Beranda Update Kaum Millenial Butuh Pendidikan Politik

Kaum Millenial Butuh Pendidikan Politik

0
Ket. Parno Mahulae (Foto: Dok. Pribadi)
Pada perhelatan politik nasional, posisi orang muda sangat
diperhitungkan. Hal ini dikarenakan 40 % dari jumlah pemilih nasional adalah
berusia 17-35 tahun atau sering kita sebut dengan millenial. Jumlah pemuda yang
begitu besar mengakibatkan lahirnya para politisi muda. Tentu dengan kekuatan
kepemudaan ini, sebagai kaum muda kita berharap kiranya pemilihan umum (
PEMILU) yang akan diselenggarakan pada 17 April 2019 menjadi ajang pemilihan
yang cerdas dan berintegritas serta mampu melahirkan politisi yang berkualitas.
Namun pada kenyataannya kaum muda masih sering abai atau
bersikap apatis terhadap situasi perpolitikan hari ini. Memang harus disadari
bahwa politik itu sadis, kejam dan kotor. Tetapi apakah kita akan membiarkannya
tetap kotor?
Melihat keadaan hari ini, saya jadi teringat dengan seorang
aktifis pemuda tahun 60-an Soe Hok Gie berkata “dalam politik tak ada moral.
Bagiku sendiri politik adalah barang yang paling kotor, lumpur-lumpur yang
kotor. Tetapi suatu saat di mana kita tak dapat menghindar diri lagi maka
terjunlah. Kadang-kadang saat ini tiba, seperti revolusi dahulu. (Soe Hok Gie,
Catatan Seorang Demonstran).

Sebagai kaum muda sudah saatya perpolitikan hari ini diisi
oleh orang orang muda. Yang pada hakikatnya masih bersih dari dosa dosa masa
lalu orde lama dan juga orde baru. Keterlibatan pemuda dalam perpolitikan hari
ini tentu akan membawa angin baru dengan cara cara pemuda hari ini.   

