Cerpen : Dibungkam

Bising suara bunyi sirene mulai terdengar jelas dari gang sempit rumah tua itu. Seketika diganti dengan suara kalimat lantang yang berbunyi, “ketidakadilan sedang dipraktikan kawan-kawan!” dan disusul suara gemuruh dari masa yang terkonsolidasi dalam satu komando. Kurang lebih itu dan terdengar sangat jelas. Mateo pria berkulit sawo matang beranjak dari tempat duduknya sembari mengangkat bendera kebesaran. Satu komando kawan-kawan! Tegasnya dengan suara lantang. Hari ini kita akan menunjukan bahwa kita tetap ada, dan perjuangan kita tidak takan lekang oleh waktu dan tak lapuk oleh hujan, artinya bahwa perjuangan itu takan pernah mati. “Hidup bendera mawar!! Teriak salah satu anggota dari tengah kerumunan masa di rumah tua yang dijadikan tempat konsolidasi itu. Sementara, Suara gemuruh masa yang lain itu terdengar semakin jelas dan mendekat. 

Mateo memandu masa dalam satu komando agar aksi menggugat ketidakadilan dapat berjalan dengan lancar. Tali merah dengan panjang 300 meter persegi mulai dibentang guna menyatukan masa dalam satu ikatan. Teriknya panas semakin membakar semangat kelompok anak muda itu. Perlahan gerombolan masa mulai berjalan perlahan melewati gang sempit rumah tua yang dijadikan tempat konsolidasi sebelumnya. Seperti sesuatu yang sudah direncanakan, Kedua kelompok masa itu bertemu di simpang tiga jalanan besar yang membentang di tengah kota. Amarah yang tak padam memancing semangat masa yang besar dan terkontrol. Perlahan mereka beriringan menuju gedung putih sebagai titik akhir berkumpulnya. 

Mateo secara perlahan menyelinap ditengah banyaknya masa dan menuju ke arah coordinator lapangan yang sedang asyik berorasi di atas mobil bak terbuka dan berisikan 4 sampai 5 speaker dengan harga 10 jutaan. Dari kejauhan terlihat mateo berusaha mencari celah agar bisa bertemu dengan rekannya yang membawa masa lebih banyak dari masanya. Dia berjalan di tengah kerumunan masa menuju lelaki muda yang memagang microphone. Entah apa yang mereka bicarakan, entahlah? Intinya dalam sekejap mic pengeras suara dialihkan kepada mateo. Sebelum pria berbadan kurus itu berkata-kata dalam bahasa perlawanan, ditariknya bendera berwarna rasta dari tas bertali satu miliknya dan diikatkan dikepala yang berambut ikal. Kalimat pembuka yang khas dari mulutnya adalah, WAHAI KAWAN-KAWAN!! dan seterusnya. Di sela-sela tuntutannya, tidak lupa dia mengajak masa untuk menyanyikan lagu kebanggan rekan-rekan pendahulu. Keringat mulai bercucuran dan membasahi baju bertuliskan revolusi dengan huruf capital. 

Dari jauh dia melihat gerombolon pria berbadan besar dengan penampilan serba hitam berdiri sambil memegang tameng bak captain America. Pria-pria itu menyiapkan formasi seakan terjadi sesuatu pasca orasi yang membara khas mateo. Di sudut lain sembari berorasi lantang, mateo melihat ada segerombolan anak muda tak beridentitas bercengkrama sambil menunjuk beberapa tempat yang tidak jelas tujuannya apa. 

Panas terik matahari tak memadamkan semangat anak muda itu, karena baginya keadilan di atas segala-sagalanya. Sementara di sudut lain terlihat jelas kumpulan bapak-bapak yang menjual rujakan buah dengan bumbu rujak andalannya yang telah diawetkan dalam lemari kaca berisikan es batu. Rupanya aksi demonstrasi hari itu memberi meraka harapan hidup untuk 1-2 minggu ke depan. Moment langka itu dimanfaatkan bapak-bapak tua itu dengan penuh perjuangan. 

Dari atas mobil komando mateo memandang banyak pasang mata yang bergantung harap padanya akan terwujudnya segala bentuk tuntutan mereka. Ketika sedang memuncak amarahnya, tiba-tba salah seorang di antaranya muncul seorang anak muda paruh baya datang menghampiri mateo dan berbisik. Intinya yang diketahui adalah terdengar di media di beberapa kota telah terjadi caos antara masa yang dikonsolidasi dengan pria berbadan gelap yang gagah dan perkasa.

Mendung tak Nampak, hujanpun bukan, yang ada guyuran batu yang mulai berguyuran, entah siapa yang menghujan, tak tahu pula. Sekejap mateo melantangkan suara, sebagai seruan satu komando. Suara itu hanyut bersama teriakan masa yang lari entah ke mana arah tak kenal tujuan. Mateo hanya mampu bersuara keras niat hati mengendalikan emosi jiwa yang rindu keadilan. “KAWAN-KAWAN KU SEKALIAN, MARI SATU KOMANDO!! Teriaknya penuh harap. Gerbang-gerbang yang terbuat dari baja di pintu bak istana kerajaan mulai berjatuhan. Amukan masa tak bisa dibendung lagi. “ Jangan lari Kau!” teriak pria berbadan besar, dengan tongkat yang kelihatannya tak bersahabat. Sangkanya mereka lari? salah besar body! Masa itu berbalik arah dan meringkus pria tak dikenal itu. Suasana pun tidak bisa dibendung, mateo hanya terdiam di atas mobil bak terbuka. Dari pandangan mata pria berbadan kurus itu tergambar jelas ada yang tidak benar dalam aksi masa itu. Bendera kecintaan diambilnya dan diikat erat di punggung badan. 

