PMKRI: Hic et Nunc
Praksis nyata yang
paling dirasakan ialah soal realisasi pendidikan virtual selama kurang lebih
4tahun belakangan; 2019-2023. Pandemi COVID-19 yang merebak luas mengharuskan
hampir seluruh urusan dialihkan secara online. Berkat ini paling tidak proses
transer ilmu tetap berjalan sehingga cita-cita luhur mencerdaskan anak-anak
bangsa tidak keropos. Pembelajaran formal tetap bisa berlangsung.
Menyadari arus
perubahan teknologi yang begitu masif mengharuskan dipupuknya sikap antisipatif
oleh tiap pribadi. Apalagi mengingat awasan yang disentil David Harvey, seorang
pemikir Geografi Marxis, dalam The
Condition of Postmodernity bahwa kondisi global kini dicirikan dengan,
antra lain: lahirnya berbagai manipulasi atas realitas; kegamanagan akan masa
depan; hilangnya kedalaman hidup; maraknya sikap hidup instan; individiualitas
yang meningkat; hedonisme yang merajalela, dan susahnya memegang komitmen
sebagai akibat dari mudahnya orang untuk membuang segala sesuatu termasuk
nilai-nilai (cermin masyarakat pembuang - throwaway
society: easy come-easy go).
Seabrek kondisi
tersebut jika tidak dikelola secara bijaksana barangkali akan memproduksi
konflik-konflik lanjutan. Lantas dalam konteks tersebut patut dikaji, bagaimana
kemudian manusia Indonesia menumbuhkan kepekaan sehingga produk kecanggihan
bisa dipakai untuk menunjang keberadaan, merengkuh cita-cita bersama sebagai
bangsa yang maju dan berkeadilan? Pun dalam konteks PMKRI (Perhimpunan
Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), sejauh mana perangkat kecanggihan dioptimalkan
untuk realisasi visi-misi serta semangat pergerakan?
Gejolak
transformasi digital yang nyata dalam berbagai urusan kehidupan sejatinya
menuntut pembacaan kritis nan berulang. Merujuk pada KOMPAS.com per Januari
2023 tahun ini jumlah pemakai internet di Indonesia mencapai 212,9 juta orang,
mengutip rilis We Are Social dan Meltwater bertajuk "Digital 2023".
Jumlah tersebut diprediksi akan terus mengalami peningkatan. Lebih dari sekadar
urusan pengguna jasa internet, pada dasarnya inovasi-inovasi teranyar semisal artificial intelligence (AI) dengan
segala anak kandungnya mengharuskan diperhatikannya beberapa elemen penting.
Pertama, soal
kesiapan. Persiapan yang dipersyaratkan bukan semata-mata soal kompetensi
teknis-praktis mengoperasikan peranti-peranti elektronik. Itu penting, tetapi
yang jauh lebih substantif ialah penguasan atas konsep-konsep semisal etika
bermedia, integritas pribadi, dan moralitas. Kecakapan itu mesti menjadi
petunjuk bertindak, berselancara di dunia maya.
Bisa dipastikan
maraknya penyelewengan penggunaan Chat GPT untuk joki tugas kuliah serta
prevalensi hoaks yang berseliweran di jagat maya, hemat penulis, tidak didasari
oleh ketidaktahuan memakai perangkat digital tetapi karena keroposnya
pengetahuan dan pendalaman akan urgensi bersikap kritis dan bijak dalam
bermedia. Minimnya penguasaan akan sehimpun hal substantif tersebut semakin
diperparah oleh dorongan mengejar kepentingan pragmatis.
Kedua, pemanfaatan.
Setingkat lebih tinggi dari sekadar kemantapan persiapan ialah pertimbangan
soal kebermanfaatan. Hal sederhana yang bisa digambarkan, evolusi digital
memungkinkan akses terhadap publikasi hasil riset dan investigasi dalam
berbagai bidang semakin terbuka lebar. “Big data” tersebut harus dijadikan
landasan dalam pengambilan keputusan ataupun kebijakan oleh para pemangku
kepentingan (pihak eksekutif, legisltatif, dan yudikatif).
Langkah cerdas
demikian bisa meminimalisir blunder-blunder seperti yang dipertontonkan oleh
sejumlah pemimpin. Pro-kontra keputusan masuk sekolah jam 5 pagi di Provinsi
NTT, misalnya, dinilai minim kajian akademik-santifik serta penelusuran aspek
kesehatan terutama metabolisme tubuh. Tak pelak kebijakan tersebut tidak banyak
terealisasi. Jika diperluas, tidak berlebihan dikatakan fenomena ini menegaskan
bahwa kecermatan dalam membaca data linear dengan tingkat kecerdasan.
Diskursus ini
hendak mengetengahkan dan menggaungkan kembali slogan zaman pencerahan yakni sapere aude; beranilah berpikir.
Kemampuan mengkritisi segala sesuatu dengan argumentasi yang mengawinkan
kejelasan konsep (ataupun prinsip) serta seonggokan fakta yang relevan,
haruslah diberdayakan. Pembiasaan pola-pola semacam ini nantinya melahirkan
pribadi yang unggul.
Ketiga,
keberlanjutan antar generasi. Kompetensi mumpuni memanfaatkan transformasi
digital termasuk mengantisipasi implikasi buruknya seharusnya terus dikelola
dan dipertahankan. Semua ini bermuara pada cita-cita emas Indonesia 2045 (dan
setelahnya). Target ideal yang hendak direngkuh tersebut tentu tidak enteng
mesti semua komponen bangsa tidak dianjurkan untuk pesmis. Antisipasi tersebut
mempertimbangkan laju pertumbuhan penduduk yang terus mengerek naik serta
gesitnya evolusi teknologi.
