Cerpen-Yogen Sogen: Pengakuan Sang Pelacur Politik

Ket. Yogen Sogen. (Foto. Dok. Pribadi)
Pertengahan Oktober malam itu
seorang bertampang perampok tiba-tiba menarik lenganku, tepat di depan kami ada
dua gang kecil. Gang sebelah kiri menuju Rumah Parlemen dan kanan menuju Rumah Kardus,
istana kusam para pemulung dan ratusan anak jalanan berdiam dari ganasnya realitas
yang mencekik nasib. Gambaran dua mata jalan itu begitu jelas menamparkan kelas
sosial masyarakat di kota ini.
Aku mengelak dari tubuh yang bertampang
perampok itu dan mengambil posisi sedikit menjauh. Tatapan kami tiba-tiba menciptakan
perdebatan batin. Ruang malam di antara kedua mata jalan itu berubah menjadi kegaduhan
batin.  Persis seperti ada pembunuhan
berencana. Aku tidak bisa menguraikan secara detail maksud pria bertampang perampok
itu menghampiriku. Dari bacaan pikiranku hanya melahirkan kecurigaan yang
semakin sengit menjangkit seluruh suasana yang begitu akrab namun tak terduga.
Tatapanku lengkap mencernai setiap gerak-gerik
pria itu, pun memperhatikan bahan-bahan yang bisa kujadikan alat mengelak diri jika
suasana berubah jadi serangan fisik. Toh di negeri ini melindungi diri secara
spontan dari serangan musuh tidak menjadi persoalan panjang di meja pengadilan meskipun
menyandang gelar tersangka asal aku bukan koruptor yang kotor. Kewaspadaan itu itu
tiba-tiba muncul dari jalan pikiranku yang semakin tidak terkendali menguasai
debar maut.
“haha..kamu pikir saya perampok?”
sergap pria itu seraya mengusut tingkahku yang kusut.
Sandiwara yang lucu namun garing, kataku
membatin. Sementara di luar diriku keadaan memupuk kewaspadaan menjadi akrab
yang sebelumnya asing.
“perkenalkan, saya Pilatus. Anda mungkin
mengenal saya jika sering menonton acara Indonesia Lawak Politik setiap Selasa
malam di salah satu stasiun Televisi ternama di negeri ini.’’ Ungkapan perkenalan
yang tiba-tiba tanpa terlebih dahulu membuka ruang perkenalan padaku.
Kebingungan seketika kembali membanjiri
ruang perdebatan dalam diriku. Bagaimana mungkin seorang politisi senior dan ternama
di negeri ini tiba-tiba mengubah gaya hidupnya menjadi seperti seekor tikus
malam yang mengais makanan pada gang-gang kecil nan kotor di kota ini. Sedangkan
budaya hidup yang serba elitis adalah makanan pokok para pemangku kekuasaan,
kecuali saat kepentingan mempertahankan kekuasaan politiknya ketika masa
kampanye tiba mereka akan terlihat humanis, bahkan adegan konyol sedikit kurang
waras dilumuri dengan sikap santun yang kaku ketika berhadapan dengan para
pedagang kecil atau masyarakat kelas rendah ataupun sejenisnya, mereka (politisi)
akan tampak begitu sederhana secara total berpura-pura mendengar gemuruh keluh
bersanding kesah susah para warga masyarakat yang tidak akan tuntas
diterjemahkan dalam sejarah perpolitikan kita. Orang-orang bermulut anggun ini
perlu ditampar dengan peribahasa “jauh panggang dari api” karena faktanya
mereka memang tidak konsisten antara ucapan dan tindakan bahkan kepura-puraan yang
akut membuat mereka terlihat tuli dan dungu ketika rakyat menagih janji.
Pertanyaan demi pertanyaan yang
merimbun dalam diriku menjelma menjadi kecurigaan yang terpapar di dahiku yang
mengkerut. Jika ditarik dalam sengketa politik berhati serigala yang ada dalam sejarah
imanku, mungkin malam itu adalah detik-detik yang dimanfaatkan oleh Yudas
Iskariot ketika menjual Yesus. Sebuah strategi politik purba yang kembali dibangun
secara massif oleh para pelacur kemanusiaan, hingga munculnya kasus human trafficking yang tidak pernah tuntas
didapati aktor intelektual oleh para musafir HAM, dan yang terpampang dari
berkas-berkas laporan kasus tersebut hanya menumpuk bak tong sampah di
selangkang pengadilan. Ini masih satu kasus, belum lagi kasus-kasus lain yang
tandus tanpa ditebus secara adil.
Adapun Undang-undang tentang HAM diciptakan
dalam keadaan mabuk, sehingga para narrator setiap pasal dan ayat melacur nuraninya
kemudian membunting tanpa memperanak keadilan yang jelas. Bahkan malas dibaca
oleh para aktor politik yang awalnya bersumpah setia demi Ayat Suci demi jiwa-jiwa
kerdil yang merindukan tegaknya keadilan.  Hingga kini yang terlihat hanyalah demi
selangkangan undang-undang uang.
“anda mungkin tidak percaya dengan peristiwa
malam ini, namun yang harus anda maknai dari pertemuan ini adalah dalam lubuk
jiwa seorang politisi yang lupa akan rahim budaya dan sejarah panjang
kelahirannya hingga menjadi manusia yang utuh, politisi itu akan lebih mendominasi
kepada naluri rakus yang terus menguras kepentingannya di atas kepentingan umum,”
timpanya dalam lamunku yang belum mampu kumaknai setiap ucapannya.
Aku kemudian kembali melepas keraguan
yang menumpuk dalam diriku dan memberanikan diri untuk menyapanya. Namun sebelum
ucapan perkenalan dariku terucap politisi itu kembali mematahkan niatku.
“sebentar lagi bangsa ini akan menyambut
pesta demokrasi, kalian makhluk kecil harus membilas nalar pikir dan nurani
kalian. Mata hati kalian harus terus berkobar agar tidak terjerat dengan isu
sesat yang sedang dimainkan. Sama sepertiku malam ini dengan berpura-pura
menjadi orang asing. Karena memang kami ingin setiap warga bangsa merasa asing
dengan yang lain. Dengan begitu isu hoax, narasi politik identitas berbasis suku,
agama, ras, dan golongan lebih muda merasuk setiap pikiran yang murni. Dan ingat
bangsa ini sedang dijangkit oleh wabah yang bersifat simbolis. Perpecahan demi
perpecahan yang terjadi dalam masyarakat adalah mainan politik. Dan instrumen
penting yang tidak kalah dahsyatnya adalah kami sedang menggandakan ideologi
bangsa ini,” ucapnya padaku dengan santai namun ketat akan pesan terhadap mempertahankan
nilai-nilai kebangsaan.
Pelacur politik yang sedang berperan menjadi orang asing itu kemudian
berjalan menuju gang sebelah kiri  sembari menutup kepalanya dengan
selembar kain bergambar burung garuda yang dipatahkan sayapnya….

*Penulis adalah Koordinator Lembaga Pers dan Publikasi Pengurus Pusat PMKRI periode 2018/2020. Penulis buku antologi puisi “Nyanyian Savana” (2016). 

Exit mobile version