DISKUSI TERBATAS PMKRI, Jakarta, verbivora.com – Hari ini, Senin, 4 Januari 2016, dua anggota lembaga PP PMKRI, Lembaga Kajian dan Lembaga Pelatihan menemui Peneliti Senior dan Pakar Politik LIPI, Prof. Siti Zuhro di Widia Graha LIPI Jl. Jendral Gatot Subroto 10 Jakarta Selatan. Dalam pertemuan tersebut didiskusikan berbagai hal menyangkut situasi Indonesia akhir-akhir ini beserta dampak sosialnya ke depan.
Peneliti Senior LIPI Prof. Siti Zuhro – Foto: ist |
Dalam diskusi terbatas tersebut, Prof Siti mengemukakan kerisauannya terhadap sistem politik di Indonesia yang sudah semakin banal. Menurutnya, idealisme para aktivis dulu sudah semakin susah untuk dipertahankan di dalam sistem seperti sekarang.
Namun, baginya, kondisi tersebut bukanlah pesimisme terhadap generasi muda sekarang. Kondisi tersebut harus dijadikan tantangan bagi aktivis untuk berani mengambil peran yang lebih nyata sembari mempertahankan integritasnya.
“Karir yang saya bangun ini murni perjuangan saya sendiri. Tidak ada sama sekali usaha dalam hidup saya untuk ketok pintu sana sini. Hal ini pula berlaku saat saya sudah dalam posisi seperti sekarang,” katanya tegas.
Profesor yang juga pengajar di Akbar Tandjung Institute ini menambahkan bahwa kejujuran dan integritas dalam mengemban amanah akan selalu menuai hal positif dalam kehidupan. Karena itulah ia merasa bebas untuk mengkritik secara konstruktif siapa pun.
“Sebab saya tidak punya kepentingan politik tertentu. Hidup akan semakin berharga. Sebab apa yang kita lakukan di hari ini akan menuai akumulasinya di hari depan nanti”, ungkap Prof.
Berbagai persoalan di Indonesia ia jelaskan satu per satu. Dialog bersama dua utusan PP PMKRI berjalan dengan baik. Problematika kemiskinan di Indonesia Timur, menurutnya, harus mendapat perhatian yang lebih tidak hanya dari pemerintah tetapi juga aktivis Cipayung seperti PMKRI.
“Menurut saya PMKRI tidak bisa diam dalam situasi seperti ini. Sebab ke depan adik-adik sekalian lah yang akan menjadi pemimpin,” ujarnya.
Otonomi daerah, misalkan, harus menciptakan ruang bagi pemunculan gagasan yang kreatif. Ini lah alasan kenapa Prof Siti bersama rekan cenderung melakukan penelitian di sana dan menelurkan rekomendasi politik dan pembangunan ke pemerintah.
“Jawa timur, misalkan, adalah provinsi yang sudah survive. Ayo lah kita kembangkan penelitian dan rekomendasi untuk daerah Timur di sana”, ujar Profesor yang juga mantan aktivis HMI ini.
Terhadap persoalan kebangsaan yang menggerogoti persatuan, Prof Siti, mengkritisinya dengan melakukan oto kritik yang tajam. Menurutnya, diskursus tentang pluralisme dan kebhinekaan sudah sarat kepentingan politik. Ia, secara pribadi, lebih nyaman dengan proposisi kebudayaan seperti tepo seliro.
“Kita ini masyarakat pribumi dan kembangkanlah karakter pribumi yang saling bertenggang rasa. Dalam melihat perbedaan, empati satu sama lain-lah yang harus dikedepankan,” tandasnya.
Menurutnya, krisis sopan santun sudah bertumbuh dalam komunikasi elite politik dan tokoh agama kita. “Janganlah kita mempergunjingkan perbedaan dalam bahasa yang tidak pantas, tetapi dalam menghadapi persoalan tersebut, sikap bijaksana harus selalu didahulukan sebab efek negatif yang lebih besar bisa saja terjadi di luar dugaan,” ujar Prof Siti.
Pesan ini kemudian diterjemahkan dalam semangat mengawal proses pelaporan PP PMKRI mengenai persoalan hukumnya dengan Rizieq Shihab. Penggunaan bahasa non kekerasan adalah framing wacana yang harus dijaga secara serius.
“Terlebih dalam tataran praktis dan spiritual teman-teman PP PMKRI harus lebih wise lagi, agar apa yang diintensikan oleh PP PMKRI bisa tersampaikan dan terendapkan dengan baik. Sebab, tanpa itu, semangat yang ada hanya menyalin cara yang sama dengan tekanan radikal dan konservatif yang berbeda. Oleh karena itu, jadilah aktivis yang berintegritas dan berkarakter dengan mengemban tugas untuk semua golongan dan kepentingan yang lebih besar di manapun adik-adik semua berada,” tegasnya.
Diskusi tersebut berakhir dengan gagasan bersama untuk membuat focus group discussion mengenai persoalan politik dan sosial makro yang sedang terjadi di Indonesia. Dalam diskusi tersebut akan diundang beberapa pakar seperti dalam bidang ekonomi, politik, sosial, dan budaya untuk membahas tema-tema tertentu yang selama ini kurang mendapatkan perhatian.
“Intinya saya sangat senang bertukar pikiran dengan generasi muda dari latar belakang apapun, seperti dalam Cipayung. Ini penting karena pembangunan Indonesia harus melibatkan semua komponen bangsa” ujarnya mengakhiri pembicaraan.* (Fandis Nggarang/AT)