Jakarta, Verbivora.com – Akhir pekan silam (12/2), saya bersama rekan-rekan anggota PMKRI Cabang Jakarta Pusat mengikuti jalannya debat kandidat calon Ketua Presidium PMKRI Cabang Jakarta Pusat.
Lama, bahkan lama sekali durasinya, sampai ngantuk dan lapar, tetapi sayangnya debat kandidat itu jauh panggang dari ap,i perdebatan di mana setiap kandidat mempertengkarkan argumentasi yang kokoh untuk memperbaiki citra PMKRI.
Ini kritik-otokritik yang (tak) renyah jelang pemilihan putaran kedua yang mempertemukan bung Joshua Florisan vs bung Roy Tolok, pada 19 Februari 2022 mendatang setelah perdebatan yang garing tempo hari.
Pada pemilihan putaran pertama terdapat 3 kandidat yang sah mencalonkan diri menjadi Ketua Presidium, antara lain: Joshua Artatira Kirch Prior Florisan (demisioner Presidium Pendidikan dan Kaderisasi), Karmila Floriani Daro (demisioner Sekretaris Jenderal) dan Raymundus Yoseph Megu Tolok (demisioner Presidium Gerakan Kemasyarakatan).
Dalam debat kandidat yang diselenggarakan beberapa waktu lalu, ketiga kandidat memaparkan visi dan misi mereka dalam membangun PMKRI Jakarta Pusat ke arah yang lebih baik. Ketiga kandidat sangat bersemangat karena mempunyai niat yang tulus untuk menjadikan PMKRI sebagai ruang pergerakan dan intelektual.
Namun, pemaparan visi misi dari ketiga kandidat bisa terbilang masih jauh panggang dari api dan tidak menyentuh apa yang menjadi kebutuhan PMKRI di tengah perkembangan teknologi.
Saya sendiri melihat, para kandidat tampaknya tidak menyadari kemajuan dunia yang menuntut kita semua untuk melek teknologi. Covid-19 yang sedang melanda dunia sekarang ini, memisahkan kita semua tetapi sekaligus mendekatkan kita dengan aplikasi seperti Zoom dan Google Meet.
Jika dulu makna kehadiran ada perjumpaan fisik yang dapat saling bersentuhan, maka sekarang makna tersebut berubah menjadi tatap muka virtual. Orang menghindari berjabat tangan dan bertatap muka secara langsung karena takut tertular, sebagai gantinya lebih nyaman dengan tatap muka virtual, bekerja dan belajar dari rumah yang memang membosankan tetapi menyelamatkan.
Saya melihat para kandidat memang tidak paham tentang perkembangan teknologi, padahal mungkin sering menggunakan aplikasi tersebut. Selain itu juga para kandidat memang tidak bisa beranjak dari zona nyaman PMKRI yang jadul yang belum up to date dengan perkembangan yang kita alami seperti sekarang di era milenial.
Perdebatan kemarin bukannya membuka mata kita untuk masuk dalam gerbang perubahan Menteng yang lebih peka terhadap perkembangan teknologi justru membuat kita gagal move on.
Era digital saat ini sebenarnya harus dimanfaatkan dengan sebaik mungkin. Penggunaan aplikasi meeting dapat meminimalisir manajemen waktu dalam memulai atau mengakhiri suatu kegiatan. Apalagi sudah menjadi hal yang biasa bahwa dalam memulai kegiatan apapun, sudah dipastikan tidak akan sesuai dengan waktu yang sudah ditentukan dalam surat undangan.
Berbagai alasan mengapa sampai kegiatan tersebut tidak berjalan sesuai waktu, seperti lokasi Margasiswa cukup jauh, kendala transportasi, kesibukan teman-teman anggota, kebiasaan yang suka menunda-nunda, dan lain-lain. Hal ini sebenarnya bisa diminimalisir dengan penggunaan aplikasi meeting.
Namun, ada kegiatan-kegiatan tertentu yang ada di PMKRI cabang Jakarta Pusat dinilai tidak kondusif bila melalui aplikasi meeting. Untuk mengatasi hal tersebut, perlu tindakan tegas dari panitia yang bertanggung jawab. Kegiatan harus terlaksana tepat waktu, berapapun peserta yang sudah hadir, panitia harus segera memulai kegiatannya. Jangan menunda-nunda. Karena panitia harus bisa menghargai teman-teman anggota yang on time.
Selain bidang teknologi, adapun bidang ekologi. Pada debat kandidat kemarin, salah satu peserta sidang bertanya soal isu ekologi. Tentu hal ini sangat menarik untuk dibahas. Namun, sayangnya, dalam pemaparan visi misi dan perdebatan, ketiga kandidat tidak mengangkat persoalan tersebut, mungkin tidak mengikuti perkembangan isu ekologi dunia yang sedang di bahas para pemimpin dunia saat ini.
Bahkan Paus Fransiskus sendiri sebagai pemimpin tertinggi Gereja Katolik menyerukan solusi nyata bagi upaya menyelamatkan planet bumi dari krisis ekologi. Padahal beberapa waktu yang lalu Pengurus Pusat PMKRI mengadakan Catholic Summit yang membahas soal krisis ekologis dari perspektif Fratelli Tutti dan Laudato Si, dua ensiklik terkemuka dari Bapa Paus Fransiskus. Mungkin Pengurus Pusat kurang gencar menyosialisasikannya ke bawah ke tingkatan cabang.
Bagi saya, persoalan ekologis memang nyata dan sebagai kader PMKRI sudah menjadi tanggung jawab kita untuk mengampanyekan dan memperbaiki kerusakan lingkungan. Tidak perlu heboh, tetapi kita bisa memulai dari lingkungan Margasiswa seperti kebersihan gedung aula, toilet, kamar-kamar yamg ada dalam Margasiswa, dan halaman sekitar Margasiswa.
Begitupun untuk lingkup eksternalnya, PMKRI Cabang Jakarta Pusat bisa berkolaborasi dengan pemerintah atau NGO yang berkaitan dengan lingkungan di daerah Jakarta Pusat, Jakarta, dan Indonesia secara lebih luas. *(AR)
Putri Sukmaniara, Anggota Biasa PMKRI Cabang Jakarta Pusat.
Putri Sukmaniara, Anggota Biasa PMKRI Cabang Jakarta Pusat/ist. |