Beranda Update Hidup Rukun di Antara Perbedaan Agama

Hidup Rukun di Antara Perbedaan Agama

0
Ket. Mario Yosryandi Sara (Foto. Dok. Pribadi)
Oleh: Mario Yosryandi Sara*
Indonesia merdeka pada tanggal 17
Agustus 1945. Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki pulau
sebanyak 17.508. Pulau-pulau ini terdiri atas 5 pulau besar dan ribuan pulau
kecil. Dengan adanya bentuk kepulauan tersebut populasi penduduk di Indonesia
sebanyak 250 juta jiwa.
Semboyan dari bangsa Indonesia
sendiri yakni, “Bhinneka Tunggal Ika” yang artinya meskipun berbeda-beda tetapi
tetap satu jua. Perbedaan disini meliputi ragam budaya, bahasa daerah, ras,
suku bangsa, agama dan kepercayaan. Setidaknya bangsa Indonesia memiliki 1.128
suku bangsa, 6 agama yang diakui oleh bangsa, yakni Islam, Kristen, Katolik,
Hindu, Budha, dan Khonghucu (Konfusius). Banyak etnis yang juga ada di
Indonesia, seperti Melayu, China, Arab dan lain sebagainya.
Perbedaan inilah yang disebut dengan
keragaman, yaitu kekayaan bangsa yang penuh dengan nuansa dan variasi.
Perbedaan akan semakin banyak apabila dilihat dari sisi yang lebih luas,
misalnya saja dalam hal golongan, partai politik dan organisasi. Sehingga di Indonesia
yang terdapat berbagai etnis dan suku, agama, pengikut partai politik dan
kelompok organisasi keagamaan. Maka sesungguhnya keragaman bangsa ini bagaikan
mozaik sebuah lukisan yang harus diterima oleh semua orang.
Dalam keragaman inilah diperlukan
toleransi bagi semua bangsa Indonesia sendiri. Toleransi adalah sikap atau
kesediaan hati untuk menerima perbedaan dalam bentuk tidak menjadikan alasan
untuk bersikap bermusuhan terhadap orang atau kelompok orang yang berbeda.
Lawan dari toleransi yakni, ekstrimitas yang artinya tindakan berlebih-lebihan
dalam melakukan sesuatu dan cenderung tidak mau menerima perbedaan. Akhir-akhir
ini yang sedang terjadi di Indonesia adalah ekstrimitas yang dilakukan oleh
beberapa kelompok terhadap suatu agama. Hal-hal seperti itu akan memunculkan
konflik antara umat-umat beragama.
Konflik Maluku, Poso, ditambah
sejumlah kasus terpisah di berbagai tempat di mana kaum Muslim terlibat konflik
secara langsung dengan umat Kristen adalah sejumlah contoh konflik yang
sedikit-banyak dipicu oleh perbedaan konsep di antara kedua agama ini. Perang
salib (1096-1271) antara umat Kristen Eropa dan Islam, pembantaian umat Islam
di Granada oleh Ratu Isabella ketika mengusir Dinasti Islam di Spanyol adalah
konflik antara Islam dan Kristen terbesar sepanjang sejarah.

Sejumlah kerusuhan dan konflik sosial
yang muncul di indonesia beberapa tahun belakangan di berbagai daerah. Beberapa
di antaranya berskala besar dan berlangsung lama, seperti kerusuhan di Ambon
(mulai tahun 1998), Poso (mulai tahun 1998), Maluku Utara (pada tahun 2000) dan
di berbagai daerah lainnya. 

