QUO VADIS MASYARAKAT SIPIL DALAM BLANTIKA DEMOKRASI?
![]() |
Unjuk rasa akbar mahasiswa dan masyarakat memprotes kebijakan pemerintah - Gambar: Internet |
Mencermati praksis berdemokrasi di Indonesia, menuntut kita untuk menggelar re-evaluasi secara berkala. Tidak berlebihan dikatakan demikian, terutama jika menimbang rilis Economic Intelligence Unit (EIU) yang menempatkan demokrasi Indonesia pada kategori tidak sempurna (flawed democracy) dengan perolehan skor 6,71 (peringkat ke-54) pada 2023, sementara di 2022 Indonesia bertengger di peringkat ke-52 dengan peolehan angka yang sama (Kompas, 7/12/2023). Pun jika dua periode sebelumnya dirunut, fenomena yang mirip mudah dijumpai. Pertama, era 2009-2013, angka Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) berada di interval 60-an; sementara periode 2014-2019, skor IDI cukup konsisten di atas rentangan 70-an dengan capaian tertinggi pada 2019. Kendati demikian, IDI masih terkategori sedang (Kompas, 20/08/2021).
Ikhwal
flawed democracy alias demokrasi belum penuh, umumnya ditandai dengan
penyelenggaran pemilihan umum yang bebas dan adil (meski mengendapkan seabrek
residu permasalahan, seperti; tekanan terhadap media), kebebasan sipil masih
dijunjung. Namun, terlampir kelemahan signifikan, yakni: polemik dalam
pemerintahan dan budaya politik mencakup partisipasi masyarakat yang rendah
(Kompas, 15/9/2021). Sengkarut seputar masyarakat sipil yang mendapat ruang
elaborasi cukup luas dalam tubuh tulisan ini patut dicermati secara seksama
sebagai sebuah elemen utama penyangga bangunan demokrasi.
Masyarakat
Sipil di Persimpangan Triangle Demokrasi
Analis politik,
Boni Hargens, melalui salah satu makalahnya menguaraikan bahwa dalam paradigma
dasar sistem demokrasi, keberlangsungan demokratisasi merupakan kerja sistemik
yang saling mensyarati antartiga komponen pokok dalam segitiga (triangle)
demokrasi, yakni: negara, pasar, dan masyarkat sipil. Lebih lanjut, ia
menandaskan; demokrasi sulit bekerja (berfungsi optimal) dalam kondisi
ketidakseimbangan relasional antarketiga elemen tersebut (Boni Hargens, 2008). Ide
serupa juga dikembangkan Anthony Giddens, meski membahasakannya sedikit berbeda
yaitu tiga gugus kuasa pembentuk masyarakata. Namun, basis konsepsi bermuara
pada hal yang sama (Giddens, 1984). Keberadaan masyarakat sipil sejatinya
memang tidak bisa ditepikan dari praksis berdemokrasi.
Namun, mencermati kenyataan yang terjadi,
keseimbangan relasional antarelemen penyokong demokrasi terkesan sekadar
prinsip yang mengawang. Realisasinya masih jauh panggang dari dapi.
Sekurang-kurangnya jika memperhatikan pemberitaan media-media, betapa
masyakarat sipil begitu dipinggirkan dalam perumusan seabrek keputusan pun
kebijkan publik. Penyusunan sejumlah regulasi yang minim partisipasi dan
menyulut api demonstrasi, sebut saja: UU Cipta Kerja, revisi UU MK dan KPK, UU
IKN, dan teranyar UU Penyiaran. Apa yang digemakan MK melalui Putusan MK No.
91/PUU-XVII-2020 tentang meaningful participation bahwa hak untuk
didengarkan, hak untuk dipertimbankan, dan hak untuk meminta penjelasan atas
pendapat seakan-seakan telah dikebiri oleh para pemangku kepentingan. Hak-hak
asasi tersebut harus bertekuk lutut di hadapan ego dan keserakahan para pejabat
bermental pragmatis.
Upaya-upaya pengkerdilan hak meluas dalam
berbagai bentuk. Intimidasi dan kriminalisasi senantiasa menjadi momok
menakutkan yang mengghinggapi para aktivis seperti yang dialami Haris-Fatia
(KontraS, 27/11/2023), aktivis lingkungan Karimunjawa (BBC, 4/4/2024), ataupun
kawan-kawan dari Greenpeace (CNN, 6/10/2023). Belum lagi kepelikan yang merintangi
masyarakat adat dalam memperoleh status pengakuan secara legal-formal atau penyelesaian
pelanggaran HAM berat masa lalu yang ujung-ujungnya mentok pada tahap pengakuan
tanpa dibuntuti tindak lanjut yang terang benderang. Seabrek persoalan lain di
berbagai dimensi kehidupan berbangsa masih ditambahkan dalam list, yang
ringkasnya mendeskripsikan betapa runyam kisruh seputar masyarakat sipil.
![]() |
Bias keputsan pemerintah yang tidak mempertimbangkan kondisi riil masyarakat memicu berbagai protes keras - Gambar: Internet. |
Rangkaian
permasalahan yang disodorkan, jika diletakan dalam konteks triangle
demokrasi memperlihatkan ketimpangan relasi yang seharusnya timbal balik antara
ketiga komponen. Padahal sejatinya, seperti digelorakan Gene Sharp, ilmuwan
politik Amerika, bahwasannya masyarakat merupakan subyek dari kekuasaaan yang
dalam praktiknya melimpahkan mandat kepada yang dipercayakan dan dianggap
mempunyai kapabilitas untuk mengeksekusi cita-cita besar bonum commune (Sharp,
1973). Ruang-ruang publik yang kini dijejali aneka kompleksitas permasalahan
tentu perlu dibereskan. Namun, sebelum tiba di sana, perlu kiranya untuk mendiagnosis
kemungkinan penyebab-penyebabnya.
