Pangeran Mohammed bin Salman – foto: kompas.com |
Gejolak politik di tanah suci itu pun meledak. Saling tembak antara pengikut Juhaiman dengan tentara Arab Saudi pun tak terelakkan. Pasukan Juhaiman memang cukup kuat. Tentara Saudi pun dibuat keteteran. Dalam situasi terdesak, beberapa pimpinan militer Prancis mengerahkan bantuan dan akhirnya pemberontakan itu berhasil dilumpuhkan.
Sebagai hukumannya, Juhaiman dan pengikut yang tertangkap hidup-hidup kemudian dipenggal kepalanya. Eksekusi penggal kepala ini dilaksanakan di beberapa kota di Saudi sebagai peringatan bagi siapa pun yang berusaha makar terhadap pemerintah.
Merujuk fatwa para ulama berpengaruh, Pemerintah Saudi mendakwa mereka melakukan tindakan sesat, yakni mendeklarasikan munculnya Imam Mahdi yang tewas dalam pertempuran itu, sebagai penyelamat dunia, serta menguasai dan menjadikan Masjid al-Haram, tempat tersuci umat Muslim, sebagai medan pertempuran dan kekerasan, yang sangat jelas dilarang oleh agama.
Peristiwa itu menjadi bagian penting dari sejarah modern Kota Mekkah. Meski demikian, kebanyakan orang, terutama kaum Muslim, tak paham apa yang sejatinya terjadi saat itu. Maklum, ketika peristiwa itu berlangsung, Pemerintah Saudi melarang keras media massa meliput dan memberitakannya. Tak hanya itu, jaringan telepon, telegram, dan surat-menyurat pun diputus. Alhasil, tak ada celah bagi siapa pun untuk dapat mengakses peristiwa itu dari luar tempat kejadian.
Pada tahun 2006, dua puluh tahun kemudian, Yaroslav Trofimov, koresponden luar negeri The Wall Street Journal, berusaha menyusun kembali serpihan sejarah atas kejadian itu. Untuk menyibak detail peristiwa yang tak terkuak khalayak itu, Trofimov memburu sumber-sumber penting dan tepercaya.
Ia bertemu dan mewawancarai pelaku ‘gerakan 1979’ yang masih hidup; Paul Barril, kepala misi pasukan Prancis saat itu, tentara Arab Saudi, Perpustakaan British, satu-satunya tempat di Eropa yang menyimpan pelbagai surat kabar Saudi tahun 1979, arsip Pemerintah AS dan Inggris yang berisi laporan rahasia dari para diplomat dan mata-mata, serta CIA dan British Foreign Office.
Para pengamat politik dan sejarawan menganggap kejadian itu sebagai insiden lokal semata dan karena itu tak memiliki kaitan dengan peristiwa internasional yang belakangan merebak, seperti terorisme. Tetapi pria yang sering melaporkan tulisannya ihwal agama dan perubahan sosial di wilayah negara Muslim itu berpendapat sebaliknya. Menurutnya, peristiwa itu merupakan akar sejarah gerakan terorisme global, terutama yang dimotori al-Qaeda.
Di tahun yang sama minoritas Syiah di Saudi merencanakan revolusi mematikan di provinsi al-Hasa. Al-Ahsa adalah bagian dari wilayah yang dikenal secara historis karena keahliannya yang tinggi dalam menjahit. Al-Ahsa telah dihuni sejak zaman prasejarah, karena kelimpahan airnya di daerah yang gersang.
Saat itu, Monarki Saudi merespons dengan menopang hubungan dengan gerakan Wahhabi dan mengembalikan banyak sikap garis kerasnya. Salah satu cara yang dilakukan Monarki Saudi adalah dengan menutup bioskop-bioskop yang ada di negara tersebut.
