Jakarta, Verbivora.com – Belakangan ini Indonesia mengalami begitu
banyak darurat kemanusiaan akibat dari kebijakan pemerintah yang tidak pro
rakyat.
Keberadaan rakyat sebagai pemilik kedaulatan di iklim demokrasi tidak
lagi menjadi prioritas yang harus dilindungi oleh negara. Padahal secara konstitusional
pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sudah jelas dan tegas, bahwa kedaulatan tertinggi ada di tangan
rakyat bukan korporasi ataupun birokrasi negara.
Pada bagian lain, negara juga
wajib melindungi hak asasi manusia tanpa terkecuali termasuk harkat dan martabat
rakyat kecil. Hal itu yang menjadi dasar paling prinsipil dan fundamental
di dalam praktek bernegara yang sehat dan beradab.
Seiring perjalannya, koridor konstitusional
yang mewajibkan negara untuk melindungi dan memelihara orang miskin mengalami pemudaran
yang signifikan. Pemerintah dengan kekuasaan dan kekuataanya menghalalkan dan
melegalkan segala cara untuk memangsa rakyatnya yang lemah.
Padahal secara substansial pasca kemerdekaan, keberadaan negara semata-mata untuk
mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan
rakyat. Negara sudah menyepakati untuk menghentikan sistem perbudakan, penyiksaan
dan pemaksaan terhadap hak rakyat untuk hidup, ditandai dengan pembentukan
konstitusi bernegara yang berbasiskan keadaban, keadilan dan kemanfaatan bagi
rakyat.
Pengesahan dan pemberlakuan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) nomor 5 tahun 1960 sebagai bentuk dekolonialisasi terhadap
rakyat, yang sudah menghirup udara kemerdekaan dari tangan penjajah dengan
maksud dan tujuan untuk mencegah
terjadinya konflik vertikal, antara rakyat dengan penguasa. Dengan kata lain
menghentikan perampasan dan kejahatan terhadap tanah yang dimiliki oleh rakyat (petani).
Undang-undang
tersebut sebagai manifestasi amanat konstitusi pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 yang dengan
jelas, menyatakan bahwa negara wajib mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat berserta haka-haki tradisionalnya, sepanjang masih hidup
dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Mirisnya, tataran realitas dan kondisi
yang terjadi pada kehidupan rakyat berbanding terbalik dengan apa yang menjadi
cita-cita mulia yang sudah diamanatkan oleh para pendiri bangsa.Watak
kolonial ternyata masih melekat dan terbawa hingga menjadi watak dasar
penguasa hari ini.
Kolonialisasi terhadap rakyat ada dimana-mana mulai dari
intimidasi, pembungkaman suara kritis, perampasan lahan, hingga kejahatan terhadap
rakyat menjadi proyek legal dan halal
bagi penguasa. Rakyat lemah kehilangan ruang untuk membela diri, tanah dan
komoditinya terpaksa harus dirampas oleh birokrat dan korporat dengan
melegitimasi penggunaan aparat bersenjata untuk menakut-nakuti rakyat.
Penguasa diboncengi oleh kapitalis tambang, merampas tanah rakyat termasuk menyerahkan aparat bersenjata demi mengekspansi
dan menginvestasikan modal mereka. Tanah dan nyawa rakyat banyak dikorbankan
untuk kepentinggan kapitalis tambang.
Kemiskinan dan perbudakan tersistematisir
dan didesain oleh negara untuk melanggengkan praktik-praktik penjajahan, layaknya seperti era kolonial dengan wajah yang baru. Negara tidak lagi berpikir
tentang rakyat dan berbicara tentang nasib rakyat, mereka sudah dibius dan
menjadi penjilat kapitalis tambang dengan mengatasnamakan kepentingan
umum.
Rakyat yang lemah dan miskin kehilangan entitas perlawanan, sebab semuanya
dikendalikan oleh penguasa dan pengusaha tambang mulai dari media, aparat hingga
modal untuk membantai hak rakyat habis-habisan.
Beberapa hari terakhir, Indonesia sedang
gencar-gencarnya pembangunan industri pertambangan. Dari berbagai
industri tersebut ada dua kejadian yang menyita perhatian publik, yaitu konflik lahan di desa
Wadas, Kecamatan Bener, Purwurejo, Jawah Tengah dan proyek geotermal
di desa Wae Sano, Kecamatan Sanonggoang, Manggarai Barat, Nusa Tenggara
Timur.
Dua kasus tersebut menuai perlawanan
dari masyarakat dan kaum intelektual, sebagai respons atas ketidakhadiran
negara untuk membela rakyat. Padahal tugas konstitusionalitas dari negara secara
sadar memahami bahwa kedaulatan petani atas haknya tidak bisa dikurangi atau
dirampas oleh siapapun, untuk kepentingan apapun.
Karena pada dasarnya kenyamanan
dan ketenangan batin para petani dalam mewujudkan kesejahteraannya cukup dengan
bertani atas lahannya, bukan berdiri di bawah kaki ataupun di bawah jepitan
korporat industri pertambangan.
Ini membuktikan absennya negara, karena pada
dasarnya otak dan perut penguasa sudah dikendalikan oleh orang-orang berduit
atau lebih dikenal dengan elit atau kelas borjuis dalam hal ini korporasi
pertambangan.
Membesarnya ruang borjuis/pemilik tambang untuk mengekploitasi
manusia lain dan mengubah corak produksi dari masyarakat agraris menuju
industrialis, adalah bentuk modern dari penghisapan dan penindasan oleh satu
manusia terhadap manusia yang lain, yang diaktori oleh kelas atas (kapitalis)
terhadap kelas bawah (proletar).
