Ditengah perbincangan dan dinamika politik beberapa bulan terakhir, publik dihebohkan dengan berbagai bentuk problematika dan dilematis etik dalam sistem ketatanegaraan yang membuat diskursus publik tidak lagi berpondasi pada koridor hukum yang jelas dan tegas. Kompleksitas permasalahan yang ada tidak hanya meliliti para kontestan pemilu, fanatisme di akar rumput melainkan eksistensi presiden baik sebagai kepala negara dan pemerintahan maupun sebagai makhluk politik
Praktik demokratisasi Indonesia di tengah proses pendewasaan dua dekade terakhir, pada prinsipnya harus diatur dalam sistem ketatanegaraan yang ketat dan tidak multitafsir mulai dari mekanisme pencalonan, penguatan sistem kelembagaan hingga system yang mengikat netralitas para penyelenggara negara termasuk presiden. Presiden bersama para pembantunya, sebagai pejabat publik tentu mengendalikan sumber daya publik sangat besar dan potensial disalahgunakan dan mengganggu efektivitas pelaksanaan demokrasi
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 22E , pemilihan umum dilaksanakan secara luber dan jurdil dan diperkuat dalam Pasal 2 Undang-Undang pemilu nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum yang menegaskan point yang sama. Semestinya prinsip atau asas diatas harus diterjemahkan secara konkrit, tekstual dan final dalam peraturan perundangan-undangan yang berlaku yang berhubungan langsung dengan pemilu lebih khusus terkait pemilihan presiden dan wakil presiden.
Ketidaksempurnaan sistem kepemiluan mengarahkan publik berdebat pada wilayah etik, yang tidak mengikat apapun termasuk proses pengujian batas usia minimum bacapres di lembaga peradilan konstitusi. Keputusan mahkama konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang dianggap karpet merah bagi anak presiden, secara etik menyandera posisi presiden Jokowi dalam kapasitasnya sebagai pejabat negara walaupun secara hukum sah dan konstitusional.
Proses pencalonan kandidat cawapres, Gibran rakabuming Raka dalam perspektif ketatanegaraan merupakan lahir dari kelonggaran sistem demokrasi dan kelemahan sistem hukum itu sendiri. Lembaga peradilan MK dalam sifat putusannya final and binding sesuai pasal 10 ayat (1) Undang – Undang No. 24 Tahun 2003 tentang mahkamah konstitusi. Selain itu, tidak adanya definisi serta pengaturan yang tegas bahwa demokrasi sebagai antitesa dari sistem feodal dan otoritarian membuat diskursus politik tidak bersandar pada norma.
Polemik etis yang dieksploitasi dan dikapitalisir publik hari-hari ini tentu menjadi catatan penting bagi peradaban aturan main hukum untuk menjaga demokrasi kedepan. Praktik berbangsa dan bernegara yang menjadi prinsip dasar adalah hukum tetapi diatas itu adalah nilai dan etika. Demokrasi sebagai upaya konstitusionalitas hak-hak rakyat juga dilandasi oleh nilai dan aturan-aturan hukum sebagai panglima yang menuntun penyelenggaraan negara, dan seluruh agenda didalamnya.
Jhon Austin sebagai salah satu pemikir aliran positivisme hukum (legal positivism) memisahkan secara tegas antara hukum dan moral. Indonesia sebagai salah satu negara yang menganut sistem positivisme hukum tentu bergerak dan bertindak sesuai dengan hukum yang tertulis (normatif).Tetapi, secara teoritik dan prakteknya proses pembuatan undang-undang yang menjadi hukum tertulis pasti menyerap nilai, moral dan etika yang berlaku.
Baca juga: Etika Politik Dalam Mewujudkan Demokrasi Yang Bermartabat
Tersandera Etik
Pencalonan putra sulung presiden Jokowi sebagai cawapres menjadi santapan naratif yang cukup lezat bagi aktivis pro demokrasi untuk terus dikonsumsi selama dinamika pra pemilihan presiden dan wakil presiden februari 2024. Kritisisme dan sinisme terus menggelinding di ruang publik dengan perspektif dan pendasaran yang berbeda. Baik karena alasan pragmatis, perbedaan politik hingga dalil-dalil teoritik dan etik demokrasi yang kuat.
Pencalonan putra Presiden Jokowi secara yuridis konstitusional tidak ada masalah apapun. Pasalnya proses keterpilihan anak sulungnya di Mahkamah konstitusi sah dan tidak melanggar aturan apapun. Di sisi lain publik menilai secara etik, bahwa presiden jokowi merusak citra dan proses konsolidasi demokrasi karena membiarkan anaknya menjadi cawapres saat ia menjabat sebagai presiden aktif. Tentu pandangan etis tidak ada parameter dan indikator tunggal untuk menyalahkan ataupun membenarkan posisi jokowi sebagai presiden.
