Jalan Panjang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat

Jakarta, Verbivora.com – Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PP PMKRI) mengadakan diskusi virtual dengan topik: Jalan Panjang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, Sabtu (13/2/2021).

Diskusi ini bekerja sama dengan Forum Pemuda Kalimantan Tengah (Forpeka) dan menghadirkan narasumber dari berbagai latar belakang, Erasmus Cahyadi selaku Deputi Sekjend Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) untuk urusan politik, Yanedi Jagau (Direktur Borneo Institute) dan Efendi Buhing dari Komunitas Adat Laman Kinipan, Lamandau, Kalimantan Tengah.

Alboin Samosir selaku Presidium Gerakan Kemasyarakatan PP PMKRI, dalam sambutannya menjelaskan latar belakang dari tema diskusi.

“Diskusi ini lahir dari rasa keprihatinan terhadap eksistensi masyarakat adat hari ini. Serangkaian kejadian yang dialami masyarakat adat menunjukkan ketidakberpihakan negara terhadap mereka,” jelasnya.

Ia juga menambahkan, konsep pembangunan saat ini yang tidak berpihak pada kepentingan masyarakat umum.

“Bahkan eksistensi mereka cenderung dianggap sebagai batu sandungan dalam pembangunan yang berpola liberal dan kapitalistik, tidak heran sering sekali terjadi kriminalisasi, perampasan wilayah adat dan tindakan represif dari aparat,” tegas Alboin.

Erasmus Cahyadi juga menyampaikan, salah satu yang menjadi akar masalah masyarakat adat di Indonesia adalah politik hukum.

“Betul bahwa Undang-Undang Dasar mengakui masyarakat adat tetapi tafsir dari hukum tersebut dilakukan secara teknokratis dan politis,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Erasmus mengutarakan keprihatinannya terhadap undang-undang yang sering kali multi tafsir.

“Banyak sekali undang-undang di bawah UUD membuat tafsiran yang berbeda-beda tentang masyarakat adat. Dalam hal pembuktian masyarakat adat diberikan beban yang sangat berat dikarenakan kewenangan untuk mengakui itu diluar otoritas masyarakat adat itu sendiri.

Sementara itu, Yanedi Jagau menyampaikan, masyarakat adat hari ini seakan di museumkan, keberadaan mereka hanya diperhatikan pada saat-saat tertentu semisal menyambut tamu, acara-acara tertentu yang sifatnya seremonial belaka.

“Kompleksitas masyakarat dihadapkan pada tiga tantangan, yakni transformasi dari dalam masyarakat adat, penyesuaian kelola masyarakat adat yang terpengaruhi situasi dan kondisi eksternal, dan mengelola interaksi antara masyarakat adat dengan negara,” tandasnya.

Berbeda dengan pemateri lain, Efendi Buhing justru menceritakan pengalaman dan perjuangannya dalam mempertahankan wilayah adatnya. Dimulai tahun 2012 hingga puncaknya pada 2018 saat pemetaan wilayah adat serta kesulitan yang dialaminya.

“Dalam mempertahankan wilayah adat, kami melakukan penolakan-penolakan namun mereka tidak peduli dan tetap melakukan land grabbing. Saat ini kehidupan kami sangat terusik baik secara pribadi maupun komunal, kami hanya minta diakui bahwa wilayah adat ini adalah wilayah kami,” terangnya.

Terdapat beberapa catatan terkait diskusi ini, peran Organisasi mahasiswa seperti PMKRI, mampu untuk mendorong perubahan melalui konsolidasi dan Komunikasi politik ke para pemangku kebijakan, membuka kembali ruang-ruang diskusi masyarakat adat agar menjadi wacana publik.

Isu masyarakat adat harus menjadi isu strategis nasional yang urgent untuk diperjuangkan karena kita adalah bagian integral dari masyarakat adat.

Novia Adventy Juran selaku pemandu diskusi, dalam kata penutupnya mengatakan, sangat penting  untuk memberi kepastian terhadap masyarakat adat.

“Pentingnya para pemangku jabatan untuk mendengarkan masyarakat adat, agar dapat mengolah dan memberikan kepastian kepada masyarakat adat secara keseluruhan. Bukan hanya mendeklarasikan tidak adanya hutan adat, namun lebih kepada realitas eksistensi masyarakat adat dan hutan adat menjadi sebuah kajian dan perhatian bersama,” tutupnya. *(AR)

Diskusi PP PMKRI: Jalan Panjang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat


RELATED ARTICLES

Most Popular