Jakarta, Verbivora.com – Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PP PMKRI) mengadakan webinar dengan topik Food Estate dan Ancaman Ketahanan Pangan, Sabtu (13/3/2021).
Narasumber dalam webinar ini, Panutan S. Sulendrakusuma selaku Deputi III Kantor Staf Presiden yang diwakili oleh Prof. Bustanul Arifin, Arie Rompas (Greenpeace Indonesia) dan Laksmi Savitri (Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gajah Mada).
Ketua Presidium PP PMKRI Benidiktus Papa, dalam sambutan menyampaikan, proyek food estate harus menjadi perhatian kita bersama karena ini menyangkut hajat hidup orang banyak.
“Perlu dipikirkan kembali terkait dampak yang nantinya akan terjadi, ada beberapa catatan yang harus disampaikan pertama, bagaimana potensi lahan food estate yang menggunakan lahan gambut? Mengingat kerusakan lahan gambut di era orde baru, kedua, ancaman kerugian negara. Pengalokasian dana yang begitu besar di tengah pandemi akan menjadi sesuatu yang riskan,” kata Beni.
“Ketiga, bagaimana stabilitas terhadap tanaman endemic dan kerusakan lingkungan, sebab persoalan lingkungan hidup menjadi persoalan yang pelik di beberapa daerah seperti di Kalimantan dan keempat, bagaimana dengan pelibatan petani-petani lokal dan penguasaan tunggal terhadap lahan petani,” lanjut Beni.
Prof. Bustanul Arifin mengatakan, program food estate merupakan program strategis nasional yang melibatkan lintas kementrian. Dimana konsepnya menjadi lumbung pangan strategis untuk memenuhi cadangan pangan dan apabila memungkinkan akan dilakukan eskpor.
“Food estate padi di Kalimantan Tengah mencapai 165.000 hektar. Terdapat beberapa hal dalam rekomendasi kebijakan kedepan diantaranya, rekayasa sosial dan kelembagaan, integrasi dan pengembangan kualitas SDM petani setempat,” jelasnya.
Laksmi Savitri dalam materinya memaparkan masalah utama ketahanan pangan pada pandemi Covid-19, rantai pasok pangan yang panjang bukan ketersedian produk.
“Rasionalitas pasar menjadi sangat dominan, rasionalitas pasar jugalah yang bisa menjelaskan kenapa ada impor pangan di tengah musim panen, dan rasionalitas pasar juga yang membuat kenapa terjadi pembukaan hutan. Berdasarkan ini kita bisa melihat Indonesia belum mampu membangun sistem pangan sendiri,” paparnya.
Laksmi menambahkan, hal yang dapat kita lakukan dalam memperbaiki sistem pangan kita yakni mengindari dampak-dampak termaksud.
“Kita mesti memampukan fasilitator desa yang berfungsi sebagai mata dan telinga negara yang peka, sekaligus penyambung lidah warga desa, agar perubahan masih berada dalam rentang kendali dan aspirasi masyarakat pedesaan sendiri, memungkin para pengambil kebijakan untuk menjadikan kerja lapangan,” tambahnya.
“Mendengar, dan dialog langsung sebagai prosedur standar untuk menciptakan mekanisme teknokrasi yang berpihak, dan memperpendek rantai pasok pangan dengan mengembangkan pangan lokal, sehat, dan berkeadilan,” sambung Laksmi.
Arie Rompas menyayangkan, program food estate yang dicanangkan Jokowi tidak belajar dari kegagalan yang pernah dilakukan oleh orde baru dan di masa Susilo Bambang Yudhoyona, dimana pola yang dilakukan juga hampir sama.
“Kita bisa meilihat bagaimana hari ini hutan Kalimantan sudah mulai dirambah demi perluas lahan food estate. Hutan yang seharusnya menjaga keseimbangan ekologis pasti akan terganggu dengan hal ini. Kita perlu mengubah secara radikal sistem pangan kita yang lebih mengarah kepada sistem kerakyatan agar masa depan masyarakat kita dapat lebih terjamin dan keberlangsungan alam tetap dapat terjaga,” tutup Rompas. *(AR)