Tetapi dalam kacamata ketatanegaraan dugaan penyalahgunaan kekuasaan sangat sulit dihindari karena jokowi secara fungsional dan eksistensial bukan sekedar sebagai bapak dari seorang anak melainkan kepala negara, kepala pemerintahan sekaligus panglima tertinggi dalam menjaga stabilitas politik, ekonomi, dan keamanan dalam menjalankan roda pemerintahan yang ditumpangi oleh jutaan rakyat Indonesia
Pada konteks yang lain, posisi Jokowi sebagai makhluk politik mendapat sorotan tajam dari kalangan akademisi, mahasiswa dan elemen masyarakat terkait pernyataanya tentang undang-undang pemilu yang memperbolehkannya sebagai presiden untuk kampanye asalkan Cuti.Tetapi secara normatif konstitusional, mendapat pertanyaan tajam dari akademisi, kemana presiden mengajukan Cuti.
Interpretasi hukum terkait pencurian presiden menimbulkan polemik baru karena pada dasarnya proses pencuciannya secara substansi hukum tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat. Hal ini juga membuat publik selaku pendaulat otoritas etik menggugat etika publik presiden dalam menjadi payung dan peneduh bagi semua elemen bangsa dalam proses pemilu yang sedang berlangsung
Pada level institusi kementerian, kekhawatiran bahkan ketakutan yang sama terjadi. Menteri sebagai pembantu presiden seharusnya undur diri dari kursi menteri jika berkampanye atau menjadi bagian dari kontestan dimusim pilpres. Karena pada tubuh mentri memiliki otoritas yang cukup powerfull untuk mengendalikan instrument negara sampai akar rumput, tanpa mengundurkan diri artinya segala dugaan penyalahgunaan sangat mungkin terjadi. Hal ini tentu menjadi perdebatan dalam perspektif etis
Ditengah tersandera pada situasi ini, secara etik bernegara dan berdemokrasi seharusnya presiden mengambil keputusan untuk mengundurkan diri ketika anaknya menjadi cawapres walaupun pada saat bersamaan, secara konstitusional tidak ada keharusan untuk itu karena ia dilindungi dan dijamin dengan hukum(normatif) sebagai rel bernegara. Dilema ini yang membuat publik harus berpijak kembali pada rules bernegara dan ingin menata ulang sistem politik indonesia
Baca juga: Pembukaan Workshop Nasional: Ketua PP PMKRI Singgung Pemilu 2024
Penguatan Sistem Kepemiluan
Prematurnya sistem kepemiluan hari ini menggiring publik untuk terseret dalam arus perdebatan etik dan moral yang cenderung membias dan tidak berbasis pada rambu-rambu konstitusional. Kekacauan hukum dan tidak adanya pengetatan regulasi untuk mengatur kompetisi dalam iklim demokrasi juga membuat semua orang termasuk akademisi tercebur dalam kubangan lumpur system yang rusak.
Kegalauan kolektif bangsa ini atas dinamika elite politik termasuk isu cawe-cawe presiden menjadi catatan dan pekerjaan rumah bangsa ini untuk menata ulang sistem kepemiluan Indonesia ke depan, sehingga hukum sebagai pijakan bersama bukan tafsiran etik multi interpretative yang tidak memiliki konsekuensi hukum apapun
Pertama, perlu adanya larangan yang tegas terkait politik dinasti baik di level birokrasi negara maupun di level partai politik. Dengan mengatur ini secara tegas, rakyat bisa memotong penyakit otokrasi dan feodalisasi urusan publik. Dengan kata lain, jika ini diatur rakyat punya pendasaran yang kuat untuk menurunkan Jokowi ataupun presiden berikutnya jika menghidupkan tradisi ini.
Kedua, penguatan lembaga peradilan konstitusi sebagai peradilan yang absolut tentu membuat pengujian norma menjadi kaku positivistik. Sudah seharusnya perlu mengatur mekanisme peradilan untuk menindaklanjuti keputusan yang dianggap cacat prosedur, materil maupun etik sehingga keputusan MK dapat ditinjau ulang atau dibatalkan secara konstitusional.
Ketiga, perlu ada pembatasan regulasi yang kuat untuk mempersempit otoritas presiden bila ikut mengintervensi, mengikuti kampanye atau menjadi kontestan sehingga persaingan dan proses pemilu sangat sulit untuk dicurangi sehingga keseimbangan dan persaingan sehat terlegitimasi di akar rumput
Keempat, para menteri sebagai pembantu presiden wajib mengundurkan diri bila terlibat kampanye atau menjadi kontestan di momentum pemilu dan hal ini harus diatur tegas dalam undang-undang pemilu. Sehingga elisitasi kedaulatan rakyat tidak dimonopoli oleh keluarga ataupun kelompok oligarkis semata
Perdebatan etis dan ketidak padatan substansi hukum yang mengatur mekanisme pemilu yang berbau dynasty, degradasi kredibilitas lembaga peradilan, positioning etis dan politis presiden sebagai makhluk politik tentu menjadi tantangan semua negara dalam menjaga demokrasi sebagai sebuah sistem yang bebas, terbuka setara dan keluar dari warisan-warisan system kerajaan
Dengan memahami etika sebagai nilai tertinggi dan penguatan sistem kepemiluan kedepan, bangsa ini diharapkan sedikit lebih maju dari stagnasi pemilu tahun ini dan tahun-tahun sebelumnya sehingga rakyat mengalami pencerdasan politik, penghormatan etik yang ditopang oleh rambu-rambu hukum yang kuat.