Jakarta, Verbivora.com – Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PP PMKRI) meminta kepada pemerintah Provinsi Maluku untuk segera menghentikan segala tindakan perampasan ruang hidup masyarakat adat Marafenfen Kepulauan Aru, Maluku.
Pada 17 November 2021 perjuangan masyarakat adat Marafenfen Kepula untuk mendapatkan kembali wilayah adatnya yang diambil alih oleh Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) berakhir mengecewakan.
Oleh Pengadilan Negeri Dobo, Kepulauan Aru menganggap kepemilikan wilayah adat yang kini dikuasai oleh TNI AL adalah sah secara hukum.
Perebutan wilayah adat Marafenfen ini bermula ketika TNI ingin membangun fasilitas militer karena dianggap letak daerah tersebut sangat strategis.
Baca juga:Konflik Antara Aparat dan Masyarakat Adat Terjadi Lagi, PMKRI: Bentuk Arogansi Pemerintah
Keinginan itu semakin diperkuat ketika Gubernur Maluku menerbitkan Surat Keputusan (SK) Gubernur Maluku dengan Nomor 591.1/SK/50/92 bertanggal 22 Januari 1992. Hal inilah yang menjadi dasar pembuatan sertifikat atas lahan yang dikuasai oleh TNI AL.
Sampai saat ini, masyarakat adat Marafenfen masih berjuang untuk mempertahankan wilayah adatnya seluas 689 Hektare. Berbagai upaya telah dan akan mereka tempuh untuk mengembalikan hutan adat mereka. Termaksud upaya banding terhadap putusan Pengadilan Negeri Dobo yang dianggap merugikan masyarakat adat.
Menanggapai polemit tersebut, PP PMKRI meminta kepada pemerintah Provinsi Maluku menerbitkan aturan baru tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat Marafenfen, Kepulauan Aru, Maluku.
Melalui Presidium Gerakan Kemasyarakatan PP PMKRI Alboin Samosir mengatakan, “praktik perampasan wilayah adat berkedok legalitas atau sertifikat sungguh merupakan upaya sistematis yang dilakukan oleh pemerintah untuk merebut wilayah adat. Dan saat ini, hal tersebut dialami oleh masyarakat adat Marafenfen,” ungkapnya.
Ia menjelaskan, “padahal, apabila berkaca dari sejarah dan budaya Masyarakat Adat Marafenfen secara eksistensi mereka sudah jauh lebih dulu ada, kemudian pola masyarakat adat yang masih mempertahankan wilayah adat lewat eksistensinya, adanya hukum adat yang masih hidup, serta peninggalan sejarah kebudayaan baik benda ataupun non benda, harusnya sudah bisa menjelaskan mengapa negara perlu melindungi mereka.”
“Maka, meminta adanya bukti kepemilikan lahan lewat sertifikat yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) sungguh sebuah proses yang tidak adil dan berimbang. Apalagi diketahui dalam proses memperoleh tanah adat ini dipenuhi dengan cara memanifulasi hasil musyawarah yangmana acara musyawarah tersebut ditandatangani oleh orang-orang yang fiktif dan tidak cakap secara hukum.” sambung Alboin.
Baca juga: Menagih Komitmen Indonesia terhadap Perubahan Iklim
Ia menambahkan, keberadaan masyarakat adat secara gamblang diakui oleh konsitusi dan perundang-undangan yang ada di Indonesia. Hal ini dinyatakan di Pasal 18B ayat (2), Pasal 3 UU No. 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, dan UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM.
“Yangmana bila ditarik benang merahnya, mengatakan negara mengakui dan melindungi keberadaan dari masyarakat adat yang ada di Indonesia, “ terang Alboin.
Oleh sebab itu, ia mendesak, “sesuai dengan amanat Permendagri Nomor 52 tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat terutama di Pasal 5 dan Pasal 6 maka, Kepala Daerah yang bersangkutan dalam hal ini Bupati Kepulauan Aru agar segera melakukan penetapan dan pengakuan masyarakat adat Marefenfen.”
“Maraknya penggusuran ruang hidup terhadap masyarakat adat di berbagai daerah di Indonesia, salah satunya dikarenakan belum adanya regulasi yang secara utuh mampu mengakomodir pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat. Undang-undang dan aturan sektoral saat ini masih cenderung tumpang tindih dan berbelit-belit. Maka, pemerintah dan DPR harus segera mensahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat,” tutupnya. *(AR)
Presidium Gerakan Kemasyarakatan Pengurus Pusat PMKRI, Alboin Samosir/verbivora.com |