Nafas Gerakan Mahasiswa
Gerakan Mahasiswa berkontribusi dalam pengawasan proses bernegara serta jeli mencermati laku pemangku kepentingan. Tidak berlebihan jika didengungkan bahwa bentang historis bangsa ini sedikitnya disumbangkan oleh mahasiswa. Berbekal asupan pengetahuan, idealisme, dan semangat yang menggelora, mahasiswa tangguh melakoni demonstrasi dan mengusik kuping para pengambil kebijakan dengan kritik tajam.
Eskalasi gerakan mahasiswa berkelindan
erat dengan momentum. Tahun ’98 adalah saat-saat revolusioner dalam sejarah
geraka mahasiswa Indonesia, terlebih pasca Tragedi Trisakti dan Medio Mei
(bersifat sporadis, global di berbagai pulau, menguasai banyak instansi
pemerintah-jalan-jalan- protokol).
Dengan tuntutan reformasi (pergantian
presiden, pengadilan Soeharto, Cabut Dwifungsi ABRI), mereka (mahasiswa) bahkan
dapat menguasai gedung MPR/DPR. Dalam kurun waktu singkat, bermunculan ratusan
komite mahasiswa dengan berbagai simpul dan korlap (koordinator lapangan) yang
tersebar di berbagai kota: FKSMJ, KamTri, Forkot, Famred, Gempur (Prihatanto,
2007: 498).
Pasca Reformasi
Pemakzulan Soeharto pada medio 1998
sekaligus menyudahi masa orde baru yang represif terhadap kebebasan
mengemukakan pendapat. Maka, bagi mahasiswa, transisi ini amat melegakan,
setidaknya perwujudan dari bunyi Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 ke depannya bisa
terealisasi. Makin ke sini, kita saksikan, pengamalan hak menyatakan pendapat
mendapat ruang afirmasi yang absah. Mahasiswa dengan ‘leluasanya’ memadati
jalan, menggelar diskusi, serta melakoni demonstrasi tatkala menjumpai
kejanggalan yang terhampar di segala lini kehidupan berbangsa. Terkhusus laku
ataupun kebijakan pemangku kepentingan yang nyeleneh.
Gerakan mahasiswa berkelindan erat
dengan hak mengemukakan pendapat sebagaimana ditegaskan di muka tulisan. Namun,
tidak dapat dinafikan bahwa potensi pelanggaran hak tersebut masih ada bahkan
di era pemerintahan saat ini. Salah satunya kecenderungan sikap represif
pemerintah dalam menanggapai demonstrasi mahasiswa.
Alih-alih demi pematuhan protokoler kesehatan ataupun penuduhan
kritik tanpa pijakan data memadai malah berujung pada kriminilasasi para
demonstran. Mahasiswa yang berdemo digrebek oleh satuan-satuan keamanan yang
sudah dipersiapkan sedari awal. Skema penahanan-penangkapan amat tidak etis
serta melampaui syarat-syarat penahanan-penangkapan yang dijabarkan dalam
regulasi. Miris.
Hemat saya, faktor ini menjadi rintangan paling berat bagi
gerakan mahasiswa. Pihak yang terusik kenyamanannya membentengi diri dengan
seperangkat kewenangan dan otoritas yang dimiliki. Memanfaatkan semua itu untuk
meredam badai kritik yang datang bertubi-tubi. Silih berganti. Maka, tak heran
upaya kriminalisasi hak-hak para demonstran diamini sebagai alternatif untuk
menggolkan tujuan tersebut.
![]() |
PMKRI se-DKI Jakarta usai unjuk rasa depan patung kuda, Jakarta Pusat, pada 21 April 2022 - Gambar: instagram_@germaspmkrisedkijakarta |
Fenomena ini seyogianya mesti ditentang sebab, melucuti hak
personalvdan mencederai prinsip-prinsip negara Indonesia yang demokratis.
Terutama sekarang pengawasan masyarakat sipil untuk pengawalan good governance
makin melemah. Meski indikasi ini bergerak linear seiring makin seirng
diabaikannya suara-suara masyarakat tersebut.
Jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas pada 7-12 Maret
2022 di 34 provinsi di Indonesia menunjukkan, 37,4 persen responden menilai
pengawasan masyarakat sipil melemah. Hal itu disebabkan oleh berbagai isu di
media sosial (medsos) yang mempengaruhi masyarakat, kepandaian pemerintah dalam
mengelola atau mengendalikan isu, serta bergabungnya sejumlah aktivis yang
kritis ke pemerintahan (Kompas, 29/03/2022). Maka, jika gerakan mahasiswa terus
dikebiri sulit untuk membayangkan apa kira-kira yang terjadi ke depannya.
Ruh Gerakan
Mencermati fenomena kriminalisasi para demonstran, tentu
mahasiswa tidak boleh bergeming. Namun, sebaliknya memperkuat ‘kuda-kuda’
gerakan, menerobos palang kekejaman tersebut. Untuk itu dua hal, hemat saya,
yang bisa menopang kontinuitas gerakan mahasiswa yakni netralitas dan afirmasi
masyrakat.
Pertama, aspek netralitas. Mahasiswa makin intens, bergairah,
dan ‘leluasa’ dalam menggelar demonstrasi karena, sikap independen yang
dimiliki. Tidak berada di bawah tekanan kekuatan politik atau otoritas pihak
tertentu dan berani mengambil sikap bersebarangan dengan pemeritah (tentu tidak
selalu) menjadikan mahasiswa tidak sungkan dan jernih dalam kritik ataupun adu
argumentasi.
Namun, netralitas tidak sepenuhnya berarti bahwa mahasiswa tidak
membangun link/jaringan dengan pihak lain sebagai basis militansi. Dalam aras
ini keterhubungan dengan LSM dengan spirit perjuangan yang sama, pandangan
saya, bisa dirujuk sebagai opsi. Dari sejumlah kalangan, harapan terbesar
berada di pundak LSM (41 persen) dan kampus atau mahasiswa (33,7 persen)
melansir laman Kompas, 29/03/2022.
Kedua, afirmasi masyarakat. Dukungan masyarakat sipil terhadap
eskalasi peningkatan gerakan mahasiswa turut serta menyuburkan bibit kritis
pemikiran mahasiswa. Hal ini terutama karena, serangkaian aksi demonstrasi dan
seabrek gerakan mahasiswa lainnya berpijak pada kondisi riil masyarakat;
kondisi ketakberdayaan masyarakat yang tidak sedikit disebabkan pola kebijakan
pragmatis penguasa.
Mahasiswa mesti memaknai serangkaian aksinya tidak sekadar
panggung pertunjukan kualitas diri tetapi juga sebagai bentuk
pertanggungjawaban moral kepada masyarakat. Justru motivasi semacam ini yang
paling ditonjolkan dan menjadi nafas dari setiap gerakan yang digelar.
Oleh karena itu, gerakan mahasiswa harus menampilkan wajah
kemasyarakatan. Menyitir Prihatanto bahwa roda sebuah gerakan haruslah tidak
elitis intelektualis, tetapi sungguh populis-tanggap zaman (bukan gagap zaman)
dan mengerti bahasa masyarakat: suka duka dan keprihatinan masyarakat. Kalau
gerakan mahasiswa berfat elitis, maka akan sulit jika harus memobilisasi sebuah
gerakan bersama.
Gerakan mahasiswa biar bagaimanapun amat penting mengingat misi
luhur yang diemban para insan muda ini. Kedua hal tersebut mesti mendapat
highlight dari mahasiswa sendiri yakni meyeimbangkan keduanya. Agar mahasiswa
dapat terus menyuarakan persoalan rakyat yang tak pernah selesai. Harimau mati
meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading tetapi gerakan mahasiswa
tidak ada matinya. Jaya selalu mahasiswa!
Alfred Samudra, Biro PPK PMKRI Jakarta Timur
Posting Komentar untuk "Nafas Gerakan Mahasiswa"