HEGEMONI KEKUASAAN DI ERA REFORMASI

Sumber Foto: http://wanita.me/wp-content/uploads/2018/05/reformasi.jpg

Oleh: Thomas Tukan*

(Tulisan ini sebagai
persembahan 20 tahun reformasi Indonesia tanggal 21 Mei 2018)

Mengevaluasi reformasi bagi
saya tidak hanya dilihat secara tahun per tahun berdiri sendiri, namun menjadi
utuh apabila evaluasi tersebut dilihat secara komprehensip dalam langkah satu
periode setiap kepemimpinan. Sebab rangkaian tahun yang berdiri sendiri
tersebut akan membentuk kesatuan kebijakan periodesasi negara dalam frame siapa
pemimpinnya dan bagaimana kebijakannya.

Setelah orde baru memegang,
mengendalikan dan mempertahankan pemerintahan secara status quo, lahirlah
reformasi sebagai angin segar bagi masyarakat Indonesia. Reformasi (reform) yang
berarti memperbaiki atau memperbaharui, diharapkan mampu memberikan perbaikan
negara ke arah yang baru meliputi segala hal, berupa: sistem, mekanisme,
aturan, kebijakan, tingkah laku, kebiasaan, cara-cara, atau praktik yang selama
ini dinilai tidak baik dan diubah menjadi baik2.

Soeharto mengeluarkan
kebijakan Penanaman Modal Asing (UU No.1/1967) di awal orde baru sekaligus
sebagai pintu masuk investor asing melakukan penjarahan di tanah air Indonesia.
Orde baru menyebabkan Soehartois menjadi mafia kapitalis yang tumbuh dan
berkembang menjadi sebuah kekuatan 1 persen kelompok inteketual yang menguasai
kekayaan Indonesia. 

Segelintir orang pentolan orde baru inilah yang menjadi
aktor pembawa pengaruh pola orde baru menjadi sebuah iklim hegemoni dalam
sistem pemerintahan era reformasi sekarang. Jelmaan kekuatan ini selalu
mengevolusi dari masa ke masa di era reformasi, semakin menguat dari satu
kekuasaan ke kekuasaan berikutnya hingga bisa diprediksi berada di titik nadir
di kekuasaan Jokowi-JK hari ini.

Sebagai pertanyaan pengantar
saya mengapa dan bagaimana negara bisa mendapatkan consensus atas kekuasaannya
terhadap masyarakat? Negara dalam segala kebijakannya selalu ada upaya
penjinakan terhadap rakyat.

Menurut Antonio Gramsci3 kebijakan
yang destruktif bisa menggunakan dua kekuatan hegemoni yaitu: Means of
Coercion:
Senjata dan Means of Establishing Hegemonic Leadership: Media.
Pada masa orde baru dua kekuatan ini ada dan sangat terasa.

Pemerintah mengendalikan
kebijakannya lewat gerakan militer dan tentara dijadikan sebagai alat politik.
Sangat jauh dari harapan welfare state dimana mimpi negara sebagai alat
kesejahteraan. Masyarakat didekatkan pada tungku pembangunan yang sangat
kapitalis yang efek pengisapannya sampai hari ini memasuki ulang tahun
reformasi ke 20 masih kita dirasakan.

Hegemoni negara harus
dipahami dari analisis terhadap kelas dominan (kelompok intelektual) dalam
suatu negara, seluruh aspeknya harus diperhatikan sebagai kekuatan penguasa (force)
lalu ditambah persetujuan masyarakat (consent). Ini merujuk pada
situasi sosial politik dimana falsafat dan praktik sosial masyarakat menyatu
dalam keadaan seimbang4. Hegemoni selalu berhubungan dengan penyusunan kekuatan
negara sebagai kelas oligarki. 

Dan ini bisa dirasakan dalam pemerintahan
Jokowi, ketika hegemoni itu dikendalikan oleh kelompok oligarki 1 persen
(kapitalis peninggalan orde baru) yang menguasai 65 persen kekayaan Indonesia
dan kru Soeharto (militerisme) yang sekarang
sedang berada
dalam sistem pemerintahan RI. Bahkan kekuatan ini telah berdiaspora membentuk
stasiun TV dan partai-partai politik. 

