Jakarta, Verbivora.com – Pemindahan ibu kota negara (IKN) ke Kalimantan Timur semakin nyata terpampang di depan mata, dengan disetujuinya pengesahan UU secara aklamasi yang dipimpin oleh ketua DPR RI Puan Maharani pada rapat paripurna ke-13.
Mesikipun begitu, pemindahan IKN ini masih menuai pro dan kontra di tengah masyarakat luas baik pada kalangan mahasiswa, pakar, akademisi maupun aktivis terutama bidang lingkungan.
Rencana pemidahaan IKN dilatarbelakangi oleh lonjakan jumlah penduduk, kemacetan dan pemerataan pembangunan. Sisi lainnya adalah rencana ini sudah jauh diinisiasi oleh Presiden Soekarno agar ibu kota negara berlokasi di Kalimantan.
Banyak masyarakat yang menilai keberanian Presiden Jokowi untuk memindahkan ibu kota adalah langkah visioner. Dengan memindahkan ibu kota negara akan melahirkan kebijakan otonomi daerah yang lebih demokratis dan berorientasi pada pemerataan dan kesejateraan masyarakat.
Tetapi tidak sedikit juga yang menilai bahwa pemindahan IKN di tengah pandemi Covid-19, yang sedang menguras ekonomi merupakan tindakan yang kurang bijaksana karena terkesan ambisius.
Di tengah berbagai silang pendapat terkait pemindahan IKN, ada hal penting yang tidak boleh luput dari pandangan kita dan harus direspons secara komprehensif dan kritis adalah tentang bagaimana status dan masa depan DKI Jakarta setelah ibu kota negara di pindahkan.
Masa depan Jakarta selalu dikaitkankan dengan mega konsep pembangunan negera seperti Amerika dan Australia yang berhasil membagi pusat pemerintahan dan bisnis.
Dengan melihat indikator-indikator penunjang seperti infrastruktur yang memadai apalagi Jakarta sedang mengagas dan mengembangkan high technology, yang rama lingkungan sehingga akan menarik investor untuk berinvestasi di Indonesai dengan menjanjikan berbagai kemudahan.
Namun yang menjadi catatan kritis saya disini, sedari dulu semenjak VOC menancapkan kukunya di bumi pertiwi, Jakarta dengan nama lawas Batavia telah dijadikan sebagai kota bisnis oleh VOC pada masa kolonialisme sampai kemerdekaan. Bahkan sampai sekarangpun kondisi sosial ekonomi sebagian besar masyarakat Jakarta tidak banyak yang berubah, justru makin tampak kesenjangan sosial yang begitu besar.
Hal ini dikarenakan pembangunan ekonomi selama ini hanya diperuntukan unntuk menyongkong kepentingan dan kebutuhan kelompok oligarki kapitalis, yang orientasinya hanya mengeksploitasi sumber daya manusia dan alam untuk memperkaya diri sendiri, sehingga angka ketimpangan terus meningkat.
Hal ini bisa kita lihat dari laporan Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi DKI Jakarta tentang angka kemiskinan di kawasan ibu kota mencapai 498,29 ribu orang pada periode September 2021. Artinya, gap antara pendapatan penduduk pada kelas bawah dan kelas atas justru semakin tinggi.
Kemudian dalam konteks pemindahan IKN disini, saya melihat ada banyak pelanggaran prosedural yang diabaikan oleh pemerintah. Dalam hal ini pemerintah belum melakukan sosialisasi kepada masyarakat Jakarta, terhadap rencana pemindahan IKN. Proses legislasi pun berjalan terburu-buru dan naskah akademiknya juga diproses secara kilat sehingga terkesan lebih dominan politis daripada kajian ilmiah.
Harusnya pemerintah membiarkan rakyat mengetahui dengan jelas terkait rencana pemindahan IKN. Faktanya, rakyat tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan yang hanya sepihak dan penuh ambisi pemerintah, dan juga partai politik secara semena-mena hanya melegitimasi suara rakyat atas nama kepentingan umum.
Lebih memprihatinkan lagi, sejak rencana pemindahan IKN hingga disahkanya RUU oleh pansus, tidak pernah kita mendengar dari pemerintah maupun DPR RI membicarakan konsep utuh tentang pembangunan Jakarta ke depan setelah IKN dipindahkan dari Jakarta, selain gambaran abstrak Jakarta sebagai pusat bisnis seperti halnya New York dan Sidney.
Memang harus diakui bahwa Sidney dan Newyork adalah kota termegah dan masyur dengan kemajuan bisnisnya yang ditopang oleh high technology dan juga indeks pertumbuhan sumber daya manusia yang berkualitas.
Meski begitu, perlu kita ingat bahwa membangun Jakarta sangatlah berbeda dengan Australia dan Amerika maupun negara lainnya. Hal ini dikarenakan Jakarta mempunyai konteks budaya, kehidupan sosial dan secara antropologi memiliki ciri khas yang berbeda, sehingga dalam rangka pembangunan hal-hal prinsip ini tidak bisa diabaikan begitu saja.
