FGD PP PMKRI – Foto: Julwandry |
Presidium Hubungan Luar Negeri Pengurus Pusat PMKRI, Julwandri Munte mengatakan, fokus group diskusi tersebut dibuat untuk memahami gaya kampanye Trump dan mengkaji bagaimana kondisi faktualnya, sehingga kebijakan proteksionis sangat laku dalam jualan kampanye Trump di negeri Paman Sam itu.
Terpilihnya Donal Trump sebagai presiden memang luput dari prediksi para ahli dan tokoh intelektual. Hal tersebut menurut Munthe, disebabkan oleh pengerjaan politik sejak awal yang masih mengikuti tradisi dan sejarah dimana konfigurasi politiknya sama, partai Republik dengan partai Demokrat.
“Tujuannya memang sama, yaitu bagaimana mempertahankan hegemoni sebagai negara superpower. Namun formulasi dan jualan kampanyenya jelas berbeda”, ujar Julwanri.
Salah satu contoh menurut Julwandry adalah, Hillary Clinton dalam mengimbangi kekuatan Tiongkok menawarkan Trans Pacific Partnership (TPP). Dengan mempertebal akses perdagangan ke negara-negara pasifik sebagai pengekspor terbesar, hal ini dinilai tidak ada greget.
Sementara itu, aktivis 98 Jim Lomen Sihombing yang juga menjadi pemateri dalam diskusi tersebut mengatakan bahwa keberhasilan Trump dalam Pilpres hendak menegaskan siapa Amerika yang sebenarnya. Trump, kata dia, menampilkan fakta politik yang terjadi di Amerika yang sesungguhnya.
“Trump secara jujur menyatakan “trade war” perang dagang. Trump dalam kampanyenya ternyata lebih jujur dengan kondisi bangsanya. Masuknya barang-barang dari Meksiko, Kanada dan Tiongkok membuat banyaknya pabrik-pabrik tutup di AS, dan Trump secara tegas menolak pasar bebas dalam kampanyenya,” ujar Jim.
Karena itu, menurut Jim, kebijakan memproteksi dan menghidupkan kembali pabrik tersebut dengan menaikkan tarif impor menjadi penting. Selain itu, Jim menilai, di beberapa negara bagian juga semakin tinggi tingkat pengangguran, dan beban anggaran yang semakin berat untuk hal tersebut. Kondisi tersebut yang dipakai Trump untuk menghipnotis rasionalitas warga Amerika.
“Kita melihat proses demokrasi di AS berbeda dengan indonesia, sistem electoral college menuntut kandidat lebih jeli dengan strategi dan muatan kampanye. Karakteristik masyarakatnya jelas berbeda, dan mereka menginginkan negara hadir dan memproteksi, dan itu prioritas.” Katanya.* (Julwandry Munthe)