Refleksi empat tahun pemerintahan Jokowi
semakin menjauh dari 6 (enam) amanat reformasi yang tertuang dalam ketetapan
MPR No. X/MPR/1998 tentang pokok-pokok reformasi. Gugatan terhadap keenam pokok
reformasi dapat saya utarakan sebagai berikut:

1) Penegakan supremasi hukum
di Indonesia yang masih belum tegas. Terlepas banyak kekosongan hukum, tumpang
tindihnya hukum dan beberapa catatan hukum yang diskriminatif, dari sisi
penegakan juga masih dalam campur tangan dan interfensi politik.

2) Sebagai upaya
pemberantasan terhadap KKN, posisi KPK semakin diperlemah dengan upaya tekanan
dari pemerintah dan DPR terhadap lembaga ini.

Pelemahan KPK mencapai titik
paling mencemaskan dimana bila sampai KPK dibatasi wewenangnya maka penghapusan
KKN akan semakin sulit dilakukan. KPK sering dikriminalisasi. Penyelidikan atas
penyerangan terhadap penyidik senior Novel Baswedan dengan air keras seolah
mandek setelah berjalan 1 tahun dengan mengisahkan pertanyaan siapa otak
kejahatan ini.

Pernyataan Presiden Jokowi
yang berulangkali menyampaikan akan memperkuat KPK sampai hari ini baru sebatas
wacana dan belum dikonkritkan dengan berdiri bersama KPK dan gerakan
anti-korupsi5.

3) Sampai hari ini tidak
pernah ada pengadilan atas kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Soeharto
dan kru nya. Ada sejumlah utang sejarah pelanggaran HAM masa lalu, misalnya
Penculikan Aktivis dan kasus Trisakti, Semanggi I dan II, yang harus dilunasi
oleh negara. 

UU HAM No. 39 Tahun 1999
sebagai produk reformasi telah menegaskan negara perlu membentuk dua lembaga
yaitu: Komnas HAM dan Pengadilan HAM. Namun sampai sekarang pengadilan HAM di
Indonesia masih bersifat Ad Hoc dan belum didorong menjadi sebuah
lembaga peradilan (permanen) yang independen. Ada ketakutan negara untuk
membongkar dosa sejarah atas dirinya sendiri.

Hal ini dibuktikan dengan
sampai hari ini tidak pernah ada pengadilan atas kejahatan kemanusiaan yang
dilakukan oleh Soeharto dan kru nya. Bahkan kejahatan kemanusiaan yang
dilakukan Soeharto dan kru nya tidak pernah tersentuh pengadilan dan para
pelakunya justru mendapat impunitas.

Impunitas itu masih terus
diberikan sampai sekarang dan bahkan Presiden Jokowi mengangkat sejumlah
perwira yang seharusnya bertanggungjawab atas kejahatan kemanusiaan seperti
masuk dalam jajaran pejabat negara.

4) Semangat amandemen UUD
Negara RI Tahun 1945 belum menyentuh sampai ke seluruh UU pelaksananya. Konstitusi
yang diharapkan harus berkedaulatan rakyat namun masih ada yang jauh dari
rakyat. Misalnya: UU No. 2 Tahun 2018 Tentang MD3 menyebabkan ada jarak bahkan
terputusnya hubungan antara rakyat dan perwakilannya.

Sikap presiden yang tidak
menandatangani UU tersebut sampai tempo waktu berlakunya menjelaskan bahwa
presiden Jokowi tidak memiliki sikap tegas. Polemik UU No. 19 Tahun 2003
tentang BUMN yang menjadi bermasalah dalam pelaksanaannya karena dinilai tidak
tidak berdasarkan semangat Pancasila dan menabrak UUD 1945. Masih banyak UU
lainnya bila dikaji secara baik berpotensi tidak bersesuaian dengan Konstitusi
Dasar kita. 