Dari kajian-kajian yang telah dilakukan mengatakan
konflik yang ada di Maluku pada awalnya disebabkan oleh kesenjangan sosial dan
kepentingan politik. Eskalasi politik meningkat cepat karena mereka yang
bertikai melibatkan sentimen keagamaan untuk memperoleh dukungan yang cepat dan
luas. Agama dalam kaitan ini bukan pemicu konflik, tetapi karena isu agama yang
muncul belakangan.
Konflik-konflik agama yang muncul di
Indonesia selain disebabkan oleh kelompok yang tidak mau menerima perbedaan
juga disebabkan oleh masalah sepele yang menjalar kepada permasalahan SARA.
Masalah tersebut dapat membuat pertikaian antar suku, agama, dan kebudayaan.
Fakta yang terjadi saat ini adalah
ketika kelompok agama itu menganggap bahwa agamanyalah yang paling benar,
agamanyalah yang paling nomor satu dan menganggap agama yang lain salah.
Sehingga kekerasan, perpecahan, pertikaian, pelecehan terhadap agama lain
bahkan juga pembunuhan terjadi dimana-mana.
Salah satu penyebab terjadinya
perpecahan antar agama adalah hadirnya seperangkat ritual dan sistem
kepercayaan yang berbeda dari yang lainnya, lama-kelamaan akan melahirkan
komunitas yang baru dan berbeda dari pemeluk agama lain. Rasa perbedaan tadi
semakin intensif apabila para pemeluk agama telah menganggap agamanyalah yang
paling benar dan agama lainnya adalah agama yang salah dan perlu untuk
dimusuhi.
Kasus yang sering muncul dalam
konflik tersebut adalah pendirian rumah ibadat. Pendirian rumah ibadat yang
lokasinya berada di tengah-tengah komunitas yang kebanyakan menganut agama lain
ini dapat memicu adanya konflik. Permasalahan bisa menjadi rumit apabila jumlah
rumah ibadat tersebut dipandang oleh pihak lain tidak untuk keperluan agama,
melainkan untuk menyiarkan agamanya pada komunitas lain.
Fakta inilah yang sering terjadi di
masyarakat, komunitas yang mendirikan rumah peribadatan di tengah suatu
komunitas yang memiliki mayoritas perbedaan agama tidaklah untuk keperluan
agama mereka tetapi untuk menyiarkan agamanya pada komunitas lain agar
komunitas yang berbeda agama bisa ikut agama tersebut dan menyebarluaskannya.
Seharusnya hal itu tidak diperbolehkan karena termasuk dalam pemaksaan yang
sifatnya terselubung maupun terang-terangan.
Hal lain yang biasa digunakan untuk
menjadikan dua agama yang saling bertikai adalah adanya anggapan bahwa
mempertahankan hak dengan cara memaksa dan menyerang orang yang mereka anggap
menyimpang, bahkan membunuh orang yang melakukan penyimpangan itu disebut
kewajiban. Apabila ada agama ketiga diluar agama yang bertikai menyaksikan
pertikaian itu, maka agama tersebut akan tersenyum mengejek karena kedua agama
yang saling bertikai itu saling menghancurkan.

Walaupun benar bahwa adanya
konflik-konflik yang marak seperti yang ada saat ini disebabkan karena
perbedaan konsepsi agama, seperti yang ada pada konflik antara Katholik dan
Protestan di Eropa (khususnya di Irlandia Utara) dan antara Sunni dan Syi’ah di
dunia Islam (misalnya Irak), atau perang Salib antara kaum Muslim dengan bangsa
Eropa (1096-1271). 

Pada konflik Ambon yang ada di Indonesia juga disinyalir
disebabkan karena perbedaan konsep agama, walaupun faktor-faktor yang lainnya
juga disebabkan oleh kondisi sosial, ekonomi dan sebagainya juga turut
berperan. Dari tahun ke tahun ribuan bahkan ratusan ribu jiwa melayang dalam
pertikaian panjang dan melelahkan itu.
Terhadap konflik-konflik yang terjadi
antara umat beragama telah menimbulkan dua kutub pemikiran yang berbeda.
Pertama, sikap “anti agama” yaitu berupa pengingkaran peran agama dalam
kehidpan pribadi, bermasyarakat dan bernegara. Agama dianggap sumber konflik,
tidak mempunyai peranan penting, salah satu penyebab terjadinya pembunuhan dan
kematian antara umat manusia, sehingga harus disingkirkan dan dilenyapkan. Meskipun
demikian “melenyapkan” peran agama dalam kehidupan manusia masihlah dianggap
absurd, dan tidak sesuai dengan realitas.
Gagasan kedua adalah kelompok yang
“menyamakan” semua agama. Gagasan ini muncul karena anggapan perbedaan konsepsi
agama merupakan konflik umat manusia. Upaya penyamaan ini biasanya
dikamuflasekan dengan paham pluralisme agama. Sebab, agama-agama yang ada
mempunyai sumber yang sama, yaitu Yang Mutlak (Tuhan). Jika terjadi perbedaan
bentuk, ini disebabkan oleh manifestasi dalam menanggapi Yang Mutlak tersebut.
Sehingga, walaupun pada aspek eksoterisnya berbeda, namun pada level esoteri,
kondisi internal tetaplah sama.
Maka, dengan paham ini tidak benar
dan tidak diperbolehkan untuk masing-masing agama yang menyebut agamanya
memiliki kebenaran secara mutlak (truth claim). Gagasan pluralisme yang
cenderung menyamakan agama jelaslah sesuatu yang absurd dan tidak sesuai dengan
realitas bahwa konsepsi masing-masing agama memang berbeda. Tidak hanya pada
level eksoteris saja, bahkan pada level esoteris juga.
Jika dikaji lebih dalam akan
menimbulkan pertanyaan. Apakah benar semua agama akan sama pada level ini?
Jawabannya tentu saja tidak. Ini adalah sesuatu yang mustahil untuk
“mempersatukan” agama-agama, sementara konsep masing-masing agama tentang
“Tuhan” berbeda antara yang satu dengan yang lainnya.

Tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa
menyamakan semua agama adalah suatu gagasan yang jelas-jelas mengingkari
kenyataan yang ada bahwa masing-masing agama memang berbeda. Tuhan di dalam
Islam tidaklah sama dengan Tuhan di agama Kristen dan di agama yang lainnya.
Tuhan di dalam Islam adalah Tuhan Yang Maha Esa, Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, serta Maha Kuasa. 

Dia tidak beranak dan juga tidak diperanakkan, dan
tidak ada satupun makhluk yang dapat menyerupai-Nya. Allah tidak terjangkau
panca indera dan akal manusia yang terbatas kemampuannya. Dia, Allah jelas
tidak sama dengan pemahaman umat kristen tentang Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam agama Kristen, Tuhan Yang Maha
Esa itu terdiri dari tiga oknum, yakni Tuhan Bapak, Tuhan Anak (Isa) dan Tuhan
Kudus yang dikenal dengan sebutan Trinitas, suatu ajaran “diperkenalakan”
pertama kali oleh Paulus. Dia pulalah yang menghapuskan sekaligus menciptakan
syariat-syariat baru yang diajarkan Musa sebagai Nabi yang paling dihormati dan
diagungkan oleh kaum Bani Israil.
Konflik antara umat beragama dalam
berbagai kasus, tidaklah disebabkan oleh perbedaan konsepsi diantara
agama-agama. Itu lebih merupakan asumsi yang tendensius, yang disengaja atau
tidak, berupaya “mengaburkan” peran agama dalam membentuk peradaban baru yang
posesif. Dia lebih menonjolkan “wajah muram” agama-agama di tengah umatnya,
sehingga agama tidak ubahnya seperti tembok yang memisahkan manusia dengan
manusia dari kepercayaan yang berbeda, sekaligus menumbuhsuburkan sikap
kebencian dan permusuha antara pemeluk agama.
Maka, sebagai bangsa Indonesia yang
kaya akan keberagaman kita tidak seharusnya bertikai antara agama yang satu
dengan yang lainnya. Kita harus bersikap toleransi dalam kehidupan di
masyarakat khususnya dalam beragama. Toleransi dalam beragama bukanlah
mencampur adukkan ajaran dua agama, tetapi toleransi di sini adalah memperdalam
keagamaan, dan spiritual dengan berbagi pengalaman spiritual dengan penganut
agama lain.
Yang demikian itu dapat memperkaya
pengalaman dalam rangka membangun dan memperkokoh agamanya sendiri. Jangan
menutup diri untuk mempelajari agama lain, karena ketakutan adalah buah dari
keraguan, dan keraguan akan menimbulkan kegoyahan dalam kehidupan, kegoyahan
akan mendekati kemurtadan.

*Penulis
adalah anggota aktif  PMKRI Cabang Kupang, Mahasiswa 
semester V, Universitas Nusa Cendana, Fakultas Peternakan.

Alamat Fb : Yosryandi Sara

Exit mobile version