Menjelang pesta demokrasi yang akan diadakan pada bulan April
tahun 2019, suasana perpolitikan di negara kita ini semakin memanas. Maka dari
itu perhelatan politik 5 tahunan yang akan kita gelar april nanti perlu kita
sikapi. Pemuda millenial hari ini tidak boleh buta politik. Karena buta politik
itu adalah buta yang paling buruk.
Mengutip dari penyair Jerman Berthold Brecht (1898 – 1956),
buta yang terburuk adalah buta politik, dia tidak mendengar, tidak berbicara,
dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya
hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan
obat, semua tergantung pada keputusan politik. Orang yang buta politik begitu
bodoh sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya mengatakan bahwa ia membenci
politik. Si dungu tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya lahir pelacur,
anak terlantar, dan pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi buruk,
rusaknya perusahaan nasional dan multinasional yang menguras kekayaan
negeri.”
Nasehat dari penyair jerman Berthold perlu kita renungkan,
bahwasannya peristiwa politik mempengaruhi kebijakan nasional yang berkaitan
dengan kesejahteraan rakyat. Maka untuk memilih pemimpin perlu analisis yang
tajam agar kiranya pemimpin yang terpilih berpihakkepada rakyat. Tentang
pemilihan pemimpin ataupun presiden saya, jadi teringat dengan sebuah film yang
diangkat dari kisah nyata. Film ini berjudul Our Brand Is Crisis.
Our Brand Is Crisis, judul yang menarik untuk sebuah kampanye
calon presiden dengan membuat isu utama tentang krisis ekonomi di Bolivia. Sama
halnya dengan perpolitikan kita hari ini yang ketika berbicara perekonomian
negara, selalu menyoroti hutang negara. Dan hal itu sama dengan strategi yang
dilakukan konsultan politik pada film tersebut dengan tujuan memperburuk citra
presiden yang menjabat dan membawa harapan calon presiden yang diusung bisa merubah
keadaan menuju yang lebih baik.
Berbagai hal dilakukan oleh para konsultan politik untuk
memenangkan pemilihan presiden.  Mereka
beradu strategi untuk pencitraan klien masing-masing. Hingga pada akhirnya
presiden Bolivia terpilih. Namun setelah 
Presiden terpilih menjabat, dia malah mengingkari janji untuk tidak
menambah hutang negara kepada IMF. Sehingga rakyat merasa kecewa dan mengadakan
demonstrasi besar besaran dengan tujuan menolak hutang dari IMF.
Menonton Film ini benar-benar membuka mata kita tentang dunia
perpolitikan. Khususnya saat-saat kampanye, akan ada orang-orang yang
ditugaskan untuk mencitrakan calon sedemikian rupa untuk mencapai tujuannya.
Tidak peduli itu kampanye negative ataupun menjadikan diri sendiri sebagai
sasaran tembak, yang penting rakyat simpati. Urusan ingkar janji setelah
memimpin, itu urusan belakang. Film ini berdasarkan kisah nyata pemilu di
Amerika Selatan pada tahun 2002.
Sindiran-sindiran politik yang tersemat pada Our Brand is
Crisis cukup relevan dengan kondisi politik di Indonesia. Yang pada hari ini
dapat kita lihat sendiri banyak orang melakukan kampanye negative mulai dari
hoax media sosial sampai tindakan nyata dilapangan. Disamping isu hutang negara
yang selalu digembar gemborkan, ada juga isu agama yang selalu mencuat di media
sosial. Terjadinya persekusi terhadap beberapa pemeluk agama tertentu merupakan
ulah konsultan politik untuk sebuah kekuasaan.  
Pendidikan Politik
Untuk Millenial
Sekarang orang sudah salah kaprah memahami demokrasi sehingga
memicu terjadinya antidemokrasi. Kesalahpahaman itu disebabkan karena kurangnya
pendidikan kepada masyarakat bahwa demokrasi yang diusung Indonesia, dalam hal
ini Pancasila, sudah sangat sesuai dengan nilai, norma, budaya, dan agama
bangsa Indonesia. Hal lain yang menjadi penyebabnya juga semakin banyaknya
oknum-oknum yang mengatasnamakan kebenaran, padahal sejatinya mencoreng
kesakralan demokrasi. Untuk itu, pemuda harus cerdas mengenali dan
mengembalikan makna demokrasi yang sesungguhnya. Demokrasi yang dicita-citakan
pendiri negara.
Melihat kondisi perpolitikan yang hari ini sedang rusak
parah, maka generasi muda yang sering disebut sebagai generasi millenial perlu
diadakakan pendidikan politik agar kiranya generasi saat ini mampu bersikap dan
menentukan pilihan berdasarkan logika dan suara dari hati nurani. Pembelajaran
pendidikan politik yang berkesinambungan diperlukan mengingat masalah-masalah
di bidang politik sangat kompleks dan dinamis. Pendidikan politik bagi generasi
muda sejak dini sangatlah penting dalam mendukung perbaikan sistem politik di
Indonesia.
Mengutip dari Aristoteles, politik merupakan usaha yang
ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Pernyataan tersebut
berbanding terbalik dengan kenyataan yang ada sekarang ini. Mayoritas
masyarakat mengartikan politik sebagai segala cara untuk memperoleh kekuasaan.
Hal ini merupakan tanggung jawab bersama, baik pemerintah, elite parpol dan
partai politik serta masyarakat agar hal tersebut tidak salah kaprah.
Partai politik sebagai salah satu pihak yang seharusnya
memiliki andil besar dalam pendidikan politik harus mengambil langkah agar
dapat mengubah pandangan miring tersebut. Pendidikan politik harusnya dimaknai
sebagai upaya untuk membangun pondasi bermasyarakat maupun bernegara di bumi
tercinta Indonesia ini. Pengembangan pendidikan politik harus dibangun agar
pemberdayaan dan penguatan generasi muda supaya memiliki keinginan untuk ikut
berpartisipasi dalam membangun negeri ini.
Pada akhirnya, semua pihak harus turut serta di dalam pendidikan
politik agar masyarakat  peduli terhadap
kemajuan bangsa ini dan mencegah buta politik yang dialami kaum millenial.
Apabila tidak dimulai dari sekarang, hal ini dapat menyebabkan sikap pesimistis
terhadap masa depan bangsa Indonesia. Kaum muda sebagai generasi penerus harus
bangkit dan sadar bahwa pendidikan politik merupakan kunci dari kesejahteraan
dan kejayaan Indonesia di masa yang akan datang.

*Penulis adalah Komisaris Daerah  SUMBAGUT PP PMKRI

Exit mobile version