terutama kepada masyarakat.

Strategi Penguatan Akuntabilitas

Sadar
atau tidak, korupsi di Indonesia menjadi monster berbahaya bagi keberlangsungan
kehidupan masyarakat luas. Oleh karenanya, akar masalah korupsi harus bisa
dijelaskan lebih komprehensif dan tersutruktur. Sistem akuntabilitas yang kuat
merupakan salah satu isntrumen guna membersikan birokrasi dan DPR/DPRD dari
praktik korupsi. Sistem akuntabilitas yang kuat bisa diwujudkan melalui konsep
trippel accountability (akuntabilitas kepada tiga pihak):

Pertama,
akuntabilitas secara vertikal. Konsep ini mengharuskan pemerintah daerah
melakukan pertanggunjawaban kebijakan (termasuk keuangan) kepada pemerintah
provinsi, kemudian diteruskan kepada kementrian dalam negeri. Karena itu,
secara vertikal ada garis kontorl pemerintah pusat terhadap pelaksanaan
pemerintah daerah, yang kemudian diperkuat dari arah horizontal melalui DPRD
dan masyarakat. Karena bagaimanapun banyak kepala daerah terjerat korupsi
karena minimnya kepekaan dan kontol pemerintah pusat.

Kedua,
akuntabilitas secara horizontal. Konsep ini mengharuskan pemerintah untuk
bekerja sama dan bersinergi dengan DPR. Bagaimanapun DPRD adalah lembaga
representatif untuk kepentingan rakyat, maka sudah seharusnya semua kepentingan
publik terwakili di sana. Jadi DPR/DPRD mesti menjadi mediasi untuk menjawabi
seluruh kepentingan rakyat, sehingga pemerintah bisa dengan cepat menjawabi
persoalan rakyat. Saya kira korupsi bisa diatasi, kalau birokrasi dan DPR bisa
menyatukan misi kemanusiaan untuk membangun bangsa yang lebih maju.

Ketiga,
akuntabilitas berbasis rakyat. Konsep ini penting, karena mengaskan pentingnya
partisipasi publik dalam seluruh kebijakan pemeintah. Prinsip dasarnya adalah
adanya mekanisme pertanggungjawaban yang berbasis kelompok. Masyarakat diberi
porsi yang lebih dalam penyelanggaran akuntabilitas publik. Karena itu
masyarakat bisa diposisikan sebagai salah satu alat kontorol melalui Laporan
Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (LPPD). Caranya adalah pemberian informasi
LPPD melalui media cetak  sehingga memungkinkan
terciptanya mekanisme kontrol dari semua stakeholder.

Jauh
lebih penting dari ketiga sistem di atas adalah kesadaran masyarakat dalam
sebuah proses akuntabilitas anggaran publik bagi upaya pengurangan tindak
pidana korupsi. Masyarakat berpartisipasi aktif dalam proses akuntabilitas yang
dilakukan pemerintah sehingga nantinya tercipta sebuah check and balance dalam
penggunaan anggaran publik dan proses akuntabilitas tidak hanya bersifat
asimetri. Hanya dengan ini, pintu masuk untuk koruptor ditutup rapat.

*Penulis adalah anggota Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik
Indonesia (PMKRI)-Cabang Maumere

RELATED ARTICLES

Most Popular