Kebijakan Reformasi Agraria Perlu Dievaluasi

Jakarta, Verbivora.com – Momentum hari tani nasional sebagai bentuk penghormatan negara terhadap jasa dan perjuangan para petani di Indonesia. Dalam sejarah panjang kemerdekaan Indonesia petani memiliki kontribusi yang besar. Pada era prakemerdekaan petani memiliki peranan penting dalam melawan penjajah maupun dalam mewujudkan kedaulatan pangan. Pasca kemerdekaan keberadaan petani juga sangat diperlukan dalam memperjuangkan ketahanan pangan dan stabilitas kebutuhan primer rakyat.Latarbelakang lahirnya hari tani juga tak lain untuk memberikan alarm pembebasan agraria dari cengkraman kolonialisme dan imperialisme.

Pada awal kemerdekaan pemerintah republik Indonesia di bawa kepemimpinan Soekarno, menetapkan sebuah Undang-Undang No.5 tahun 1960 Tentang Undang-Undang Pokok Agraria. Spirit dari Undang-Undang tersebut  untuk memberikan perlindungan terhadap petani, mengambil alih tanah petani dari tangan penjajah dan menghentikan peraktek-praktek perampasan tanah sebagai bentuk warisan penjajah.Dari situ, petani punya legitimasi dan legalitas untuk mengolah tanahnya dalam menghasilkan sesuatu yang produktif untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya secara mandiri dan merdeka.

Dalam perjalanannya spirit itu semakin lama semakin memudar, pasalnya banyak praktek-praktek yang  mengangkangi eksistensi dan kedaulatan petani dalam memproduktifkan lahannya.Salah satu masalah yang paling mendasar maraknya kasus perampasan tanah untuk kepentingan Industri.Para petani dirampas lahannya untuk kepentingan para investor dan penguasa.Sementara secara sosiologis hampir mayoritas praktek perampasan tanah terjadi di masyarakat agraris.Artinya proses industrialisasi masyarakat tani dengan kekerasan berujung pada praktik perbudakan modern atau proletarisasi tanpa melihat aspek historis, sosiologis, ekologis dan ekonomis

Inkonsistensi negara dalam mewujudkan Undang-Undang No.5 tahun 1960 Tentang Undang-Undang Pokok Agraria mengakibatkan kehidupan petani terancam.Petani tidak lagi penting dimata negara hanya karena kepentingan kelompok dan investor semata.Sementara secara historis para petani hidup dari eksplotasi lahan atau tanahnya tanpa bekerja dibawah tekanan atau ketergantungan dengan industry.Pada sisi yang lain kehadiran industry baik untuk perkebunan, pertambangan maupun untuk proyek strategis nasional tidak memberikan dampak signifakan bagi kesejahteraan bagi masyarakat luas.Industri pertambangan sekedar hadir untuk kebutuhan investor dan penguasa dengan mengorbankan tanah bahkan nyawa manusia.

Perampasan tanah  masyarakat adat yang berkedok investasi melalui alat represif negara tidak hanya merusak nilai, martabat dan kehormatan petani dan masyarakat adat tetapi juga melecehkan kejernihan sejarah.Kita ketahui bersama bahwa petani punya implikasi besar dalam mewujudkan ketahanan pangan. Pasalnya pengakuan eksistensialitas dan kedaulatan masyarakat hukum adat tidak hanya diatur dalam Undang-Undang Agraria tetapi juga diatur dan diakui dalam konstitusi dalam bernegara.Pasal 18 B Undang-undang dasar 1945, dengan tegas menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat dan hak tradisionalnya .

Pada bagian lain,konstitusi sudah mengatur tegas pada pasal 33 ayat (3) bumi air dan segala kekayaan yang ada didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat.Secara filosofis dan paradigma konstitusional idealnya kekayaann alam yang ada di Indonesia harus dikelola oleh negara dengan memperhatikan nilai dan kepentingan rakyat bukan para investor.Kekayaan alam yang ada harus dieksploitasi negara dengan tujuan mendasar untuk mewujudkan kemakmuran dan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia termasuk petani dan masyarakat hukum adat.Petani dan masyarakat adat sebagai satu-kesatuan yang tak terpisahkan tidak boleh diabaikan oloeh negara.

Kebijakan pemerintah terkait reformasi agraria sampai hari belum menjawab akar persoalan yang marak terjadi dimasyarakat.Hal itu dibuktikan dengan begitu banyak kasus agraria yang terjadi dan berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat. Reformasi agraria pada hakikatnya harus menjawab dua persoalan yang substantif baik pencegahan konflik horizontal maupun persoalan vertikal yang berdampak langsung pada perampasan agraria.Faktanya pemerintah selama ini cendrung bertendensius pada perspektif tunggal dalam hal ini berorientasi pada hal-hal administrative-yuridis. Padahal yang lebih penting dari itu pemerintah seharusnya mampu meminimalisir kasus yang basisnya vertical dalam hal ini pengusaha dan penguasa merampas tanah masyatrakat untuk kepentingan akumulasi.

Pada aspek yang lain kebijakan reformasi agraria terkesan hanya slogan belaka karena pada titik tertentu banyak hal-hal prinsipil yang berimplikasi negative pada kedaulatan agraria dan tanah masyarakat adat.Seperti data yang dilkansir oleh tirto.id bahwa sekurang-kurangnya ada sekitar 104 kasus agraria sepanjang 2021. Sementara kemiskinanan menurut data BPS per ,maret 2022 didominasi oleh masyarakat pedesaan. Ini membuktikan perampasan tanah yang diaktori oleh Negara yang berselingku dengan pengusaha sebagai cerminan kolonialisasi modern. Banyak konflik agraria yang tidak jelas penyelesaiannya dan cendrung menguntungkan para investor sementara masyarakat tani hanya menjadi korban dari maraknya industrialisasi dan kapitalisasi agraria.

Rakyat berharap pemerintah memperhatikan kesejahteraan petani dan konsisten dalam mengawal dan menindak tegas para mafia tanah dan para investor yang mengangkangi kedaulatan masyarakat adat dan petani.Reformasi agraria bukan sekedar narasi untuk mengelabui ketertindasan masyarakat atas eksploitasi dan kapitalisasi lahannya oleh para pemodal.Tetapi rakyat ingin tindakan dan  terobosan kongkrit dari negara sehingga konflik agraria dan hak-hak petani dan masyarakat adat tetap dilindungi oleh negara dari tangan pemodal yang merampas lahan secara brutal dengan kedok ninvestasi.

Penulis: Balduinus Ventura (Ketua Lembaga Advokasi Hukum & HAM PP PMKRI)

Exit mobile version