Pengabaian terhadap identitas asli masyarakat Jakarta selama ini harus secara jujur kita katakan sering terjadi begitu saja dalam prospek pembangunan, akibatnya orang asli Jakarta selalu tersisihkan. Hal ini bisa kita lihat dari adat dan budaya serta kearifan lokal masyarakat asli Jakarta, yang telah mengalami degradasi diakibatkan modernisasi yang kebablasan. Belum lagi masyarakat asli Jakarta sebagian besar menjadi masyarakat pinggiran, yang tergilas oleh kelompok masyarakat borjuis modern.
Jika kita memacu pada prinsip Pembagunan nasional dalam arah pembangunan di Jakarta ini, kita harus akui bersama bahwa nilai-nilai intrinsik yang menjadi prisip pembangunan nasional masih jauh pangang dari api. Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Komnas HAM Beka Ulung Hapsara, mengatakan bahwa masyarakat miskin kota yang sebagian besar adalah masyarakat asli Jakarta, adalah salah satu kelompok yang hak asasi manusianya sering terlanggar.
Dengan menjadikan Jakarta sebagai kota bisnis, hal ini juga harus dikaji secara kompeherensif. Artinya tidak bisa hanya melihat pada apek ekonomi semata, tetapi harus melihat pada aspek Trigatra meliputi posisi dan lokasi geografis negara, keadaan dan kekayaan alam, keadaan dan kemampuan penduduk, serta Pancagatra merupakan aspek sosial kemasyarakatan yang terdiri dari ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan (Ipoleksosbudhankam).
Apalagi realitas Jakarta telah lama menjadi miniatur Indonesia yang ada dan hidup ribuan suku bangsa, serta Jakarta adalah kota sejarah perjalanan nusantra dalam mengusir penjajah yang kaya akan situs-situs sejarah juga budaya.
Kota Humanis, Adaptif dan Kolaboratif
Hal penting yang harus diperhatikan dalam pembangunan Jakarta dan menjadi PR pemerintah, adalah masyarakat miskin kota yang merupakan kelompok masyarakat yang dalam perjalanan peradaban Jakarta selalu menjadi pemain pinggiran, yang hanya diperuntukan identitasnya untuk amunisi politik semata dalam mencapai keuntungan isu dan juga elektoral.
Padahal dengan keberadaan masyarakat miskin kota yang telah ada disetiap musim pergantian pemimpin, seharusnya menjadi catatan penting dan juga perkerjaan bersama dalam menata pembangun yang lebih manusiawi dan representatif, agar mampu mewadahi kelompok masyarakat miskin kota.
Selama ini kita harus secara jujur, pemerintah Jakarta hanya mengutamakan kepentingan dan kebutuhan para oligarki kapitalis, yang orientasinya hanya untuk memperkaya diri sendiri dibandingkan dengan menyelesaikan persoalan masyarakat luas tak terkecuali masyarakat miskin kota.
Padahal prinsip pembangunan nasional jelas mengamanatkan, pembangunan nasional diselenggarakan berdasarkan asas demokrasi dengan prinsip-prinsip kebersamaan, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, serta kemandirian dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan nasional.
Apalagi kita mengetahui bersama bahwa dengan dipindakannya IKN dari Jakarta, maka babak baru perjalanan Jakarta sebagai ibu kota akan berubah wajah menjadi pusat bisnis dan perniagaan, hal ini baik namum juga harus diwaspadai gejolak bisnis kapitalis yang hanya akan mengekspolitasi dan membuat gap yang lebih luas antara yang miskin dan yang kaya.
Pemerintah perlu mempersiapkan pengembangan Grand Design Pembangunan Kependudukan (GDPK) guna mewujudkan masyarakat Jakarta yang berkeadilan dibidang ekonomi, ekologi dan juga gender.
Dalam hal ini, pemerintah juga tidak boleh mengabaikan masyarakat asli Jakarta yang sedari dulu ada, dan negara harus menghormati hak-hak tradisionalnya seperti apa ynag diejawantahkan dalam UUD 1945 pada pasal 18B ayat (2) dimana menyebutkan, ”negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup”.
Pemerintah juga harus menyiapkan sumber daya manusia yang merata, dalam menghadapi gejolak pembangunan ekonomi pasar bebas yang semakin mengglobal, dengan membangun sumber daya manusia yang berperikemanusiaan dan berwawasan lingkungan dan harus lebih berfokus pada program untuk menata kehidupan masyarakat miskin yang berada di Jakarta, agar bukan hanya pertumbuhan ekonomi yang dikejar namun juga pemerataan ekonomi melalui pembangunan yang berkeadilan. *(AR)
Joshua Artatira Kirch Prior Florisan, Presidium Pendidikan Dan Kaderisasi PMKRI Cabang Jakarta Pusat, Mahasiswa Perpajakan Sekolah Tinggi Perpajakan Indonesia.
Joshua Artatira Kirch Prior Florisan, Presidium Pendidikan Dan Kaderisasi PMKRI Cabang Jakarta Pusat, Mahasiswa Perpajakan Sekolah Tinggi Perpajakan Indonesia/ist. |