Indonesia Dalam Disorientas Keadilan

PALU, VERBIVORA.COM– Apakah Pemuda dan Rakyat sudah mendapatkan keadilan, dan apakah pemerintah sudah berlaku adil bagi pemuda dan rakyat, baik keadilan kebebasan berpendapat/berekpresi, atau keadilan dalam pengekan hukum, dan keadilan selama keberlansungan rakyat indonesia..?

Alasan saya mengawali tulisan ini dengan sebuah pertanyaan tersebut adalah, karena saya merasa pemuda dan rakyat dari tahun 1958 hingga saat ini dalam keadaan disorientasi karena perilaku pejabat pemerintah dan penegak hukum yang mempertunjukkan politic obscene, bagi rakyat menanyakan sebuah keadilan, tentunyan masih dalam benak mereka atau masih beralir dalam pikiran mereka, karena praktek politic obscene kian tak tertahan bahkan masih subur di tanah NKRI.

politic obscene adalah adegan-adegan politik yang tidak pantas di tonton oleh khalayak atau rakyat seperti korupsi, kolusi, nepotisme, mafia hukum dan pajak, politik kartel, perkoncoan elitis antara politisi dengan korporat dan berbagai bentuk kongsi politik destruktif lainnya.

Disorientasi yang dimaksud, dalam bukunya eduardu lemanto berjudul presiden manusia setengah binatang, kajian filsafat kekuasaan adalah keadaan yang dirasakan seseorang berbeda dengan kebenaran yang terjadi, sehingga kerap menyebabkan kebingungan dan ilusi. Diorientasi dalam pemikiran penulis dalam tulisan ini adalah tentang keadilan disorientasi, dimana keadilan yang dirasakan oleh rakyat sangatlah berbeda dengan kebenaran yang terjadi, padahal dalam sila pancasila mencakup yang namanya nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia, namun itu berbanding terbalik dengan realitas yang ada.

Adapun bukti-bukti yang mendukung dibalik pertanyaan diatas maupun pernyataan pernyataan sebelumnya, sala satunya adalah keadilan dalam kepastian hukum, keadilan dalam kepastian hukum yang dimaksud penulis adalah bagimana supremasi hukum itu berlaku sesuai ius constutum, kenapa digma itu muncul?, alasannya, berbagai perstiwa hukum menurut penulis yang justru membuat rakyat menderita,dan berbagai dampak lainya adalah perstiwa hukum yang terjadi sala satunya, pada tanggal 5 september 2021 di Sumatra utara, seorang wanita korban penganiayaan 4 orang premanisme, yang justru ditetapkan jadi tersangka, bukan hanya itu saja, adapaun perstiwa lain yang terjadi yang dilakukan oleh penegak hukum yang menurut saya adalah hal yang tidak bermoral dan melanggar hukum, bahkan dosa menurut agama adalah perstiwa disulawesi tengah yang dilakukan kapolsek parimo, yang dimana menjanjikan kepada seorang anak yang ayahnya ditahan, yaitu membebaskana ayahnya apabilah ia memenuhi keinginanya.

Tindakan merupakan tindakan yang menurut penulis tidak berlaku adil, karena berlaku adil adalah ikuti sesuai arahan hukum dalam penyelesaian sebuah pertiwa,  bukan dengan otoritarianisme atau sewenang-wenang karena jabatannya, Hal ini yang menimbulkan keadilan yang disorientasi bagi rakyat. Dalam keadaan disorientasi seperti politic obscene, adalah korupsi, berdasarkan data swadaya masyrakat anti-korupsi Indonesia corruption watch ( ICW ) merilis laporan tren penindakan kasus korupsi semetser 1 tahun 2021, jumlah penindakan kasus korupsi selama 6 bulan awal tahun 2021 mencapai 209 kasus(data dirilis TEMPO.CO), ini merupakan keadilan parsial yaitu menguntungkan diri sendiri, mengabaikan kepentingan umum, padahal, mereka adalah poejabat public, otomatis segala sesuatu mengenai jabatannya itu untuk public, bukan hanya itu, keadilan dalam kebebasan dalam berpendapat/berekspresi oleh kalangan pemuda yang berkecimpung di dunia aktivitis, bahkan para jurnalispun belum terpenuhi.

Direktur amnesty internatonal wirya adiwena mencatat sepanjang 2020 ada 132 kasus dugaan pelanggaran ha katas kebebasan berekspresi dengan menggunakan UU ITE, dengan total 156 korban, diantaranya 18 aktivis dan empat jurnalis,sementara tahun 2021 sudah terjadi 56 kasus serupa dengan total 62 korban. ini seperti seemed reality/ realitas yang menampilkan kesan(appearance) dan kesan itu menutupi fakta yang sesungguhnya, seperti realitas demokrasi yang tampil penuh dimana seolah-olah mendapatkan haknya masing-masing, namun, dibalik kesan ini ternyata masih menumpuk persoalan-persoalan yang tidak sesuai kesan tersebut, bukan hanya itu saja kasus terbaru dimana oknum polisi, ada juga bukti lain yang dilakukan oleh polisi ( brigadir NP) yaitu smackdown membanting mahasiswa di tangerang saat berdemo di depan kantor PEMBAK Tangerang, Ini merupakan Suatu Adegan Yang Justru mendegradasi nilai-nilaikebebebasan berkespresi, Padahal Secara Ius Constutum sudah jelas diatur tentang Hak Asasi Dan Hak Kebebasan Berekspresi.

Dari beberapa kasus dan data diatas, membuktikan bahwa keadilan di Indonesia sedang dalam keadaan disorientasi, dimana keadilan keadaan yang dirasakan seseorang berbeda dengan kebenaran yang terjadi, sehingga kerap menyebabkan kebingungan dan ilusi, maka dari itu penulis ingin menyampaikan perlu adanya rekonsiliasi terhadap pemerintah, baik eksekutif, dan legislative dan terlebih khusus bagi penegak hukum, supaya keadilan itu tidak lagi seperti keadilan disorientasi.

Oleh : David Sukker (Presisium Gerakan Masyarakat PMKRI Cabang Palu)

Exit mobile version