Beranda Update Antara Relawan Fiktif Vs Relawan Militan

Antara Relawan Fiktif Vs Relawan Militan

0
Ket.  Paulus Gemma Galgani (Foto. Istimewa)

Oleh: Paulus Gemma Galgani*

Perhelatan Pemilihan umum Presiden
pada tahun 2019 tinggal beberapa bulan lagi akan dirayakan. Menuju momentum ini,
ada hal yang sedang dipersiapkan oleh masing-masing pihak baik oposisi maupun koalisi dengan membangun strategi politik
untuk mengambil simpati rakyat Indonesia. Berbagai strategi yang dilakukan oleh
kedua belah pihak dari tim Capres dan Cawapres ini tentunya dirancang secara
matang dengan berbagai pertimbangan serta ketangkasan partai pendukung dalam
menjaga suara para konstituennya.
Realitas Pemilihan umum Presiden
sejak era reformasi, yang menjadi lawan tangguh dari Capres oposisi adalah Capres
dari pihak penguasa. Sebab itu, kerja keras dan komitmen yang tinggi harus
dilakukan Capres dari pihak oposisi untuk dapat memenangkan pemilu pada bulan
April 2019 mendatang. Pertarungan Pilpres 2019 ibarat bermain sepak bola, tim yang
memiliki strategi dan daya juang yang lebih mumpuni, maka akan menjadi pemenang
dalam kontestasi politik di Pilpres 2019 mendatang.

Menuju pesta demokrasi ini tentunya
Capres dari masing-masing kubu tidak dapat bekerja sendiri. Oleh karena itu
sangat diperlukan peran serta dari relawan untuk masing-masing tim pemenangan Capres/Cawapres.
Di dalam pemilihan Ketua Koordinator relawan, harus dapat melihat secara jeli
dan penuh dengan pertimbangan serta kesiapan menerima kemungkinan dan resiko terburuk
sekalipun.

Ketua koordinator relawan ini menjadi
titik sentral karena ia harus menjadi komunikator antara Capres/Cawapres yang
diusung dengan tim relawan yang ada di lapangan. Kecerdasan memanajemen emosi, memiliki
militansi serta kesanggupan dalam mengeksekusi tim relawan untuk berkampanye di
lapangan merupakan modal dasar dari Ketua Koordinator relawan.

Fenomena yang dihadapi saat Pilpres,
tim dari pihak petahana biasanya terlihat sudah militansi dan kekompakan antara
tim relawan-relawan. Hal seperti ini akan menyulitkan dari pihak Capres
oposisi, karena harus memiliki kemampuan dan strategi jitu untuk dapat
mengimbangi kekuatan dari pihak petahana. 
Namun kenyataan yang terjadi adalah
posisi terbalik dimana tim dari pihak Capres oposisilah yang memiliki militansi
dan kekompakan yang timbul dari hati masing-masing relawan-relawan yang setia.

Contoh yang baru saja terjadi adalah
Reuni Aksi 212, pantauan dari pihak keamanan TNI dan POLRI saat meninjau
jalanan yang akan dilalui oleh peserta aksi. Hasil pantauannya sangat
mengejutkan, massa mulai berbondong-bondong untuk datang ke Monas dari berbagai
daerah.

Pantauan dari pihak keamanan melihat
bahwa ini diindikasikan bukan massa bayaran tetapi lebih dari itu, mereka
begitu militan dan antusias untuk mengikuti Aksi 212 tersebut. Dari hasil
penyelidikan pihak keamanan mereka dengan sukarela menggunakan dana pribadi
untuk dapat mengikuti aksi tersebut. 
Temuan yang mengejutkan lagi adalah
mereka yang ikut aksi tersebut tidak hanya dari golongan masyarakat kelas
bawah, tetapi golongan masyarakat kelas atas yang meliputi akademisi, politisi,
dan orang yang telah mapan secara ekonomi lainnya.