Wahhabisme merupakan sebuah aliran reformasi keagamaan dalam Islam. Aliran ini berkembang oleh dakwah seorang teolog Muslim abad ke-18 yang bernama Muhammad bin Abdul Wahhab dari Najd, yang bertujuan untuk membersihkan dan mereformasi ajaran Islam kembali kepada ajaran yang sesungguhnya, berdasarkan kepada Qur’an dan Hadis, dari “ketidakmurnian” seperti praktik-praktik bidah, syirik dan khurafat.
Wahhabisme melarang laki-laki dan perempuan bercampur di tempat publik dan banyak menerapkan larangan pada perempuan. Di antaranya adalah kewajiban bagi perempuan untuk mengantongi izin laki-laki untuk bekerja atau bepergian. Polisi agama Arab Saudi mendapatkan wewenang besar untuk menegakkan larangan itu.
Wahhabisme berlaku luas di kehidupan Saudi, memengaruhi pengadilan, politik dan kebijakan luar negeri, sementara raja-raja tua yang berhubungan erat dengan gerakan keagamaan itu berkuasa untuk beberapa dekade setelahnya.
Era Baru Saudi
Pada 2015 lalu, Raja Salman bin Abdulaziz naik tahta dan bersama Mohammed memulai era baru politik Saudi. Sang Raja mempromosikan Mohammed sebagai putra mahkota pada Juni lalu.
Keduanya membatasi wewenang polisi keagamaan, menghapus kekuasaannya untuk menangkap warga. Mereka juga memperbolehkan konser musik untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade, menindak tegas penghasutan religius dan memberikan perempuan sejumlah hak seperti izin untuk mengemudi.
“Beberapa langkah jelas sudah diambil belakangan ini dan saya yakini kami bisa menghapuskan sisa-sisa ekstremisme sesegera mungkin,” kata Mohammed. “Saya rasa ini bukan tantangan. Ini merefleksikan nilai-nilai pemaafan, kebenaran dan moderasi. Kebenaran berada di sisi kita.” ungkapnya.
Upaya penghapusan ekstrimisme itu berlanjut di tampuk putranya. Dalam sebuah Konferensi Future Investment Initiative di Riyadh, Pangeran Mohammed bin Salman berjanji akan menghancurkan ideologi ekstremis untuk mengembalikan Islam yang lebih moderat.
Di tengah situasi negara yang mengalami halangan awal dalam transformasi budaya dan ekonomi, putra mahkota Arab Saudi itu akan menempatkan kerajaan setara dengan banyak negara-negara lain. Keterbukaan dan saling mengahargai dalam perbedaan menjadi spirit yang diusung Mohammed.
“Kami ingin menjalani kehidupan normal, kehidupan di mana agama dan tradisi kami diartikan sebagai toleransi, sehingga kami hidup bersama dunia dan menjadi bagian dari perkembangan dunia,” kata Mohammed, seperti yang dilansir CNN, Rabu (25/10).
Langkah itu tentu akan menggusarkan ulama ultrakonservatif yang terus terombang-ambing di kerajaan, meski goncangan yang mereka alami tampaknya mulai memudar. Di saat yang sama, deklarasi pangeran akan diwariskan oleh populasi Arab Saudi yang semakin didominasi pemuda dan oleh dunia luar.
“Sebanyak 70 persen populasi Saudi berusia di bawah 30. Sejujurnya, kami tidak akan menghabiskan waktu 30 tahun untuk berurusan dengan ideologi ekstremis. Kami akan menghancurkannya hari ini dan sesegera mungkin,” kata Mohammed.
“Saudi tidak seperti ini sebelum 1979. Arab Saudi dan seluruh kawasan mengalami kebangkitan setelah 1979. Semua yang kita lakukan adalah kembali ke jati diri kita: Islam moderat yang terbuka pada semua agama dan kepada dunia dan semua tradisi dan semua orang,” tegasnya.*
Tulisan ini diolah dari buku “Kudeta Mekkah: Sejarah yang Tak Terkuak” yang ditulis Yaroslav Trofimov
Editor: Andy Tandang