5) Pencabutan hak politik
tentara dan mengembalikan fungsinya sebagai pelindung rakyat dari ancaman musuh
negara adalah keinginan rakyat Indonesia. Selama 32 tahun masyarakat Indonesia
melihat bagaimana kisruhnya dwi-fungsi ABRI yakni ketika politik dan senjata
bersatu sehingga tentara tidak bersikap profesional dan tidak setia

melindungi
rakyat. Namun beberapa tahun terakhir, peran politik sipil kembali diberikan
kepada tentara6. Ada sejumlah kebijakan pemerintahan yang melibatkan TNI dalam
urusan sipil misalnya:

 MoU TNI dan
Kementerian Pertanian dalam mendukung kedaulatan pangan. Keterlibatan TNI
diminta dalam program bantuan produksi pangan di Kementerian Pertanian;

 MoU TNI dan
Kementerian Desa dan Daerah Tertinggal dalam menyukseskan pembangunan kawasan
perdesaan di Indonesia dan pengawasan dalam penggunaan Dana Desa.;

 MoU TNI dan PT.
Bank Central Asia Tbk (BCA) terkait dengan penyaluran bantuan Corporate
Social Responsibility (CSR);

 MoU TNI dan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN)
mengenai Pensertipikatan dan Penanganan Permasalahan Tanah Aset Kementerian
Pertahanan RI/TNI. Ada dugaan tanah-tanah tersebut merupakan hasil rampasan era
orde baru oleh militer;

 MoU TNI dan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tentang perluasan dan peningkatan mutu
layananan pendidikan dan kebudayaan. Personel TNI akan dilibatkan dalam program
pendidikan mulai dari tingkat pendidikan anak usia dini hingga menengah atas
atau SMA;

 MoU TNI dan
Kementerian Perhubungan terkait pengamanan obyek vital;

 MoU TNI dan
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat bertujuan sebagai wujud
dukungan para pihak dalam penanganan pembangunan infrastruktur yang bernilai
strategis bagi NKRI dengan tujuan untuk melanjutkan program pemerintah dalam
rangka penanganan pembangunan infrastruktur;

 MoU TNI dan
BNPB dimaksudkan untuk meningkatkan kerja sama para pihak dibidang
penanggulangan bencana dengan tujuan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana secara cepat, terencana, terorganisir dan terpadu;

 MoU TNI dan
BNPT terkait upaya penanggulangan terorisme;

 MoU TNI dan
Kementerian BUMN dalam rangka optimalisasi sumber daya BUMN dan sebagai bentuk
sinergi saling mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi TNI dengan kemeterian BUMN;

 MoU TNI dan Polri
melibatkan aparat TNI dalam fungsi kepolisian seperti menghadapi unjuk rasa dan
mogok kerja. Kerja sama soal Kamtibmas ini membuat TNI Seperti di Era Orba
sebab TNI dalam persoalan menjaga ketertiban tidak sesuai dengan amanat reformasi.

Poin dikritik dari semua
kerja sama di atas karena saya menilai sebagai kemunduran dari amanat
reformasi. Jika tanpa pengawasan yang intens dan ketat maka MoU itu rentan
bertentangan dengan Undang-Undang dan agenda reformasi TNI. Bahkan hari ini ada
wacana didorongnya pelibatan TNI dalam urusan penanganan Tindak Pidana Terorisme
dalam RUU yang sedang dibahas oleh DPR RI. Ini semakin memperkuat politik
militer dalam kekuasaan negara tanpa kita menyadari akan hal ini.

6) Adanya otonomi daerah yang
semakin luas dan menciptakan raja-raja kecil di setiap daerah. Otonomi ini
sekaligus menciptakan lahan KKN baru di setiap daerah otonom, yang menjadikan
kerja KPK semakin komples.

Kritik ini juga saya
sampaikan dengan melihat kebijakan pemerintahan hari ini yang tidak jauh beda
dengan proses daur ulang kebijakan masa lalu. Pemerintah bisa jadi gagal paham
terkait konsep reformasi agrarian dalam Nawacita. Sangatlah keliru kalau
reformasi agrarian hanya dipahami sebagai sertifikasi tanah. Reformasi agrarian
dengan gerakan sertifikasi tanah hanya untuk pemenuhan standar negara investasi
bagi IMF dan World Bank.

Utang luar negeri yang
meningkat pada akhir 2017 tercatat sebesar 347,3 miliar dollar AS atau sekitar
Rp 4.636,455 triliun dengan kurs pada tanggal 21 Mei 2018 menembus level Rp.
14.200 per dollar AS7 (tidak stabil). Angka kurs naik tiga poin dari posisi
sebelumnya di level Rp. 14.197 dan jumlah utang naik 9,1 persen secara tahunan.
Wacana pembangunan manufaktur industri Indonesia akan dibuat beberapa waktu
kedepan namun diskriminatif terhadap hak buruh terus berlanjut, misalnya dengan
terbitnya PP No. 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan dan Perpres No. 20 Tahun 2018
Tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing.

