Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Perlunya Pemisahan Hukum Adat Dari Paradigma Hukum Modern

 

Ilustrasi-perlunya hukum adat dari paradigma hukum modern(gambar: hukum.untan.ac.id/)
Negara Indonesia adalah negara hukum. Begitulah bunyi pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Artinya negara melalui pemerintah, lembaga negara dan alat negara dalam melaksanakan tindakan apapun harus  dilandasi peraturan hukum atau harus dapat dipertanggung jawabkan secara hukum. Hal ini dapat dilihat dalam proses penyelenggaraan negara dan keberadaan pemerintah, lembaga negara dan alat negara semuanya berdasarkan atas hukum. Sebagaimana diatur lebih lanjut dalam UU nomor 13 tahun 2022 perubahan kedua atas UU nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. 

Namun, dalam konteks mengenal Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum disitu dikenal dua bentuk hukum yakni hukum tertulis dan hukum tidak tertulis (convention). Konkritnya hukum tertulis seperti peraturan perundang-undangan beserta peraturan turunan lainnya. Hukum tidak tertulis seperti hukum adat. 

Dalam konteks peraturan perundang-undangan sebagai hukum tertulis biasanya juga disebut ius constitutum atau hukum positif. Ius constitutum adalah hukum yang berlaku pada saat sekarang. Pada posisi ini dapat dikatakan bahwa sewaktu-waktu hukum positif bisa mengalami perubahan atau perbaikan bila tidak relevan lagi. Karena itu, selain ius constitutum adapun yang disebut dengan ius constituendum sebagai hukum yang dicita-citakan untuk masa mendatang. 

John Austin dengan Analytical legal positivisme-nya sebagai penganut utama aliran positivisme yuridis menempatkan hukum sebagai perintah berdaulat dari negara melalui hukum positif atau peraturan perundang-undangan. Tapi bagi Savigny dengan teori volkgeist-nya menyangkal kesejatian hukum yang dibuat ahli hukum dan negara. Bagi Savigny, hukum sejati bukanlah hukum yang dibuat secara artifisial oleh negara dan ahli hukum. Hukum sejati adalah hukum yang tumbuh dan berkembang dari rahim kehidupan rakyat. Karena itu, legislasi hanya penting selama ia memiliki sifat deklaratif terhadap hukum itu (Bernard L. Tanya, 2007). 

Sementara hukum tidak tertulis atau hukum adat, disebut hukum asli karena lahir dari masyarakat adat sesuai dengan kepentingannya menjelmakan perasaan masyarakatnya.  Sehingga eksistensi hukum adat lebih sebagai pedoman untuk menegakkan dan menjamin terpeliharanya etika kesopanan, tata tertib, moral, dan nilai adat dalam kehidupan masyarakat. Secara eksplisit memang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.  \

Pasalnya, belakangan ini dalam kehidupan bermasyarakat ada upaya lain yang bermaksud menempatkan hukum adat dalam cara pandang hukum positif. Katakanlah Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2019 tentang Masyarakat Adat Bali. 

Kemudian "Kawin Paksa" di Sumba-Nusa Tenggara Timur. Praktik ini merupakan tradisi yang telah diwariskan secara turun-temurun. Tapi kemudian dilihat sebagai persoalan dari UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. 

Dari dua persoalan diatas, sebetulnya masih ada pengklasifikasian cara pandang masyarakat terhadap hukum. Dalam Perda Nomor 4 Tahun 2019 tentang masyarakat adat bahwa perlu dijadikan aturan tertulis mengikuti Paradigma hukum modern. Sementara "Kawin paksa" di Sumba-Nusa Tenggara Timur dilihat sebagai pelanggaran HAM terhadap perempuan. Karena itu, perlu dihapus dari tradisi adat istiadat masyarakat Sumba. 

Namun, ada pro-kontra dari masing-masing masyarakat hukum adat bersangkutan. Disatu sisi, mendukung hukum adat beserta tradisi itu tetap dijalankan sebagaimana mestinya, tanpa perlu pembaharuan atau dihilangkan karena tidak relevan. Tapi di sisi lain, itu perlu dilakukan karena perubahan itu terus terjadi dan mempengaruhi kehidupan masyarakat. Oleh karena, perubahan itu terus terjadi maka hukum harus disesuaikan dengan situasi atau zaman itu. 

 Lalu apakah kemudian kita meninggalkan mereka yang berparadigma tradisional dan merangkul mereka yang berparadigma modern? Bukankah kedua adalah masyarakat? Hukum untuk manusia bukan manusia untuk hukum, kata Prof. Sapcipto Raharjo. Mereka yang berparadigma tradisional bukan tidak memiliki pengetahuan dan wawasan yang sempit. Tapi mempertahankan tradisi itu karena meyakini bahwa tradisi itu dapat menuntun mereka tiba pada tujuan yang diharapkan (telos). 

Oleh sebab itu, negara melalui pemerintah daerah mestinya membuka ruang-ruang dan kanal komunikasi bagi seluruh kalangan masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya. Sebab, hanya dengan membuka ruang-ruang komunikasi, masyarakat akan saling memahami satu sama lain. Akhirnya negara pun dengan mudah mengambil keputusan membentuk undang-undang, mengatur dan atau menangani persoalan-persoalan yang mengakomodir kepentingan seluruh masyarakat Indonesia.

Posting Komentar untuk "Perlunya Pemisahan Hukum Adat Dari Paradigma Hukum Modern"