Ketika ‘Tepo Seliro’ Itu Hilang

VERBIVORIAN – Proses pelaporan yang tengah berjalan di Kepolisian saat ini memang membawa potensi bias interpretasi. Interpretasi publik berkembang pesat dalam kanal informasi baik yang diproduksi oleh media online, media cetak, atau bahkan media sosial. Semuanya hadir dalam bentuk wacana yang terkonstruksi dalam persepsi masing-masing.
Tepo Seliro
Logo PMKRI Nasional – Foto: ist

Secara positif, persepsi bisa diartikan sebagai pengambilan sudut pandang demi kemunculan pluralitas opini untuk membangun diskursus publik yang kritis. Pluralitas opini tersebut tersistematisasikan dalam kerangka berpikir tertentu sebagaimana wacana itu sendiri yang selalu bersifat konstitutif.

Ketika suatu wacana digulirkan ia selalu hadir sebagai puzzle dalam suatu sistem yang luas. Tetapi apakah betul seperti itu? Apakah organisasi ini juga bermaksud untuk membela Agama dan Tuhan-nya sekaligus?

Sebagaimana yang telah kita ketahui dalam konferensi pers kemarin, persoalan ini murni persoalan hukum. Agama bisa saja menjadi latar belakang tetapi latar belakang yang menghadirkan sisi horisontalnya dalam kehidupan bersama di masyarakat. Agama terlampau kompleks dan Tuhan itu tidak hanya bersifat imanen. Ia transenden.

Kami menyadari bahwa hanya dalam diam-lah kami membela keduanya. Hanya dalam tindakan konkretlah kami mengaplikasikannya. Namun, Ketika keharmonisan di antara masyarakat terganggu dan berpotensi menghadirkan konflik yang berkepanjangan, hukum menjadi basis sekuler yang membatasi dalam bahasa apa agama dan keyakinan diartikulasikan dalam kehidupan bersama.

Di sini, agama tetap melekat dalam kehidupan sosial dalam fungsi perekat integrasi negara bangsa. Perbedaan menjadi begitu mahal ketika tepo seliro antar umat beragama hilang. Dan bila tepo seliro, sebagai basis psikologis itu, hilang dari diskursus publik, perbedaan keyakinan memang akan cenderung dibawa kemana-mana sampai pada ranah pergunjingan yang mungkin enak untuk ditertawakan.

Politik memang akan mengaitkan “hal di sini” dengan “hal di situ” dengan modus wacana yang dikembangkannya untuk memproduksi positioning masa tertentu. Bagi kami, mengaitkan persoalan pelaporan dengan politik sangat kontraproduktif. Sebab masih ada ruang kosong yang tetap steril dari politik yang sebenarnya bisa kita jaga. Persoalan penistaan tetaplah penistaan, an sich.

Dia bisa saja melekat dengan wacana politik sebelumnya kalau saja kami sudah bersikap tidak adil sejak dari pikiran. Tetapi itu tentunya tidak kita lakukan. Sekalipun konteks perpolitikan kuat mencengkeram, yang membuat wacana apapun tersedot ke dalam pusarannya, pelaporan mengenai penistaan tetap kegusaran anak bangsa akan minimnya tepo seliro kita dalam mengartikulasikan perbedaan.

Sebab perbedaan, bagi kami, adalah berkat dan kekuatan yang bukan terbentuk secara basa-basi tetapi dalam arti yang sejati. Bagaimana kesejatian itu bisa terwujud bila refleksi terhadap perbedaan tersebut tidak mewujud dalam tutur dan perilaku tepo seliro yang ajeg dan utuh?

Menunda sampai konteks politik mereda memang sedikit bijak.Tetapi PMKRI tidak memilih hal tersebut. Bagi kami menyuarakan sesuatu dari arah yang berbeda dalam konteks yang tidak menguntungkan adalah perlu bagi pendewasaan demokrasi kita. sebab dalam diskursus publik, berpikir secara tendensius itu lah yang harus ditantang secara radikal di tengah silang sengkarut wacana yang cenderung connected.

Ini mungkin ibarat indeks dalam tipe tanda Peirce. Ada asap, ada api. Tetapi harus se-objektif itukah kita berpikir? Bahwa pluralitas interpretasi itu harus dijunjung, tetapi ada baiknya, mengikuti Derrida, skema yang terpetakan dalam kognisi ditunda terlebih dahulu. Apakah ini berhubungan dengan itu dan itu berhubungan pula dengan ini? Kekritisan inilah yang harus kita bangun.

Karena merupakan persoalan empati dalam berbahasa agar tidak menimbulkan efek pembiaran lebih lanjut terhadap habitus Rizieq Shihab yang sama, kami pikir persoalan ini adalah persoalan universal. Dukungan kuasa hukum dari berbagai latar belakang agama yang secara spontan datang dan menanyakan “saya bisa bantu apa?” adalah sinyal bagi kami bahwa ini adalah sebuah persoalan sekaligus pembelajaran bersama untuk bagaimana bertutur kata dalam mengungkapkan perbedaan.

Menulis tentang ini, kami pun teringat dengan opini Radar Panca Dahana tentang budaya ‘menertawakan’. Tentang ini, menurut kami, ikutilah adab bahari. Sebab ‘menertawakan’ kita selama ini adalah ‘menertawakan’ yang memecah belah dengan bahasa yang mendiskreditkan.

Kalau sudah seperti ini, berkembang dalam budaya kontinental-lah kita. Bukankah dalam lautan yang maha luas, berpikir secara kontinental adalah berpikir dengan intensi memisah-misahkan? Mari sama-sama kita merawat tenggang rasa di antara segala bahasa perbedaan. Ya sekuat dan sejujur kita menertawakan “om telolet om” dalam laku kekanak-kanakan kita.* (Lembaga Kajian PP PMKRI)

Exit mobile version