Indonesia Butuh Pendidikan Politik

Efraim Mbomba Reda (Komda III PP PMKRI Periode 2018-2020)

Jika
masyarakat hari ini menganggap politik merupakan sesuatu yang buruk, itu adalah
pandangan yang suci atau apa adanya. Sebab, sedikit saja masyarakat yang tahu
bahwa
cita-cita politik
adalah ‘bonum commune’ seperti yang diungkapkan oleh filsuf besar Yunani
bernama Aristoteles, yang dipelajari oleh elit
elit
politik kita. Masyarakat tentunya hanya menilai politik sejauh yang diperankan
oleh elit politik.
Masyarakat
menganggap politik itu buruk
karena elit
politik
kita memang
dan sedang menampilkan politik yang buruk pada masyarakat.
Di
tengah rasa antipati masyarakat terhadap politik dan kepentingan Indonesia
sebagai sebuah bangsa untuk meningkatkan kualitas demokrasi, maka pendidikan
politik adalah sebuah jalan yang harus ditempuh serta menjadi prioritas negara
dalam kebijakan-kebijakan yang dihasilkannya.
Menakar Pendidikan Politik
Dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Partai Politik menyatakan bahwa
pendidikan politik adalah proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak,
kewajiban dan tanggungjawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Jika
dikaitkan dengan fungsi partai politik, pendidikan partai politik dapat
diartikan sebagai usaha sadar dan sistematis dalam mentransformasikan nilai-nilai
perjuangan partai politik atas dasar kesamaan kehendak serta cita-cita dalam
memperjuangkan dan membela kepentingan masyarakat.
Entah
seperti apa proses pengkaderan atau pendidikan politik di dalam partai politik,
data menunju
kkan bahwa sedikitnya 545
atau 61% dari aktor korupsi yang dijerat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
adalah anggota DPR, DPRD Provinsi, Kabupaten dan Kota serta para kepala daerah
yang diusung partai politik.
Peristiwa
miris lainnya adalah hampir semua partai politik peserta pemilu tetap mengusung
eks napi koruptor sebagai calon anggota legislatif. Sebanyak 13 dari 16 parpol
peserta pemilu yang mengusung eks koruptor. Hanya PKB, PPP dan PSI yang daftar
calegnya bersih dari bekas napi korupsi.
Fakta-fakta
di atas menunjukan bahwa bukan sekedar pendidikan politik di internal partai
‘rapuh’ sehingga melahirkan kader-kader yang koruptif
, tetapi partai politik juga tidak
menjaga integritasnya sebagai instrumen demokrasi yang anti terhadap korupsi
sebagai sebuah tindakan yang merugikan bangsa. Hal ini menunjukan bahwa dalam
konteks nasional, partai politik sendiri belum tuntas secara nilai serta tidak
memberikan contoh kepada masyarakat bahwa seorang koruptor sebetulnya telah
gagal secara integritas karenanya ia tidak boleh diijinkan untuk berlaga dalam
pesta demokrasi, atau tepatnya dipecat dari partai.
Dalam
konteks pendidikan formal Indonesia hari ini, pendidikan politik barangkali
sudah direpresentasikan dengan Pendidikan Pancasila maupun Pendidikan
Kewarganegaraan namun sebetulnya itu tidaklah cukup. Pendidikan politik di
sekolah harus diterjemahkan pada aktivitas-aktivitas ril dalam dinamika
sekolah. Misalnya, pemilihan ketua OSIS dilakukan dengan cara yang demokratis,
selenggarakan debat-debat sekolah, guru harus legowo untuk idenya didebat oleh
siswa dan lain-lain. Yang lainnya adalah sekolah- sekolah di Indonesia belum
secara signifikan memanfaatkan keberagaman suku, agama, dan ras dari murid
murid di internal sekolah
dalam kegiatan-kegiatan kreatif yang memunculkan rasa bangga murid menjadi
Indonesia karena keberagaman.
Pendidikan
politik idealnya dimulai dari
kalangan elit politik.
Dimu
lai dari Presiden dan
jajarannya, ketua partai politik, kader-kader partai politik maupun publik
figur dengan memberi contoh politik yang baik kepada masyarakat, terlebih kepada
generasi muda. Contoh konkritnya adalah dengan tidak mengatakan Indonesia akan
bubar pada tahun 2030, sontoloyo, tampang Boyolali, ‘cebong’, ‘kampret’,
mengklaim kemenangan pemilu pilpres sebelum hasil pengumuman resmi dari KPU
serta tidak melakukan tindakan korupsi.
Elit
politik selayaknya mengganti narasi-narasi di atas dengan narasi yang
menyatukan, konstruktif, dan penuh optimisme. Elit politik harus memberikan
contoh kepada masyarakat bahwa politik adalah medium bagi warga negara yang
ingin membaktikan hidupnya untuk bangsa secara total. 
Berikutnya
adalah partai politik mesti menyelenggarakan proses rekrutmen dan kaderisasi
yang baik, serta memiliki tahapan yang terstruktur agar menghasilkan pemimpin-pemimpin
yang bermutu, yang siap memimpin serta mendedikasikan hidupnya untuk bangsa.
Proses rekrutmen dan kaderisasi di dalam partai politik diibaratkan seperti
bercocok tanam untuk mendapatkan hasil yang unggul. Karena itu butuh proses,
memilih, menanam dan mengolah bibit itu secara unggul pula. Kualitas kader
dalam suatu partai politik menentukan daya jual partai di masyarakat.
Masyarakatpun akan memilih kader maupun partai politik yang memiliki integritas
sehingga sungguh – sungguh memperjuangkan aspirasinya
.
Pendidikan
politik juga bisa dimulai dari sekolah (pendidikan formal). Sebagai contoh,
pendidikan politik pada anak lewat kegiatan diskusi kelompok, proses pemilihan
ketua kelas atau pengurus OSIS, debat gembira antar kelas dan kegiatan-kegiatan
yang memungkinkan para mahasiswa saling mempertemukan gagasan-gagasan mereka
secara demokratis. Keterampilan sederhana semacam ini sepatutnya sudah
terprogram secara baik di lembaga pendidikan formal kita. Selain itu,
pendidikan pancasila ataupun kewarganegaraan mesti diterjemahkan ke dalam
metode-metode yang lebih kreatif, langsung menyasar pada cara anak didik
berperilaku menjadi anak bangsa atau warga negara yang baik, tidak lagi hanya
sebatas teori.

