Indonesia Tanpa Aparat Keamanan

Foto. Dok. Pribadi

Oleh: Rendy Stevano

Kebatilan isi tubuh era demokrasi menyebabkan luka dalam bagi banyak orang. Rekonstruksi kejadian pada era baru (zaman otoriter) seringkali dipertontonkan oleh para pemegang kendali sistem demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara hingga hari-hari ini. Paling tidak berbagai aksi kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan terhadap mitra kritis pemerintah dalam hal ini kaum kritisme ialah sebagai contoh konkrit.

Prajurit yang bertugas menjaga keamanan dan ketenntraman kian hari dan perlahan mulai larut dalam pradigma berpikir yang keliru. Oleh karena pengambilan sikap semena-mena dari beberapa oknum yang justru merusak tatanan dari struktur regulasi yang berlaku. Konsep mematahkan pelaku demonstrasi ‘’dengan alibi atau didistorsi sebagai aksi keributan’’ dengan fisik tanpa berpikir dengan akal sehat, tidak sekedar menjadi asumsi belakang, tetapi lebih pada realitas konkret yang tak terbantahkan.

Misalkan, tindakan penyerangan secara represif terhadap peserta demonstran, merupakan pertunjukkan hilangnya integritas, profesionalitas, serta sikap kedewasaan mental dan pola pikir aparat keamanan kita. Akibat ulah bobrok dan sewenang-wenang tindakan para penegak hukum inilah yang menyebabkan kegelisaan mulai menjadi semacam gelagat mencurigakan yang justru mengganggu kehidupan masyarakat. Fungsi kontrol dalam hal menjaga keamanan dan ketentraman telah diabaikan. Dari kurik inilah kredibilitas para penegak hukum menurun drastis. Predikat pengayom masyarakat yang disandangnya patut dipertanyakan.

Kritikan publik justru dibungkam secara fisik dan label kawanan penjaga ketertiban. Kenyamanan kaum intelektual sebagai pelaku tumbangnya penguasa opotunis menjadi terancam. Ini dibuktikan dengan beberapa peristiwa yakni penganiayaan aktivis cipayung (GMNI, PMKRI dan PMII) Maumere oleh beberapa oknum kepolisian resort Sikka dua tahun silam, pemukulan kader PMKRI Ende oleh Pol PP dua tahun terakhir, berlanjut ke PMKRI Ruteng setahun berlalu, di Palopo ada pelecehan juga pemukulan anggota PMKRI Palopo baru dua bulan lalu, dan deretan peristiwa yang sama di berbagai daerah. Aspirasi masyarakat akhirnya berujung buntu. Karena ruang dialog sebagai jalan memberikan aspirasi dibentengi dengan cara yang represif. 

Kondisi real yang diuraikan diatas, kian menciptakan konspirasi yang makin marak antara lembaga yudikatif dan eksekutif, yudikatif dan legislatif, yudikatif dan pemilik modal, serta berbagai bentuk konspirasi lainnya yang masih menjadi isu-isu publik. Saksikan saja contoh-contoh kasus yang hari-hari ini beredar di media baik massa maupun elektronik.

Efisiensi rezim kepemimpinan mengalami diskreditasi. Seperti yang pernah disampaikan oleh filsuf Karl Raimon Poper, melalui teori falsifikasi, bahwa sebuah kebenaran hanya akan diraih apabila ada kritikan. Tanpa kritikan, kebenaran hanya akan bersifat semu. 

Pemimpin mesti merasakan persoalan krusial ini. Apabila dibiarkan, atau ia ikut terlibat didalamnya maka perkembangan bangsa hanya akan hidup dalam ruang imajinasi. Hampir tidak ada indikasi kuat kemajuan suatu daerah dari kancah nasional hingga tingkat desa. Bangsa ini hanya akan terperangkap dalam jurang yang sebenarnya diciptakan sendiri oleh otoritasnya. Hingga lahir pertanyaan reflektif, apakah keamanan dikubur dari bumi Indonesia? Atau apakah perlu adanya daur ulang sistem operasi keamanan kita?

Penulis adalah, Presidium Pendidikan dan Kaderisasi PMKRI Cab. Maumere St. Thomas Morus Periode 2016/2017

RELATED ARTICLES

Most Popular