BW Salahkan Revisi UU KPK di Era Jokowi soal SP3 Kasus BLBI


Jakarta, Verbivora.com – Mantan pimpinan KPK, Bambang Widjojanto (BW), menyalahkan revisi UU KPK yang dilakukan di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi penyebab kasus dugaan korupsi terkait BLBI disetop. Dia mengatakan disetopnya kasus BLBI menjadi bukti dampak negatif revisi UU KPK.

“SP3 (surat perintah penghentian penyidikan) dari pimpinan KPK dapat menjadi bukti tak terbantahkan dampak paling negatif dari revisi UU KPK yang disahkan di periode Presiden Jokowi,” kata BW, dilasir detk.com, Jumat (2/4/2021).

Sebagai informasi, revisi UU KPK dibahas pada 2019. Saat itu Presiden Jokowi mengirimkan surat presiden (surpres) sebagai tanda menyetujui revisi UU KPK yang merupakan inisiatif DPR RI.

Setelah revisi UU KPK disahkan DPR, Jokowi memang tidak meneken UU tersebut. Meski tak diteken Jokowi, UU KPK hasil revisi tetap berlaku karena merupakan amanah dari UUD 1945.

Kembali ke BW. Dia mengatakan SP3 kasus BLBI ini menimbulkan pertanyaan apakah revisi UU KPK memang ditujukan agar kasus BLBI tutup buku.

“Secara tidak langsung, dari SP3 ini bisa muncul sinyalemen, apakah revisi UU KPK salah satu tujuan utamanya adalah untuk ‘menutup’ kasus BLBI sehingga dapat ‘membebaskan’ pelaku yang harusnya bertanggung jawab?” ucap BW.

Dia juga mempertanyakan usaha KPK untuk terus mengusut kasus BLBI. BW heran mengapa pimpinan KPK saat ini terkesan tak melakukan apa pun, padahal kasus BLBI terindikasi merugikan negara Rp 4,5 triliun.

“Ada pertanyaan dan perdebatan reflektif bisa diajukan, apakah tanggung jawab hukum KPK di bidang penindakan dengan segala kewenangan yang melekat padanya menjadi berhenti bila salah satu penyelenggara negara dinyatakan lepas dari MA? Ada kerugian negara sebanyak Rp 4,56 triliun akibat tindakan Sjamsul Nursalim, tapi KPK belum lakukan ‘the best thing’ yang seharusnya dilakukan, bahkan terkesan ‘to do nothing’ dengan kerugian sebesar itu,” ujarnya.

Dia mengungkit janji pimpinan KPK sebelumnya yang akan melakukan upaya hukum luar biasa untuk mengusut kasus ini. Menurutnya, upaya itu dihentikan oleh Firli dkk.

“Padahal Temenggung dinyatakan bersalah di PN dan PT, tapi dilepas karena adanya perbedaan tafsir hukum di antara para hakim agung kasus dimaksud,” ujarnya.

Sebagai informasi, Sjamsul dan Itjih ditetapkan KPK sebagai tersangka pada Senin (10/6/2019). Saat itu, pimpinan KPK Saut Situmorang mengatakan, total kerugian negara akibat perbuatan Sjamsul Nursalim dan istri diduga mencapai Rp 4,58 triliun.

Sjamsul Nursalim dan istri disangkakan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

BLBI merupakan skema pinjaman yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas saat krisis moneter 1998. Skema ini dilakukan berdasarkan perjanjian Indonesia dengan IMF dalam mengatasi masalah krisis. Pada Desember 1998, BI menyalurkan BLBI sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank.

Salah satu bank yang mendapat suntikan dana adalah Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI). Nah, Sjamsul adalah pemegang saham pengendali BDNI.

Kini kasus tersebut telah disetop oleh KPK. Salah satu alasannya adalah agar ada kepastian hukum setelah penyelenggara negara dalam kasus ini, Syafruddin Arsyad Temenggung, divonis lepas oleh Mahkamah Agung. Syafruddin sendiri merupakan mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). 

“Dengan mengingat ketentuan Pasal 11 UU KPK ‘Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara, KPK berkesimpulan syarat adanya perbuatan penyelenggara negara dalam perkara tersebut tidak terpenuhi sedangkan tersangka SN dan ISN berkapasitas sebagai orang yang turut serta melakukan perbuatan bersama-sama dengan SAT selaku penyelenggara negara, maka KPK memutuskan untuk menghentikan penyidikan perkara atas nama tersangka SN dan ISN tersebut,” ucap Wakil Ketua KPK Alexander Marwata.

KPK mengatakan penyelidikan kasus ini dilakukan sejak Agustus 2013. Saut juga mengatakan telah mengirim surat untuk penyidikan lebih lanjut, tapi keduanya tidak pernah datang untuk memenuhi panggilan KPK. *(JM)

Exit mobile version