“Saya tidak mau lihat seperti ini lagi. Kalau seperti ini lagi, saya pindahkan semua ke Papua. Saya enggak bisa pecat orang kalau enggak ada salah, tapi saya bisa pindahkan ke Papua. Jadi tolong yang peka,” kata Bu Risma.
Bu Risma, entah sadar atau tidak, telah menempatkan Papua sebagai tempat buangan bagi abdi negara yang tak becus dan malas dalam pengabdian. Bu Risma, ibu perlu ingat! Papua dulu memang tempat buangan, tapi sekarang tidak! Jangan salah sangkah, Bu!
Papua Tempat Buangan?
Saya yakin pernyataan Bu Risma itu tak disadari oleh si penutur. Bu Risma tak sadar telah menyinggung orang Papua. Barangkali juga pernyataan itu lahir dari alam bawah sadar si penutur yang memang selama ini memikirkan Papua sebagai tempat kelas dua di negara merdeka Indonesia ini. Itu makanya, beliau, tanpa sadar, mengucapkan kata-kata rasis itu.
Mengapa harus ke Papua? Jawaban paling gampang adalah karena Papua itu di pelosok, jauh dari ibu kota, karena itu masih udik dan masih jauh dari kata modern dan maju.
Tapi saya kok yakin juga bahwa perintah yang diucapkan dalam nada tinggi “saya pindahkan ke Papua” itu lahir dari dalam alam bawah sadarnya karena itu ia jujur apa adanya mengucapkan itu. Dalam kepalanya sudah ada gambaran bahwa Papua adalah “tempat buangan” bagi mereka yang dianggap buruk secara performa.
Bu Risma, entah sadar atau tidak ketika menyebut itu, sudah melukai hati banyak orang Papua karena ia menganggap Papua hanya sebagai tempat buangan para abdi negara yang berkualitas rendah.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menganggap pernyataan Bu Risma itu sebagai pernyataan yang rasialis dan karenanya juga merendahkan martabat orang Papua.
“Disadari atau tidak, pernyataan itu mengandung sebuah rasisme, merendahkan martabat orang Papua,” ujar Usman seperti dilansir dari Kompas.com (14/7).
Natalis Pigai, salah satu aktivis HAM yang kritis terhadap pemerintah, menilai pernyataan Bu Risma itu bernada rasis.
“Harap maklum kalau orang Papua benci suku orang JAwa sampai OPM ancam bunuh orang Jawa di Papua. Rasisme sistematis terus berlangsung dan otak-otak rasis ini masih dipelihara, beri jabatan, dan kekuasaan. Sementara Jokowi selalu diam atau dia juga pendukung rasisme, entahlah,” ujar Natalis seperti dilansir dari lama VIVA (14/7).
Sebagai pejabat negara sekelas Menteri, Bu Risma seharusnya sadar akan sejarah bangsa, peka akan hal ikhwal yang dapat memicu konflik horizontal maupun vertikal yang berpautan dengan Papua.
Papua itu bukan saja sebuah provinsi, lebih dari pada itu, merupakan suatu lembar sejarah yang mencatat tentang sejarah pembuangan para tokoh nasionalis dan juga mereka yang dianggap berseberangan dengan pemerintah.
Boven Digoel: Sejarah Pembuangan Di Tanah Papua
Boven Digoel, tepatnya di hulu sungai Digoel merupakan sebuah tempat yang berpautan dengan sejarah bangsa Indonesia. Para tokoh bangsa seperti Bung Hatta dan Sutan Sjahrir, mantan Wakil Presiden dan Perdana Menteri Republik Indonesia itu, pernah dibuang di tempat yang berjarak 410 KM dari Merauke.
Omong-omong, mereka dibuang bukan karena kualitasnya sebagai “pembangkang” rendah dan malas-malasan, ya, Bu Risma, tetapi karena begitu hebatnya mereka mengeritik pemerintah kolonial pada waktu itu.
Bung Hatta, misalnya, dibuang ke Digoel karena dianggap berbahaya bahkan sudah sejak ia berada di Belanda. Pledoi Hatta pada 22 Maret 1928 yang mahsur itu “Indonesia Merdeka” dianggap sebagai ancaman nyata bagi pemerintah kolonial.
“Yang Mulia, lebih baik Indonesia tenggelam ke dasar lautan dari pada menjadi embel-embel bangsa lain,” tulis Hatta. Sontak Bung Hatta masuk dalam daftar hitam yang harus diasingkan.
Digoel sebelumnya menjadi kamp pembuangan merupakan belantara hutan. Sama sekali tak layak untuk dihuni manusia. Itu makanya pada 18 November 1926 para petinggi Dewan Hindia Belanda di Batavia memutuskan untuk membangun suatu tempat pembuangan di hulu sungai Digoel bagi para komunis yang memberontak pada 1926, para nasionalis yang dianggap mengancam legitimasi pemerintahan kolonial, dan aktivis pergerakan kemerdekaan.
Pada tahun 1927 di bawah Gubernur Jenderal De Graeff dibangunlah suatu kamp tahanan yang dikelilingi oleh hutan belantara dan sungai sepanjang 525 KM. Setidaknya sebanyak 1038 orang tahanan alias buangan pernah menghuni dan mengalami peliknya hidup di Digoel.
Begitulah Bu Risma gambaran singkatnya tentang Digoel sebagai tempat pembuangan mereka yang tak sesuai dengan maunya pemerintah. Tentu saja itu terjadi di waktu lampau, waktu ketika Indonesia belum merdeka.
Minta Maaf.
Saya tetap menganggap Bu Risma tak paham apa yang diucapkannya. Dia tak paham sejarah panjang tentang rasisme terhadap suku bangsa Papua. Dia juga sama sekali tak paham, mungkin tak pernah mengetahui, kalau Digoel itu merupakan tempat pembuangan para tahanan politik.
Untuk ketidaktahuan itu permohonan maaf adalah cara paling tepat. Di Jepang atau Inggris kejadian seperti itu bakal berujung pengunduran diri dari jabatan. Menteri sekalipun. Tapi inikan Indonesia, tak perlu mengundurkan diri, cukup minta maaf saja.
Oleh : A. Zany