Asap mengepul di jalanan bukan pertanda kebakaran, asap itu seperti algojo yang menyiksa namun tak terlihat. Dari kejauhan asap itu terlihat berasal dari kelompok pria yang berbadan besar dengan baju serba hitam. Sontak mateo memanggil kawanannya yang berdiri tak jauh dari tempatnya berpijak. “Daniel, cepat lari”! teriaknya. suara itu tenggelam di tengah bising suara ketakutan masa yang tak terkontrol lagi. Di tempat lain mateo melihat sekelompok anak dengan jumlah 20 sampai 30-an jumlahnya beridiri tanpa ketakutan, dengan memasang muka penuh amarah. Dalam hitunghan detik dari antara mereka menghujani sekelompok pria berbadan kekar dengan batu. Mencoba melawan dengan senjata namun bukan laras panjang dan tak berasap. “Serang”!!!! Teriak salah satu dari antara mereka tanpa ada rasa ketakutan. 

Pria berbadan kekar atau terserah kamu sebutnya polisi, ya itu dia, merapatkan barisan dan mendekat secara perlahan ke arah mereka. Disusul mobil tangki berbentuk kotak dan mulai membuka jurusnya untuk mengincar sasaran. Mateo berusaha memadamkan api amarah dari masa sebesar itu, namun apa daya seorang diri tak mampu. Mateo memilih kembali ke markasnya guna memastikan kawanannya sedang baik-baik saja. 

Di tengah kerumunan masa mateo berusaha menerobos, berusaha menembus batas ketakutan masa. Sesampainya di markas, mateo melihat sekumpulan pria tak berseragam tapi mengenakan topi kupluk dengan tangan bertongkat rotan. Mateo mencoba masuk dengan penuh keberanian dengan bendera kebanggan terikat di kepala. Dia berteriak dengan penuh amarah. “Hei! Kenapa kalian masuk ke rumah saya tanpa izin?”kalian siapa? Suaranya lantang, memecahkan suasana genting sore itu. Seketika sebatang tongkat rotan mendarat di punggung mateo, disusul tendangan maut dari pria tak dikenal mendarat di kepalanya. Dalam sekejap mateo merasakan kegelapan. Tak ada yang menolong, sepertinya jiwa perjuangan dari kawananya dibungkam oleh rasa ketakutan akan tindakan represif pria tak dikenal. 

Mateo diseret ke mobil keranjang dengan anak-anak yang tidak dikenalnya. Dalam keadaan lemah, mateo merasakan ada kucuran darah yang menetes di lengan bajunya. Parah dan sadis, darah itu semakin derasnya. “Lukanya besar?” Tanya mateo kepada salah seorang yang berada di sampingnya. “Lumayan, kira-kira 7 jahitan bila dilarikan ke dokter” Bangsat!! Geramnya kecil. 15 menit perjalanan yang dihitung mateo dari jam tangan miliknya. “Turun!” Teriak salah seorang yang mengkawal mereka dari lokasi aksi. Tiga puluhan anak di antaranya hanya menurut saja tanpa ada perlawanan sementara Mateo masih belum menerima tindakan tak adil itu. Dalam langkah kecil, mateo tiba-tiba diarahkan ke dalam ruangan khusus yang tepat berada di lorong gedung panjang itu. Mata mateo ditutup dan dalam sekejap mateo merasakan kegelapan yang tidak biasa dari sebelumnya. 

“Kamu dari aliansi mana?’ Tanya seorang kepada mateo sambil menikmati cerutu dengan asap mengepul dalam ruangan. Untuk apa gerangan menanyakan itu padaku? Bukankah menuntut keadilan tak mengenal asal-usul? Jawab mateo dengan tegas? Tiba-tiba sepasang tangan mendarat di pipi mateo? Dalam kesakitan, mateo menghardik, “kalian semua biadab, kalian menggunakan kekuasaan kalian untuk menindas kaum kecil!!” Hei anak muda, kau bawa masa dalam jumlah besar, dank au tak tahu mengontrol mereka, banyak anak buah ku yang terkapar dalam luka di rumah sakit sebelah. Jawab pria yang tak diketahui identitasnya. Untuk apa kau turun ke jalan? Bukankah kewajiban mu hanhya untuk mengenyam ilmu sampai negri cina? Tambahnya membentak mateo. Bagaiamana mungkin aku bisa ke negri cina, jika kawananku kau tindas dengan ketidakadilan? Bukankah kau bilang, kau hadir untuk mereka, untuk hidup dan makan dalam keadaan baik-baik saja tanpa ada yang mengganggu? Kau hanya memikirkan perutmu, anakmu dengan modal mengambil hak kawananku. Kau biadab dan tak tahu malu! kau akan dikutuk oleh rasa sakit yang diderita oleh rakyat tertindas! Amarah itu dilampiaskan mateo kepada lelaki angkuh yang berada dalam satu ruang yang sama itu.

Dua jam berlalu, terbangun dalam satu ruangan gelap yang tak tahu posisinya di mana. Dia tidak mengingat apa yang terjadi padanya setelah amarahnya dilampiaskan kepada pria angkuh tak dikenalnya. Dia meraba-raba badanya yang penuh dengan sakit dan memar di bagian-bagian tertentu. Dalam hening mateo mateo bergumam sendiri “Ya Tuhan, mengapa aku dibungkam”?

Oleh : Chandra Jas

Exit mobile version