DPRD Nagekeo Antara Ada dan Tiada

Jakarta, Verbivora.com– Dalam pemahamannya, DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Sebagai salah satu unsur penyelenggaraan Pemerintah Daerah, DPRD memiliki fungsi, tugas, wewenang dan hak yang kemudian diharapkan mampu menjalankan tugasnya dengan semaksimal mungkin. Kepentingan rakyat menjadi goal utama dan tunggal yang harus dikerjakan oleh mereka, sehingga sangat relevan jika dibidik dari eksistensi politiknya, DPRD dianggap ada dan hidup. 

Namun hal diatas berbeda dengan DPRD Kab. Nagekeo jika ruang dialetikanya berbicara tentang pembangunan Waduk Lambo dan kepentingan politiknya. Waduk Lambo menjadi manifestasi dari kelumpuhan dan ketumpulan DPRD Kabupaten Nagekeo untuk berpihak pada aspirasi masyarakat. 

Preseden buruk ini tentunya bukan tanpa sebab. Argumentasi yang disampaikan kepada masyarakat seolah menempatkan mereka pada posisi aman dan tidak mau disalahkan. Hal ini diaminkan sebagai lemahnya wewenang dan hak yang berdampak pada buruknya kinerja DPRD Nagekeo dalam menjalankan fungsi dan tugasnya.

Untuk diketahui bahwa Waduk Lambo merupakan salah satu Program Strategis Nasional (PNS) yang terletak di Desa Redubutowe, Kec. Aesesa Selatan, Kab. Nagekeo. Sebagai salah satu Program Strategis Nasional, Waduk Lambo mendapat perhatian khusus dari Pemerintah Pusat baik dari aspek anggaran hingga keamanan sehingga proses pembangun dapat berjalan lancar.

Menurut kepala Balai Wilayah Sugai (BWS), Agus Sociawan mengatakan bahwa; “manfaat dari kehadiran bendungan ini adalah ketersediaan air baku minimal sebanyak 0,2 m³ guna meminimalisir kekurangan air bagi masyarakat sekitar bendungan”, (investor.id, Senin 6/9/21).

Sayangnya adalah proses negosisasi politik pembangun ini tidak berjalan mulus. Pro dan kontra kembali menghiasi branda pembangunan ini. Berbagai alasan penolakan kembali menjadi gesekan-gesekan serius yang mengharuskan aparat keamanan untuk diikut-sertakan secara sepihak dan berpihak pada satu sisi. Melibatkan aparat keamanan menjadi strategi brutal yang justru memperburuk ruang negosiasi.

Kedekatan emosional antara pemerintah dan masyarakat menjadi emosi yang membludak sehingga tidak mampu dibendung secara baik. Jurang pemisah antara kepentingan politik pembangunan dan penolakan masyarakat semakin terbuka lebar. Jauh dan semakin jauh. Hal ini kemudian membentuk karakter Pemda dengan sikap mau menang sendiri tanpa mempertimbangkan tawaran masyarakat atas pembangunan ini.

Karakteristik Pemda & DPRD Kabupaten Nagekeo

Disatu sisi, sikap egoisme Pemerintah Daerah dapat dibaca sebagai sifat kepatuhan atas kemauan Pemerintah Pusat. Kata kepatuhan jauh lebih tepat dibandingkan kata kerja sama. Kepatuhan yang membutakan mereka pada tawaran masyarakat, kepatuhan yang merusak relasi dengan masyarakat dan kepatuhan atas anggaran yang disinyalir dari Pemerintah Pusat. 

Jika konsep pembangunan atas dasar kerja sama antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, tentunya pembangunan Waduk Lambo tidak sekedar mempertimbangkan dari mana anggaran itu berasal, tetapi juga mempertimbangkan penolakan masyarakat setempat atas hal-hal yang perlu dipertimbangan secara khusus. 

Disisi lain, DPRD Kab. Nagekeo telah menyerupai batu. Diam membisu dan tak mampu bersuara. Menutup mata untuk buta dan menutup telinga untuk tidak mendengar, menjadi karakter yang sedang mereka lakoni sekarang. Melupakan fungsi dan tugasnya, menjadikan mereka tak jauh berbeda dari pasien “amnesia” yang susah untuk dipulihkan ingatannya. Entah dengan cara apa untuk memulihkan kesadaran mereka bahwa masyarakat sedang berteriak; “pindahkan lokasi pembangunannya”.

Kehilangan wewenang dan haknya, membuat DPRD Kab. Nagekeo tidak mampu berbuat banyak atas suara penolakan masyarakat. Hal ini lambat laun memanjakan mereka untuk berdiam diri tanpa harus repot-repot mengambil sikap tegas dalam mengintervensi pembangunan ini sesuai peran yang dimiliki.   

Sikap malas tau atau “pura-pura tidak tau” ini, justru semakin mengerucuk pada buruknya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap eksistensi DPRD Kab. Nagekeo.

Sikap Masyarakat

Masyarakat mengalami sebuah fase dilematis; Apa yang bisa mereka andalkan jika DPRD nya hanya berdiam diri? Lalu, kepada siapakah mereka harus menyampaikan keresahannya?

Lagi dan lagi, DPRD Kab. Nagekeo sedang menggiring masyarakat pada cara padangan negatif tentang jati dirinya bahwa kehampaan adalah kehadiran mereka yang sesungguhnya. Ada dan tiada, itulah mereka. Jika ada, maka perannya dimana? Jika tiada, foto siapakah yang mencantumkan nama berseta jabatannya sebagai DPRD Kab. Nagekeo? 

Masyarakat mulai skeptis dengan berbagai pertanyaan. Seolah pertanyaan bagaimana penolakan kami atas pembangunan ini adalah pertanyaan kedua setelah mereka bertanya; Dimanakah DPRD ku? Atau, sudah matikah DPRD ku? Jauh dari itu, rasa memiliki sebagai the voice of the voiceless mulai menghilang dan bahkan mati. Tidak ada satupun yang mampu menunjukkan sikap diatas.

Jadi tidak mengherankan banyak masyarakat yang melakukan aksi nekat dengan langsung menghadang kontraktor yang sedang beroperasi di lokasi pembangunan. Tentu hal ini disebabkan karena pengaduan yang mereka sampaikan kepada anggota DPRD Kab. Nagekeo tidak ditanggapi secara positif dan cepat.

Hemat penulis bahwa kehilangan kapasitas dari DPRD Kab. Nagekeo dalam merespon pengaduan masyarakat merupakan bentuk kejahatan sistematis yang menghilangkan hak-hak masyarakat secara tidak langsung. 

Ada hal timbal balik yang harus diingat oleh anggota DPRD Kab. Nagekeo dalam mewujudkan system demokrasi yang sehat bahwa suara untuk posisi dan posisi untuk suara, itu harus selalu terjaga dengan baik melalui kepercayaan masyarakat atau ketegasan kalian saat membela hak masyarakat.

Oleh : Yosef Goa

Mahasiswa STIAMI (Sekolah Tinggi Administrasi Mandala Indonesia) Jakarta, 

Anggota Organisasi Mahasiswa Nagekeo Jakarta (MNJ)

Exit mobile version