Terungkap
dalam temuan Internasional Social Survei di Australia dan Selandia Baru (2016),
yakni 71%, warga negeri Kanguru dan 64% warga negeri Kiwi mendukung
diberikannya kesempatan kepada remaja berusia 15 hingga 18 tahun untuk
mempengaruhi keputusan-keputusan pemerintah. Riset menyimpulkan, anak-anak
menjadi warga negara aktif, mereka memeragakan berbagai cara untuk memberikan
sumbangsih bagi kebaikan komunitas.

Anak-anak
membuat usulan, menyelenggarakan pertemuan-pertemuan kreatif, mengirim surat
kepada pembuat kebijakan dan kegiatan-kegiatan positif lainnya. Kita semua
tentunya menginginkan agar anak-anak Indonesia terlibat dalam dunia politik
dengan membawa ide-ide kreatif, positif dan konstruktif untuk pembangunan
bangsa maka menciptakan ruang bagi anak-anak untuk berkreasi dalam memberi
kontribusi bagi dunia politik oleh pendidikan formal maupun negara adalah
alternatif yang tepat.
Sejatinya,
jika pendidikan politik kita bagus maka politisi tidak sibuk menghina satu
dengan yang lainnya seperti yang terjadi hari ini, tim pemenangan capres dan
cawapres tidak saling mengklaim kemenangan, warga negara tidak akan mengatakan
yang satu kampret dan yang lainnya cebong dan masyarakat tidak akan menganggap
bahwa politik adalah sesuatu yang buruk. Fakta-fakta di atas menunjukan bahwa
pendidikan politik kita masih buruk. 
Kita
tentunya menginginkan agar Indonesia menjadi bangsa yang besar, beradab, kuat
serta menjadi contoh bagi bangsa-bangsa di dunia. Karena ada sebuah negeri
bernama Indonesia dengan beragam suku, agama dan ras, demokratis dengan anak-anak
bangsa yang cerdas, mampu mempertahankan stabilitas politik serta memiliki pemimpin-pemimpin
yang menawarkan keteladanan, optimisme dan kemajuan bagi bangsanya. Kita semua
merindukan Indonesia yang seperti itu, cara untuk mewujudkannya adalah dengan
menyelenggarakan pendidikan politik.
Indonesia
butuh pendidikan politik !

*Penulis adalah Mahasiswa
Universitas Warmadewa

Komisaris Daerah Regio 3 Pengurus
Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Periode 2018 –
2020
Exit mobile version