Jakarta, Verbivora.com – Senin, lewat tengah malam, tanggal 5 September 2022 saya tiba-tiba terjaga dari lelap. Gawai di samping ranjang bergetar silih berganti tanda ada pesan yang masuk. Ternyata banyak pesan di WA group alumni Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), group Cabang, dan sebagainya.
Kabar duka dibagikan. Telah berpulang kepada Sang Pencipta salah satu senior penting
organisasi: Birinus Joseph Rahawadan. Ia kembali kepada Sang Khalik pada 4 September 2022 (23.50 WIB) di RS. Medika Permata Hijau dalam usia 66 tahun. Tidak terlalu rentah, tetapi juga tak muda lagi.
Ia menjadi penting, setidaknya bagi tumbuh kembangnya PMKRI Cabang Jakarta Pusat/Rayon Menteng (dan juga PMKRI secara umum) karena konsistensinya dalam melakukan pendampingan (mentorship) yang terus-menerus kepada generasi yang lebih
muda dari macam-macam cabang.
Sosoknya sederhana. Yang khas dari Om Yos kalau ke marga adalah selalu membawa empat hal bersama dirinya: tas samping yang berisi buku dan dokumen tentang PMKRI, bulpen sama secarik kertas untuk menulis nomor telepon dan mencatat hal penting yang
mungkin ada dalam diskusi dan obrolan yang biasanya disimpan di saku baju, sapu tangan dari saku celananya, dan senyum tulus seorang kakak yang penuh sayang. Senyum yang segera menangkap bahwa adik-adiknya belum makan!
Di era seperti sekarang ini tidak mudah menemukan sosok mentor seperti Om Yos, begitu kami biasanya menyapa beliau, yang merelakan tenaga, waktu, dan hampir seluruh sisa
hidupnya bagi proses kaderisasi.
Pengorbanan beliau itu didasarkan pada keyakinan bahwa “setiap orang memiliki masa depannya sendiri dan tugas kita adalah mempersiapkan setiap kader agar mereka siap
menjadi orang-orang penting di bidangnya masing-masing.” Senior dan alumni bertugas untuk mempersiapkan figura agar di dalamnya terpajang lukisan indah setiap kader.
Keyakinan ini sering diutarakannya dalam momen-momen formal seperti Masa Penerimaan Anggota Baru (MPAB), Masa Bimbingan (Mabim), atau Latihan Kepemimpinan Kader (LKK).
Di luar itu, dalam obrolan informal di Warung Pak Pardi, yang terletak di pojok Margasiswa
I, Menteng, Jakarta Pusat, yang sering kami lakukan, Ia selalu menyampaikan bahwa setiap kader ini berpotensi menjadi para pemimpin di daerah masing-masing dan juga dalam skala nasional.
“Kita tak pernah tau, tapi tugas kita mempersiapkan mereka. Kelak mereka akan menjadi
anggota DPRD, anggota DPR RI, menjadi Bupati dan Walikota, menjadi tokoh-tokoh yang berpengaruh dimana mereka berkarya,” ujar pria yang pernah menjadi Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat PMKRI Periode 1988-1990 di bawah kepemimpinan Ketua Presidium Gaudens Wodar.
Saya ingat betul salah satu nasehat Om Yos kepada kami ketika kami mengikuti MPAB tentang pentingnya menggembleng diri di dalam organisasi kaderisasi. Ia mengutip seorang ilmuwan besar bernama Francis Bacon mengenai pentingnya menulis, membaca, dan berbicara (berdebat).
“Kebiasaan membaca senantiasa membuat orang menjadi lebih bijaksana; kebiasaan menulis senantiasa membuat orang menjadi lebih sempurna; dan kebiasaan tampil berbicara di muka umum senantiasa membuat orang lebih matang.”
Panggilan sebagai aktivis setidaknya harus diboboti oleh ketiga keterampilan tersebut agar aktivisme dan perjuangan berpijak pada batu karang argumentasi yang kokoh. Aktivis tanpa membaca itu bentuk narsisme dan kesombongan yang menyebabkan seseorang menjadi kepala batu dan tertutup karena menganggap “aku” sebagai kebenaran mutlak sehingga menutup diri terhadap kebenaran di luar dirinya.
“Itu namanya bebal,” kata Om Yos pada saya ketika kami berdua berbincang di Warung Pak Pardi, Margasiswa Menteng. Efek samping lainnya dari narsisme dan kesombongan itu adalah katrok alias kampungan!
Lebih lanjut, Ia mengatakan agar aktivis harus bisa menulis. Menulis sebagai kegiatan rohani sebab ia melahirkan pikiran, sesuatu yang bersifat rohaniah, ke dalam tulisan. Tulisan bersifat individual karena lahir dari pikiran tetapi pada saat yang bersifat sosial karena ia beredar dan dibaca oleh yang lain. Syukur-syukur itu mempengaruhi orang lain.
Itu sebabnya aktivis harus bisa menulis agar orang lain tergerak hati untuk memperjuangkan nilai yang sama yang sedang diperjuangkan. “Vita brevis, ars longa,” dia mengulang adagium Latin untuk menegaskan betapa pentingnya menulis.
Di banyak kesempatan saya dan almarhum sering berdiskusi, tak jarang beradu argumen
secara tajam. Saya ingat, ketika Jakarta Pusat mengadakan MPAB, saya bersama dengan Om Yos dan beberapa senior makan malam bersama. Kami berdiskusi dan berdebat dengan sengit. Itu membuat makan malam terasa hambar tapi tetap dalam semangat persaudaraan yang sama untuk PMKRI. Itu seperti suatu relasi cinta platonik dalam pengertian tertentu.
Dia mengajarkan kami untuk berbicara dengan lantang dan lugas, tegas dan meyakinkan, tetapi harus ada seninya dalam berargumentasi. Argumentasi harus ada isinya karena itu
membaca sangat penting sekali.
“Dalam forum diskusi terbuka bersama dengan organisasi mahasiswa lainnya, kalau saya
bicara pasti orang langsung tau itu anak PMKRI,” ucap Om Yos dengan ekspresi serius, mata agak melotot. Itu kekhasan anak PMKRI!
“Tetapi kekhasan bisa memudar dan hilang, Om!”
Itu kekhawatiran kami berdua dalam hampir setiap pertemuan. Sebagian besar obrolan kami memang tentang menulis, terutama tentang konsep-konsep pembinaan dan kaderisasi PMKRI yang berusaha belio rampungkan dari dulu hingga ajal menjemput.
Niat baik itu belum rampung! Butuh team work yang solid untuk merampungkan apa yang sudah direncanakan. Sekarang, teman-teman PMKRI Jakarta Pusat menjadikan salah satu
ruangan Dewan Pimpinan Cabang (di bagian depan) sebagai ruang baca. Isinya penuh dengan buku-buku koleksi pribadi Om Yos yang dia wariskan kepada adik-adiknya.
Selamat jalan,
Om Yos!
Oleh : Yohanes Paulus A. Zany Namang(Ketua Presidium PMKRI Cabang Jakarta Pusat 2016-2017/Presidium Gerakan Kemasyarakatan Pengurus Pusat PMKRI 2018-2020)