Cerpen Rendy Stevano: Kisah Ibu Berjas Orange

Foto. Dok Pribadi

Ibuku adalah orang yang miskin. Ia hanya memiliki satu lembar jas
berwarna orange dan rok usang yang membaluti tubuhnya bertahun-tahun. Untuk
menjadi tempat berlindung, Ia hanya memiliki gubuk sederhana yang terletak
persis di samping puskesmas. Tempat Itu merupakan tanah ibah yang diberikan
oleh kedua orang tuanya karena belas kasihan pada tahun 2004 silam. Itupun
berkat ketiga orang keluarganya yang turut serta memadukan rasa kasihan
tersebut kepadanya. Sebagai anak, aku berhutang budi pada kelima orang itu. Berkat
mereka, Ibuku dapat melewati hari-harinya.

Mulanya hidup ibu sangat melarat. Bahkan proses perjuangan
melahirkannya sangat kompleks. Namun Ia berhasil dilahirkan meski tanpa ada
kejelasan mengenai esensi ibu. Hingga kini, Ia begitu Jaya. Kejayaannya sangat
dirasakan banyak orang. Meski demikian, benih-benih persoalan tak kunjung
berhenti meliliti Hidup Ibu, terutama tentang legalitas (Akta kelahiran) dan
politisasi statuta. Namun aku begitu mencintainya. Sebab ia senantiasa
memberikan aku asupan ilmu pengetahuan dan nutrisi wawasan, walaupun aku harus
membayarnya dengan uang. Usianya masih cukup muda (kira-kira 14 Tahun) tapi
telah melahirkan banyak anak, diantaranya adalah aku, sebagai anak bungsu. Saat
aku lahir,
aku
dihadiahkan jas berwarna orange terang, sembari Ibuku berkata “pakailah
jas itu dengan bangga, sebab ketika engkau mengenakan jas tersebut, engkau
telah menjadi aku”. Yahh…Ibu memanggilku dengan sebutan Mahasiswa.

Menurut kacamata publik, Ibu memiliki banyak kelebihan. Hingga banyak
oknum berkelahi demi memperebutkan hati Ibuku. Sampai saat ini, aku tidak
mengetahui apa tujuan mereka. Ibu jarang menceritakan tentang perselingkuhan
ibu dengan orang-orang yang berhasil memenangkan hati Ibuku. Mereka sangat
merahasiakan hal yang di kemasnya begitu rapi itu. Proses kucing-kuncingan
terus berjalan maju. Aku terus mencari tahu. Mereka pun selalu waspada. Nyaris
tak ada pintu masuk untukku mencari jalan. Namun aku terus berusaha, sebab aku
sangat yakin, suatu saat nanti mereka akan ceroboh dan akupun dapat mengetahui
hal dibalik kemasan itu.

Pada suatu ketika, ibuku di seret ke dalam obrolan para kaum kritisme,
yang mana diantaranya ialah anak-anaknya sendiri. Tentang kondisi kesehatan
ekonomi Ibu, telah diperiksa atau belum?, tentang kejelasan akta kelahiran Ibu,
juga tentang segelintir orang yang mencoba untuk menjadikan ibu sebagai lahan
penyuburan citra diri demi kepentingan politiknya, dan lain sebagainya.

Dapat di katakan, aku salah satu diantara kaum kritisme tersebut.
Ketika bertemu Ibu, kami kerap bergumam, ada apa denganmu ibu?? Kenapa wajahmu
begitu kusut?. Ibu tak sanggup menjawab. Orang-orang yang berhasil menghipnotis
ibu sungguh-sungguh membuat Ibu terbelenggu. Namun sebagai anak, semangat kami
tak pernah surut. Kami terus melakukan Advokasi. Demi membuat ibu keluar dari
belenggu tersebut.

Di samping itu, ada dua raksasa yang sedang bertarung dalam gelanggang
politik untuk saling mematahkan kemapanan strategi kemenangan. Ibu sungguh
dipojokan. Di jadikan senjata oleh salah satu raksasa itu.  Tentunya
sebagai anak walau dengan usia dini dan terbilang cukup labil, aku tak akan
berhenti, apalagi cuman sekedar menonton dari balik kursi akademik. Perjuangan
membebaskan belenggu yang menyuramkan masa depan Ibu akan terus berlanjut hingga
akhir, walau banyak mata yang melihat dengan penuh kebencian. Gejolak yang
menggalaukan itu terus bergerak maju. Sampai bertahun-tahun lamanya.

Pada suatu pagi yang basah oleh hujan, Ibuku berjalan keliling kota
dengan tujuan melepas penat sembari berharap agar kebatilan itu segera
berakhir. Sebab ia sudah tak sanggup menahan bingung untuk mengedepankan
anak-anaknya atau orang-orang yang berjuang mempertahankan eksistensinya. Tiba
di depan toko bunga, ia melihat seorang anak kecil, berdiri tegak menatap ke
arah kaca yang ada di dalam toko tersebut. Ia mendekat dan bertanya ”
heinak, mengapa kamu berdiri disitu”. Dengan wajah mengkerut anak itu
menjawab, “aku ingin membelikan setangkai mawar untuk Mama saya, Mama
sedang berulang tahun hari ini, hujan membuatku tak bisa mencari uang”.
Yahh. .anak itu rupanya adalah pengemis cilik.

Rasa sedih bercampur kasihan, mendorong Ibuku untuk membelikan
setangkai bunga untuk pengemis cilik tersebut. Ia kemudian berjalan ke dalam
toko bunga itu lalu membeli dua tangkai bunga mawar. Kemudian ia memberikan
bungan tersebut ke anaknya Sembari berkata, “ayo nak, biar Ibu antarkan
kamu bertemu Mamamu”. Dengan wajah penuh kegembiraan, anak itu berkata
“Ayo ibu, terima kasih banyak”.

Setelah itu, berjalanlah Ibuku bersama sih pengemis cilik itu.
Setibanya di depan Tempat Pemakaman Umum, anak itu sontak berlari menuju tanah
yang telah tertumpuk dan dipenuhi rerumputan. Yah… ternyata Mama sih pengemis
cilik itu telah meninggal dan dikuburkan di tempat pemakan umum. Kemudian anak
itu menaruh bunga mawar tadi di atas tumpukan tanah itu lalu memeluk kubur
tersebut sambil berkata “Selamat ulang tahun Mama sayang”. Melihat
adegan dramatis tersebut, sontak Ibuku meneteskan air mata. “Anak ini
begitu mencintainya mamanya meski telah meninggalkannya”, ibuku bergumam
dalam hati. Setelahnya ibuku kemudian berlari menuju tempat kediamannya
kemudian mengutuk para raksasa yang menggunakan kecerdasan intelektualnya untuk
kepentingan pribadi dan politiknya. Akhirnya, Ibuku merubah segala keadaan
menjadi lebih kondusif. Kemudian ia memeluk anak-anak mempedulikan masa dep
annya sambil berkata,
“kalianlah mahasiswa yang sesungguhnya,
jas orange yang kalian kenakan sungguh-sungguh menunjukkan wibawanya”.




*Penulis adalah Presidium Pendidikan dan Kaderisasi PMKRI Cab. Maumere St. Thomas Morus Periode 2016/2017

RELATED ARTICLES

Most Popular