Dikudeta Militer Myanmar, Suu Kyi Serukan Perlawanan

Jakarta, Verbivora.com- Pemimpin Partai Nasional untuk Demokrasi(NLD) Myanmar Aung San Suu Kyi menyerukan perlawanan dengan meminta rakyat Myanmar menolak kudeta yang dilakukan oleh militer Myanmar.

Wanita berusia 75 tahun itu meminta rakyat pendukungnya untuk melakukan aksi protes. Seruan ini disampaikn melalui laman Facebook resmi San Suu Kyi sebelum ditahan militer, senin(1/2/2021) dini hari.

“Tindakan militer adalah tindakan untuk mengembalikan negara dibawah kediktatoran. Saya mendesak orang-orang untuk tidak menerima ini, untuk menanggapi dan dengan sepenuh hati untuk memprotes kudeta oleh militer,” tulis pernyataan San Syu Kyi dalam unggahan itu, seperti dilansir dari Channel News Asia, senin(1/2/2021).

Dalam pernyataan itu juga, Suu Kyi mengatakan, tindakan militer tersebut tidak dapat dibenarkan dan bertentangan dengan konstitusi serta keinginan rakyat.

Sementara itu, pemimpin senior Partai NLD, Win Htein, menyebut, keptusan Jenderal Min Aung Hlaing untuk melakukan kudeta saat Myanmar sedang berjuang menangani pandemi Covid-19, menunjukkan ambisi pribadi dibandingkan kepedulian terhadap negara.

“Perekonomian negara sedang turun. saat ini, fakta bahwa dia melakukan kudeta menunjukkan bahwa dia tidak memikirkan masa depan,” kata Win Htein dalam video yang diunggah di Facebook.

Seperti dilansir kompas.com penangkapan para pemimpin sipil seperti Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint terjadi sebelum parlemen menggelar sidang perdana pasca pemilihan pada November 2020 yang dimenangkan oleh Partai Nasional untuk Demokrasi(NLD) Pimpinan Suu Kyi.

Militer myanmar yang dikenal sebagai Tatmadaw menilai telah terjadi kecurangan pemilu Myanmar. Bahkan menjelang pemilu, militer menuduh Komisi Pemiliha Umum(UEC) memiliki manajemen yang buruk mengenai persiapan pemungutan suara.

Setelah Partai NLD-nya Aung San Suu Kyi menang telak dalam pemilu, militer melakukan penyelidikan mandiri terhadap proses pemungutan suara.

Di sisi lain, Partai oposisi utama, Partai Union Solidarity and Development(USDP), juga menuduh bahwa adanya kecurangan dalam pemilu.

Militer dan USDP juga protes karena seruan mereka mengenai penyelidikan pemilu tidak didengarkan UEC.

Karena tidak digubris, militer juga telah menerbitkan serangkaian temuan yang mereka katakan memberikan bukti untuk klaim telah ada penipuan dalam pemilu. Namun, tuduhan tersebut telah ditolak komisi pemilu karena dianggap dilebih-lebihkan dan tidak masuk akal sebagaimana dilansir The Irrawaddy.

Ketegangan semakin meningkat ketika juru bicara angkatan bersenjata Myanmar, Mayor Jenderal Zaw Min Tun, menolak untuk mengesampingkan kudeta pada selasa(26/1/2021).

Dia juga memperingatkan bahwa militer dapat mengambil tindakan jika keluhan tentang kecurangan dalam pemilu Myanmar tidak ditangani.

Belasan kedutaan besar termasuk delegasi Amerika Serikat(AS) dan Uni Eropa, pada jumat mendesak militer Myanmar mematuhi norma-norma demokrasi. 

Ditengah keprihatinan itu, pada sabtu(30/1/2021), militer Myanmar menyatakan bakal melindungi konstitusi dan bertindak sesuai dengan hukum. Pernyataan ini dikeluarkan oleh panglima tertinggi militer Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing.

Namun semua berubah pada senin(1/2/2021) dini hari waktu setempat dimana Aung San Suu Kyi, Presiden Myanmar Win Mynt dan sejumlah tokoh Partai NLD digerebek dan ditahan militer Myanmar.

Dilansir BBC, Myanmar telah mengalami hampir 50 tahun pemerintahan dibawah rezim militer. Negara ini kemudian bergerak menuju pemerintahan demokratis pada 2011, dengan salah satu tokohnya yaitu Aung San Suu Kyi.

Selama lima tahun terakhir, Suu Kyi dan Partai Liga Nasional untuk Demokrasi(NLD yang pernah dilarang memimpin neggara, telah terpilih pada 2015 dalam pemungutan suara paling bebas dan adil dalam 25 tahun.

Pada senin(1/2/2021) pagi, partai itu seharusnya sudah memulai masa jabatannya yang kedua. Namun, militer mengambil alih kekuasaan dan menjadikan Aung San Suu Kyi sebagai tahanan rumah.  (JM)

  

Exit mobile version