Dalam kondisi ini kapitalisme semakin
menguat dan mendominasi .Sebagai akibatnya, yang kaya semakin kaya dan yang
miskin semakin miskin. Dengan watak dasarnya kapitalisme merampas tanah rakyat
dan memperbudak rakyat dengan membangun industri/tambang di atas lahan hasil
rampasannya.
Rakyat kehilangan tanah dan menjadi robot di bawah kendali pemilik
industri. Disinilah sisi paling kejam dari kapitalisme. Ketergantungan dan
kebebasan direnggut karena mereka kehilangan lahan produksi kecuali hidup
merintih dalam kejinya eksploitasi kapitalisme.
Atas dasar progresifitas dan agresifitas watak kapitalis, kemiskinana dan kemelaratan rakyat semakin meluas dan
membengkak. Keterbelahan kelas pemilik modal dan kelas pekerja menjadi alarm
pembebasan rakyat dari kubangan kemiskinan, untuk mengharuskan Gereja, rakyat
dan intelektual bersatu.
Sejarah telah mencatat dengan tinta darah bahwa Gereja/agama memiliki sisi revolusioner untuk meruntuhkan
kapitalisme. Eksistensi Gereja bukan sekedar ladang berdoa dan bertobat
melainkan sebagai sarang untuk melahirkan pemikir dan pemberontak guna meruntuhkan kejamnya watak kapitalis.
Selain itu rakyat dan segenap
intelektual kritis harus bersatu-padu dengan Gereja untuk membuka diri, terkait keadaan sosial yang menindas
rakyat. Proses penyadaran dan menggerakan rakyat dari
kondisinya, agar berani berontak dari ketertindasannya, adalah tugas utama dari intelektual, oleh karena itu ia harus terintegrasi dengan Gereja dan rakyat untuk mewujudkan
pembebasan rakyat.
Pada tahun 1960an di Amerika Latin, Gereja
bersama umat dan intelektual berdiri dan bergerak dari jantung kemiskinan
sosial kemudian bersama-sama rakyat, untuk merontokkan sebuah sistem
yang korup, menindas dan kapitalistik.
Kebijakan negara tidak pernah berpihak
pada rakyat, kemiskinanan dimana-mana, kelaparan merajalela dan penguasapun
tetap berdiam diri. Hal inilah yang kemudian tercover dalam spirit pembebasan
dan perlawanan di Amerika latin bahwa soliditas kaum intelektual, rakyat dan Gereja adalah sejarah yang
memberikan warning ke seluruh dunia terkhusus Indonesia bahwa untuk
menghancurkan sistem penindasan terhadap rakyat Gereja/agama, intelektual harus
sejalan dengan penderitaan rakyat.
Karena pada prinsipnya penindasan lahir karena
segelintir elit mendominasi ekonomi dan mengendalikan kekuasaan yang
menyebabkan kelas semakin terbelah sehingga keadaan kelas bawah yang digenggam
oleh kekuasaan otoriter dan kapitalistik harus menjadi energi penggerak dan
pembebasan bagi intelektual,hirarki gereja dan rakyat.
Kapitalisme dan imperialisme di Indonesia
yang mengakibatkan kemiskinan dan penderitaan rakyat yang berkepanjangan sudah
seharusnya sebagai moment refleksi kritis intelektual, gereja dan
rakyat. Sejarah dunia telah mengukir, bila intelektual dan Gereja
berdiam diri artinya membiarkan penindasan dan penghisapan terhadap rakyat
terus berlangsung.
Begitu banyak tanah petani yang dirampas untuk kepentingan
industri pertambangan, nyawa sampai dikorbankan, kemiskinan semakin meluas dan negara
bersikap otoriter terhadap rakyatnya sendiri. Begitu banyak
penghisapan, pembantaiaan, penggusuran dan pemiskinan tapi didiamkan oleh Gereja
dan intelektual.
Padahal sudah pernah terjadi dalam sejarah peradabaan bahwa Gereja dan rakyat memiliki energi revolusioner dan keberpihakan pada rakyat
untuk merubah kondisi sosial.
Intelektual, Gereja dan rakyat harus masuk
kewilayah ketertindasan rakyat, mendidik dan menyadarkan mereka untuk untuk
merubah kondisi sosial yang menjerat mereka di dalam kubangan penderitaan dan
kemiskinan.
Gereja harus mewujudkan cinta kasih yang konkret, intelektual
mewujudkan kesadaran kolektif dan menggerakan rakyat untuk merombak sistem
otoritarian dan kapitalistik. Dalam konteks kasus proyek geotermal di Nusa
Tenggara Timur dan konflik lahan di Jawah Tengah, itu adalah satu kesatuan dari
watak dan sikap dasar dari kapitalis yaitu penyuapan, korupsi, kekerasan dan
penghisapan.
Situasi dan sistem kapitalisme harus dirontokan dengan kesadaran
dan soliditas gerakan rakyat kelas bawah yang didominasi oleh kelas pemodal, dan
itu akan bisa dihentikan dan dirontokan apabila unsur Gereja, intelektual dan
rakyat berangkat dari rahim ketertindasan rakyat untuk mmenyelamatkan dan
membebaskan rakyat dari penyakit kapitalisme.
Gereja dan intelektual harus
berpikir dan bertindak revolusioner untuk merubah kondisi sosial sehingga
keadilan dan kesejahteraan rakyat termanifestasi secara menyeluruh. *(AR)
Balduinus Ventura, Ketua Presidium PMKRI Cabang Malang.
Balduinus Ventura, Ketua Presidium PMKRI Cabang Malang. |