Penulis menemukan ada tiga hal. Pertama, kurang
terkonsolidasinya organisasi gerakan sipil dan petaka apatisme. Keberadaan
ratusan ribu organisasi masyarakat (Kemendagri mencatat ada 390.293 pada 2018)
yang tersebar di seantero Indonesia sekiranya cukup dan bahkan modal besar
untuk mengawal isu-isu strategis menyangkut hajat hidup orang banyak. Daya
gedor untuk perubahan akan tampak tatkala gerakan-gerakan masyarakat sipil
dengan konsentrasi kajian yang serupa, membersamai sebuah isu secara bersama
dan mengadvokasinya secara berkesinambungan. Namun, memperhatikan kenyataan,
tidak sedikit NGO yang masih bergerak secara partisan. Keadaan makin parah tatkala
gelombang apatisme terhadap isu-isu sosial-kolektif melonjak signifikan. Ciri
masyarakat semacam ini mengafirmasi hasil studi David Harvey (The Condition
of Postmodernity) yang mana individualitas begitu mencuat dan menjangkit
sebagian komunitas.
Kedua, mengkristalnya perselingkuhan
penguasa dan pengusaha. Di saat civil sociey melemah, persekutuan
penguasa (representasi negara) dan pengusaha (perwakilan pasar) justru
menunjukan dominasi. Alih-alih berbuat sesuatu untuk kemaslahatan bersama,
oligarki malah berkutat dengan kepentingan pragmatis kelompok mereka
masing-masing. Boni Hargens melukiskan keadaan ini dengan cermat, bahwa
masyarakat selalu berada pada posisi yang dirugikan ketika berhadapan dengan
pasar yang terlalu profit-oriented, sebagian alasan ditemukan pada perilaku
pejabat negara yang mengambil laba dari hubungan gelap negara-pasar.
Ketiga, mekanisme checks and balances
kian mengeropos. Keadaan ini merupakan konsekuensi logis dari tidak berdayanya
masyarakat sipil dan menguatkan hegemoni penguasa-pengusaha. Tidak ada kekuatan
yang bisa memastikan fungsi pengawasan dan re-evaluasi secara kontinua
terselenggara dengan baik. Para pejabat kehilangan taji kritisnya di hadapan
kuasa partai dan gemerlap kekuasaan. Sebagaimana pernah disentil Yanuar Nugroho,
pemerintah didukung mayoritas partai politik dalam ‘koallisi’ dengan 427 kursi,
sementara ‘oposisi’ hanya punya 148 kursi dari PKS dan Partai Demokrat. Dua
oposisi ini pun bukanlah ideologis, tetapi pragmatis seperti nyata terlihat
dalam pilkada (Nugroho, Kenawas, Syarief, ISEAS Perspectives, 25/1/2021). Alhasil,
kebijakan-kebijakan tanpa proses pematangan yang baik di sidang kabinet ataupun
ruang paripurna menggelinding bebas, menabrak batas etika dan norma moral yang
berlaku.
Masyarakat
Sipil Menuju Emasnya Indonesia
Penulis merenungi,
Indonesia tengah berada di masa antara yakni era antara melunaskan tunggakan
agenda reformasi seperempat abad silam dan harus kejar target menyongsong
Indonesia emas pada 2045 mendatang. Idealnya kedua hal tersebut mesti digapai
secara simultan. Kini kita disuguhkan ragam kepenatan seperti yang telah diuraikan.
Serba problematis dan dilematis memang. Namun, litani kepasrahan saja tidak
manjur, perlu usaha-usaha kolektif-kolegial agar ibu pertiwi tidak melulu
dirundung nestapa dan melancong keluar dari ‘ruang ICU.’
Ihwal memastikan masyarakat sipil tetap
eksis dalam himpitan relasi penguasa-pengusaha hingga bisa mengembalikan
keseimbangan hubungan, sejumlah hal kiranya penting diajukan sebagai tawaran
solutif. Pertama, konsolidasi dan rekonsiliasi masyarakat sipil. Sebelum ke
tahap ini tentu permberdayaan SDM menjadi fase penting apalagi Indonesia mengalami
bonus demografi. Rekonsiliasi yang biasanya dilakoni para elit harus dicounter
dengan konsolidasi pada tataran masyarakat sipil. Kedua, seperti diulas
juga Boni Hargens, negara mesti didesak untuk kembali ke posisi idealnya yakni mengikis
ketimpangan sosial serta mengntrol laju pasar supaya berkontribusi pada
kemajuan kolektif dan tidak semata-mata berpatokan pada profit-oriented. Ketiga,
konsistensi dan kontinuitas gerakan sipil dalam menggawangi isu ataupun
kebijakan yang bermuara pada peningkatan hajat hidup orang banyak. Bahkan pada
taraf yang lebih maju, civil society bisa naik kelas jadi oposisi guna memastikan
mekanisme checks and balances berjalan sebagaimana mestinya. Bangsa
Indonesia baru saja menyudahi pemilu dan bakal menjemput pilkada serentak pada
November mendatang. Regenerasi kepemimpinan mesti dikawal sehingga, harmonisasi
pemerintah pusat dan daerah optimal untuk perwujudan bonum commune.
Posting Komentar untuk "QUO VADIS MASYARAKAT SIPIL DALAM BLANTIKA DEMOKRASI?"