Masa kepemimpinan presiden
Jokowi sangat dirasakan kekuatan kritis publik Indonesia hampir lumpuh. Di
beberapa wilayah terjadi sejumlah tindakan represif aparat terhadap gerakan
aksi massa. Banyak Perppu di era Jokowi yang dikeluarkan dengan gampang dengan
tidak secara penuh mendasari pada alasan kekosongan hukum dan kegentingan
memaksa. Ada kesan pemerintah menjadikan konsep negara kesejahteraan (Welfare
State)
yang harus didasari rule of law menjadi rule by the law.  

Janji
politik Jokowi yang menuntaskan pelanggaran HAM di masa lalu sampai sekarang
pemerintahan tidak ada keseriusan dalam menuntaskan kasus impunitas. Ada
sejumlah kantor perwakilan HAM di daerah kemudian ditutup dengan alasan
pemerintahan kekuarangan dana. Kondisi dan situasi yang berlangsung di
Indonesia saat ini, memperlihatkan perempuan, LGBT dan kebebasan kepercayaan
serta agama lokal masih mengalami diskriminasi, kekerasan, intimidasi, hingga
kriminalisasi.

Kekerasan terhadap persoalan
penggusuran, pemiskinan, ketenagakerjaan, agraria, sumberdaya alam, pendidikan,
kesehatan, akses pekerjaan dan masalah-masalah sosial lainnya memberikan dampak
yang signifikan pada kehidupan kelompok ini. Pemerintah sangat lemah terkait
sorotan publik atas pembangunan mega proyek kelapa sawit di tanah papua. 

Ada
dugaan proyek ini berdampak pada kejahatan genosida yang tersistematis dan
perampasan secara masif terhadap Hak Asasi Ekosob (Ekonomi, Sosial dan Budaya)
masyarakat Papua. Pemerintah sebagai penengah semestinya harus bisa
memperhatikan nasib masyarakat luas dari pada kepentingan para elite semata.

Mencermati rangkaian
peristiwa tindakan pengeboman yang dilakukan oleh teroris di wilayah Indonesia
dalam beberapa hari yang lalu, menjadi sebuah “Rapor Merah” dari publik
terhadap Pemerintahan Indonesia melalui pihak Kepolisisan Republik Indonesia
(Polri) dan Badan Intejen Negara (BIN). Peristiwa teror berantai ini menunjukan
bahwa masih ada sikap pembiaran oleh negara terhadap gerakan organisir teroris
di Indonesia, juga menjadi kelalaian dari Polri dan BIN dalam penanganan
kejahatan terorisme. Hal ini menjadi kritikan saya terhadap profesinalitas dan
transparansi kerja BNPT melalui Densus 88 dan BIN.

Pada sisi lain selama empat
tahun sedemikan hebatnya apresiasi masyarakat terhadap kepemimpinan Jokowi yang
oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pada tahun 2018 mengatakan kepuasaan
publik terhadap kinerja Jokowi sebesar 74,90 persen. Tuaian apresiasi ini j
auh
panggang dari bara api bila dikaji dari sudut pandang tujuan reformasi yang
dicita-citakan. 

Secara tidak sadar ada gerakan (silent dan smooth) yang
mempengaruhi kepatuhan masyarakat secara utuh atas kekuasaan tersebut8. Ada
kekuatan ideologis kapitalisme-militerisme yang terjadi di Indonesia dan alat
untuk mendorong capaian ideologis tersebut membutuhkan kekuatan tokoh atau
orang sebagai penggerak.

Kemasan tokoh
penggerak itu ada pada diri Jokowi yang oleh publik dilihat sebagai orang yang
populis. Dua puluh tahun era reformasi tidak jauh beda dengan orde baru. Bila
orde baru penyatuhkan kekuatan ada pada kapitalisme-militerisme berwajah
diktaktor maka di era kekuasaan Jokowi penyatuhan kekuatannya adalah
kapitalisme-militerisme berwajah populis. Ada kesamaan dalam kekuatan kekuasaan
namun berbeda dalam cara pendekatan. Hegemoni itu tidak mengalir lewat
kebijakan saja, tetapi penguasaan media sosial masif dalam kontrol rel kaum
intelektual kapitalis yang berada di pusaran pemerintahan (oligarki).