Sekalipun aspek
kesiapan dan pemanfaatan terealiasi dengan baik, tetapi jika hanya
memprioritaskan jangka pendek akan sangat berisiko. Adapun soal keberlanjutan
bisa dinilai sebagai pedoman sekaligus warisan bagi generasi mendatang.
Peralihan kepemimpinan kemudian tidak mengubah secara radikal dasar yang telah
ditetapkan sekalipun tentu penyesuaian-penyesuaian kecil perlu sehingga tetap
selaras jaman.
PMKRI: Hic
et Nunc
Mencermati fenomena transformasi digital, PMKRI pun harus
cekatan mengembangkan daya adaptabilitas. Statusnya sebagai salah satu
Organisasi Kemasyarakatan Katolik berbasis mahasiswa, sekiranya cukup menjadi
alasan mengapa PMKRI mesti mengambil sikap.
Korelasi dengan pandangan tersebut, beberapa hal yang patut dicerna
bersama.
Pertama, kapasitas
kader. Kaderisasi yang menjadi salah agenda prioritas untuk menjaga
keberlangsungan perhimpunan yang tampak dalam berbagai jenjang pembinaan
merupakan prospek yang positif sekaligus vital. Namun, penting sekiranya
menerapkan selektivitas sehingga terjaring kader-kader yang berwawasan holistik
dan berintegritas. Aspek tersebut begitu signifikan dan tidak perlu
dinegosiasikan karena faktor rendahnya antusiasme kaum muda bergabung dalam
perhimpunan.
Pertimbangan
selektivitas tidak berarti merendahkan kapasitas kader, tetapi terutama mesti
dikorelasikan dengan aspek kesiapan dan pemanfaatn transformasi digital yang
telah disinggung. Ragam diskusi dan pelatihan yang digelar hingga kini dan ke
depannya tentu berkontribusi positif untuk peningkatan kapasitas kader. Sudah
menjadi harapan bersama bahwa kegiatan-kegiatan seperti bukan sekadar
formalitas belaka. Semoga. Sebuah harapan yang menggairahkan tatkala Pengurus
Pusat dan 85 Cabang PMKRI yang tersebar di seantero tanah air sungguh
memperhatikan ini.
![]() |
PMKRI Se-DKI Jakarta berdemontrasi merespon kenaikan BBM pada 2022 lalu - Gambar: Pos-Kupang.com |
Namun, terpisah
dari hal tersebut tentu diperlukan tahap evaluasi secara berkala guna
memastikan progres senantiasa ada dan berjalan. Dalam konteks transformasi
digital, hal sederhana yang bisa diamati ialah sejauh mana aksi demonstrasi
memanfaatkan media elektronik sungguh mendatangkan dampak yang riil.
Ketiga, kolaborasi.
Upaya-upaya kolaborasi yang berkelanjutan yang dijalin tidak hanya di tingkat
internal tetapi juga eksternal PMKRI yang sudah ditempuh sejauh ini tentu patut
dipertahankan. Namun, perlu dicermati bahwa dalam usaha kolaborasi tentu
kesetiaan dan komitmen pada visi-misi perhimpunan yang ditonjolkan bukan
kepentingan pihak-pihak tertentu. Egoisme dan hasrat memenuhi kepentingan
pragmatis harus ditiadakan.
Terus
Menapak
Pada akhirnya perlu ditegaskan kembali, era transformasi
digital mesti disikapi secara kritis sehingga tidak terjebak dalam arus
kemajuan yang terkadang bisa “menghayutkan” segala sesuatu termasuk integritas.
PMKRI dengan segala keunikannya selayaknya tetap menampilkan jati diri di
tengah begitu banyaknya organisasi kemasyarakatan ataupun kemahasiswaan
lainnya. Ini bukan ungkapan sinis, apalagi anti-kolaborasi. Melainkan seperti
yang pernah ditandaskan oleh Hanah Arendt bahwa dalam kerumunan massa orang cenderung
mengabaikan tanggung jawab dan hal itu diperparah oleh situasi gedankenlosigkeit; ketidakberpikiran
seperti disinggung Filsuf Heidegger.
Menarik momentum
ulang tahun ke-76 PMKRI berdekatan dengan peringatan sejumlah momentum besar
lainnya, yakni: Hari Kebangkitan Nasional (20 Mei), Hari Reformasi Nasional (21
Mei) dan Hari Pentakosta (28 Mei) dalam tradisi Katolik. Sekilas jika
diparalelkan, momentum ini mesti dimaknai bahwa PMKRI harus senantiasa dalam
keadaan “bangkit sambil berjalan” menerjemahkan visi-misi dalam praktik-praktik
konkret.
Ini penting sebagai
bagian dari usaha merintis sejarah sekaligus warisan tidak hanya bagi
perhimpunan tetapi juga untuk tanah air dan dunia dalam skala yang lebih luas.
Sehingga layak jika para kader PMKRI sekarang menuturkan keberhasilan dalam
mewujudnyatakan komitmen dan bersandar pada kisah kebesaran masa lalu.
Sepanjang waktu senantiasa menjadi momentum bagi PMKRI untuk terus menapak(i)
jalan perjuangan. Hic et nunc; di
sini dan sekarang.
Oleh: Alfredo Samudra
Posting Komentar untuk "PMKRI: Hic et Nunc"