Habibie Pernah Mengguncang Dunia

 

Kejeniusan B.J Habibie pernah mengguncang dunia lewat mahakaryanya membuat pesawat terbang N250 Gatot Kaca. Kejeniusannya jelas tidak terlepas dari gelar Doctor ingineurnya yang diperoleh dengan predikat “Suma cum laud” pada tahun 1965 di Rhenisch Wesfalische Tehnische Hochscule, Jerman.

Pesawat N250 karya Habibie berhasil diterbangkan perdana pada tanggal 10 Agustus 1995. Untuk mengenang 50 tahun Indonesia merdeka kita(bangsa indonesia) seolah mau menunjukkan kepada dunia bahwa kita juga sama dengan bangsa lain seperti Jerman dan Amerika, mampu membuat pesawat terbang komersial sendiri.

Sejak saat itu dunia panik, tidak ketinggalan juga Amerika sebagai negara adidaya saat itu. Kepanikan itu jelas karena akan hadir negara industri baru di Asia yang akan bersaing di pasar global, ditambah lagi saat itu Habibie juga sedang mempersiapkan industri strategis karya anak negeri. Logika sederhananya, buat pesawat terbang saja bisa apalagi cuma mobil dan motor.

Setelah membuat panik dunia maka menjelang tahun 1997 Indonesia dilanda krisis ekonomi yang membuat presiden Soeharto mau tidak mau harus meminjam uang ke IMF. Ironisnya Soeharto menandatangani kontrak dengan IMF tanpa sepengetahuan habibie, dimana salah satu syaratnya adalah Indonesia diminta menghentikan industri strategis yang sedang dikembangkan habibie yang saat itu sudah 80% siap beroperasi (pengakuan Habibie dalam talk show mataNajwa di metroTV bertema “Habibie hari ini”).

Dari cerita singkat Habibie ini sebagai anak bangsa patut kita pertanyakan bagaimana seharusnya negara mengapresiasi kekayaan intelektual anak bangsa? dan apa sebab kekuasaan negara kadang justru digunakan untuk menghambat mahakarya anak bangsa?

Tentu tulisan ini bukan untuk mengungkap sebab akibat dari krisis ekonomi tahun 1997 namun hanya merupakan sebuah catatan sejarah perjalanan bangsa dalam bidang teknologi cangih.

Habibie adalah generasi emas era 50-an yang mencoba mewujudkan mimpi Presiden Soekarno bahwa Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau ini hanya bisa disatukan melalui dirgantara dan harus dikendalikan oleh anak negeri. 

Mimpi bung Karno inilah yang mengindoktrinasi Habibie muda untuk melanjutkan studinya di Jerman dan berhasil dengan prestasi yang gemilang.

Namun dibalik semua itu negara justru memandang sebelah mata terhadap kejeniusannya. Kekayaan intelektual Habibie ini dibiarkan terpendam dalam pikiran bahkan ada upaya dari negara sendiri untuk menghentikannya.

Indonesia hari ini kekurangan ilmuwan sekaliber Habibie sehingga setiap produk teknologi yang diklaim buatan indonesia justru diragukan orang Indonesia sendiri. Terbukti meski sudah pernah membuat pesawat terbang produksi mobil saja masih menuai polemik seperti mobil Esemka yang diklaim pemerintah sebagai mobil nasional namun banyak juga beredar kabar bahwa mobil Esemka itu buatan cina hanya dirakit di Indonesia.

Terlepas dari klaim manakah yang benar saya justru melihat ini sebagai sebuah kegagalan dari kementrian riset dan teknologi(Menristek) untuk menghasilkan karya otentik melalui riset yang dalam dan dapat dipercaya tidak hanya oleh indonesia tetapi juga negara lain seperti yang dilakukan Habibie (Menristek era orde baru).

Tentu mimpi untuk kembali memegang kendali dirgantara dan industri strategis dalam negeri tidak harus lenyap bersama wafatnya Habibie tetapi tetap diupayakan untuk dikembangkan melalui berbagai pembenahan dan inovasi, diantaranya adalah apresiasi yg serius terhadap kekayaan intelektual anak bangsa melalui perhatian pada sumber daya manusia dan perbaikan kualitas laboratorium riset dan teknologi dalam negeri agar mampu bersaing dengan negara lain seperti yang dilakukan oleh cina sebelumnya dimana membangun laboratorium-laboratorium dengan standar dan fasilitas yang dimiliki oleh pusat-pusat riset terbaik di Amerika dan Eropa kemudian memanggil kembali ilmuwan diaspora terbaiknya dari seluruh dunia untuk menjadi leader dalam berbagai proyek riset perguruan tinggi.

Para ilmuwan diaspora itu mau pulang ke Cina karena pemerintah menawarkan gaji yang setara dengan tempat mereka bekerja sebelumnya. Presiden Soeharto dulu pernah memanggil pulang Habibie namun gagal memberdayakan kejeniusannya padahal karena besarnya cinta pada bangsanya Habibie tidak pernah mempersoalkan gajinya.

Kegagalan Indonesia mewujudkan mimpi bung Karno yang menjadi cita-cita Habibie juga diakibatkan tersandera kekuasaan yang dikuasai oleh rezim orde baru dibawah kepemimpinan presiden Soeharto saat itu yang terkenal otoriter sehingga dengan sekali perintah Habibie dengan terpaksa harus menghentikan industri strategis masa depan teknologi Indonesia itu yang jika tidak ditutup mungkin hari ini sudah ada produk mobil, motor bahkan pesawat terbang merek Indonesia yang dipakai oleh negara lain.

Langkah Soeharto itu tentu berawal dari kondisi Indonesia saat itu dimana menjelang krisis ekonomi 1997 yang sangat mempengaruhi stabilitas ekonomi dan politik, maka salah satu solusinya adalah harus meminjam uang ke IMF meski mengorbankan Habibie. Pilihan itu jelas untuk mempertahankan kekuasaannya. Industri strategis Habibie pun terbunuh secara politik yakni hasrat berkuasa dari rezim Soeharto.

Jika kita tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama maka sudah semestinya Menristek haruslah ilmuwan murni yang berkapasitas mumpuni, tidak harus seperti Habibie tetapi minimal bisa bersaing dengan negara lain seperti Cina, Amerika atau negara-negara Eropa lainnya dan posisinya harus terlepas dari ikatan kepentingan politik praktis apapun agar leluasa melakukan riset sesuai keahliannya maka niscaya bangsa Indonesia kemudian tidak kehilangan harapan ditengah persaingan teknologi yang kian ketat ini untuk mampu kembali menghasilkan teknologi baru yang ikut menentukan peradaban dunia di masa depan.

Belajar dari perjalanan Habibie maka menjadi catatan penting bahwa masa depan riset dan teknologi indonesia hanya akan bertumbuh dengan baik apabila ditunjang dengan iklim akademik dan iklim politik yang kondusif yakni membangun sumber daya manusia terutama yang berprestasi di bidang teknologi tertentu untuk dapat dikembangkan secara optimal yang diharapkan dalam prosesnya tidak terpolitisasi untuk kepentingan politik praktis tertentu tetapi biarkan kekayaan intelektual anak bangsa diapresiasi secara objektif untuk mengangkat citra bangsa di mata dunia. semoga bangsa ini  kedepannya dapat melahirkan habibie-habibie baru di masa depan.

Oleh : John Alfred Mesach (Lembaga Pers PP PMKRI)

(Tulisan ini sebelumnya sudah terbit di Nusantara9.com)

Exit mobile version