Belajar dari pengalaman
hegemoni yang dimainkan oleh Jacobin9 dalam menciptakan bangsa Perancis, ia
menentukan watak kerakyatan dari hegemoni yang mereka bangun, dengan cara
mengorganisir kehendak kolektif nasional rakyat. Hal ini menjelaskan bahwa
penyatuhan berbagai gerakan dalam prosesnya tidak terlepas dari perubahan
pandangan dan kesadaran masyarakat yang terlibat yang oleh Gramsci disebut
refolusi moral dan intelektual.

Bila dipahami secara historis
sebuah negara yang pernah mengalami reformasi, antara aspirasi nasional dengan
aspirasi rakyat dalam sebuah reformasi tersebut kaum “intelektual” memainkan
perantara penting di dalamnya. Pengalaman inilah yang terjadi di era
pemerintahan Jokowi-JK. Gagasan nasional-kerakyatan mungkin paling tepat dan
akan mudah dipahami sebagai gerakan hegemoni. Apalagi saat kekuatan hegemoni
tersebut praktis tidak lagi memiliki rival (oposisi politik) yang seimbang maka
kekuatan hegemoni ini bisa jadi mengarah pada kesewenangan. Dan kelompok
inteketual orde baru tetap menguasai segala sumber daya yang ada di bangsa.

Menurut
Lenin, basis kritis tidak harus ditunggu tetapi harus diusahakan, diciptakan
dan direkayasa10. Paska reformasi sangat direfleksikan bahwa gerakan mahasiswa
sangat lemah sebagai ruang control terhadap perkembangan bangsa. Refleksi ini
didasari minimnya kelompok radikal-transformatif di kampus-kampus yang menjadi
kegelisahan tersendiri apakah transformasi sosial dapat mungkin terjadi lagi.
Tragisnya hari ini justru pada level gerakan sosial muncul fragmentasi dalam
gerakan-gerakan reaksioner yang elitis. 

Hal
ini mungkin terjadi karena keringnya ruang mediasi intelektual sebagai basis
dialektika-refleksi atas sekian aksi yang dilakukan. Sebuah hal yang mustahil
kerangka kerja revolusioner itu akan tercipta tanpa adanya sebuah transformasi
wacana yang masif dan tradisi dialektisnya yang tertuang dalam narasi gerakan
yang sistemik. 

Bahkan
pada tataran penguasaan media juga ikut terjebak dalam iklim hegemoni yang
sedang dimainkan oleh kelompok inteketual dalam pemerintahan. Harapan bahwa
evaluasi 20 tahun reformasi ini bisa menyatuhkan kembali budaya kritis di basis
mahasiswa. Sebab bagaimana pun juga energi perubahan bangsa itu lahir dari
konstruktif pikiran dan sikap gerakan kritisnya generasi muda sebagai penggerak
masa depan bangsa. Pengaruh hegemoni ini bila tidak ada gerakan yang menjadi
“penginjak rem” maka energinya bisa semakin terjun bebas paska tahun politik
2019. 

2 Hlm. 112.,Miftah Thoha, Birokrasi
Pemerintah Indonesia di Era Reformasi, Jakarta, 2016 3 Hlm. 447., Nur Sayyid
Santoso Kristeva, Manifesto Wacana Kiri, Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2015 4 Hlm.
49., Nezar Patria & Andi Arief, Antonio Gramsci Negara dan Hegemoni,
Pustaka Pelajar Yogyakarta, 201,
5
YLBHI, 3 Tahun Jokowi-JK Jalankan Amanat Reformasi Jakarta 19 Oktober 2017.
6
Ibid.,.
7
Hlm. 12.,Makalah Laporan Bank Indonesia (BI), Utang Luar Negeri Indonesia
(ULN), 2018. 8
Roy Murtodho, Makalah materi Hegemoni dalam kegiatan KALABAHU LBH Jakarta, 2018
9 Hlm. 421.,Nur Sayyid Santoso Kristeva, Manifesto Wacana Kiri, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta 2015 10 Ibid.,Hlm. 438

*Penulis adalah Wakil sekjend PMKRI PP Periode 2018-2019.

Exit mobile version