Strategi yang digunakan pihak Capres
oposisi ini sangat efektif dan massif. Sehingga kesadaran yang timbul adalah
benar-benar dari hati pendukungnya. Dalam hal ini pihak Capres penguasa
kecolongan dan ketinggalan jauh dari strategi yang dimainkan oleh pihak
oposisi.
Fakta dilapangan menemukan
hasil-hasil survey yang beredar selama ini di media pihak dari Capres penguasa
masih jauh diatas ternyata fiktif. Banyak temuan yang menunjukkan yang tidak dipublish
ke media bahwa kondisi tim pemenangan nomor urut 01 saat ini mengkhawatirkan
bahkan sangat memperihatinkan.
Fenomena yang terjadi dengan tim
pemenangan nasional maupun relawan-relawan setia dari nomor urut 01 terlalu menganggap
remeh dan mengklaim diri sudah menang telak, tetapi itu hanya imajinasi semu belaka. Fakta di lapangan yang ditemukan
bahwa tim dan relawan ini hanya “jago kandang”. Sibuk dengan perdebatan di
internal tim pemenangan akhirnya lupa bahwa tim dari pihak oposisi telah jauh
bergerak.
Relawan dari nomor urut 01 ini jika
diibaratkan seperti seorang pawang memberi makan daging di kandang sapi,
seharusnya memberi makan daging di kandang macan. Artinya, salah tempat dan
lupa diri dan merasa diri di pihak penguasa dengan hati yang penuh kesombongan
akan dapat memenangkan pertarungan di Pilpres dengan mudah. Itu semua fiktif
belaka, kenyataan sekarang tim dari Capres oposisi nomor urut 02 jauh lebih
militan dan massif sehingga kemenangan akan diraih dengan mudah oleh tim ini.
Mengutip pernyataan Prof. Sahetaphy, Pakar
Hukum Pidana, mengatakan bahwa “kesombongan itu merupakan suatu pertanda, kejatuhanmu
sudah dekat”. Konteks ini jika merujuk pada kondisi tim Capres Petahana adalah
sebuah kesombongan dan larut dalam imajinasi semu yang dipelihara hingga klaim
kemenangan begitu massif terdengar tanpa melihat pergerakan pihak oposisi yang
kian gencar melakukan konsolidasi massa hingga ke akar rumput.  
Hal ini jika tidak dianggap ancaman bagi
pihak koalisi karena masih bermain di arus kenyamanan kekuasaan dan lupa mengkonsolidir
kekuatan maka pintu kekalahan semakin lebar terbuka. Lebih daripada itu, cara
dan strategi yang dibangun oleh kedua buku adalah konsekuensi logis dari roh demokrasi
itu sendiri. Di lain hal, pesta demokrasi adalah pesta rakyat. Di tangan rakyatlah
pemimpin itu lahir, maka saat ini yang menjadi keutamaan adalah setiap tim
kemenangan harus membangun arah politik yang bermartabat demi kebaikan dan
keutuhan bersama negara bangsa Indonesia.
Rakyat harus diberi pemahaman politik
yang baik guna menghindari money politik, politisasi isu SARA dan lainnya yang
dapat mencederai keutuhan bangsa. Kita harus menyadari bahwa demokrasi di
negara kita sedang menuju kesadaran dan kematangan. Oleh karena itu biarkan
pesta demokrasi di letakan pada pilihan rakyat yang cerdas dalam menentukan
siapa yang layak memimpin Indonesia di tahun-tahun yang akan datang. Biarkan rakyat
yang menilai kelayakan seorang Capres/Cawapres dalam membangun Indonesia dan
Ke-Indonesiaan yang lebih baik.
Sebab jika pilihan rakyat dicederai
dengan tekanan dan intervensi pihak yang berkepetingan maka di sini letak awal
kehancuran demokrasi dan akan berefek pada masa depan bangsa yang dinahkodai oleh
seorang pempimpin yang lahir dari kepentingan pribadi.

Kita sudah keluar dari kubangan kelam
masa Orde Baru, biarkan masa otoritarian itu menjadi kado dan pembelajaran yang
berharga bagi bangsa kita. Maka demokrasi di era reformasi harus menjawab kisah
kelam bangsa dengan menyerahkan segalanya di tangan rakyat. Biarkan rakyat
menjadi punggawa gawang keadaban demokrasi kita.

*Penulis adalah Pengurus Pusat PMKRI Periode 2018-2020.

Exit mobile version