Jakarta, Verbivora.com – Transisi demokrasi Sikka, Flores, NTT, telah melahirkan sebuah babak baru dalam arena politik, yaitu pertarung popularitas bukan gagasan. Politik, kini telah menjadi rana adu narsis bukan adu isi kepala.
Harold D. Lasswell memberikan definisi klasik tentang politik, siapa mendapatkan apa, di mana dan bagaimana. Sederhananya, politik adalah ruang adu narasi, negosiasi dan lobi untuk mendapatkan sesuatu. Sering kali bersifat kekuasaan, pengaruh atau kekayaan.
Akhir dari politik ini ibarat sebuah permainan, ada yang menang besar, menang sebagian, kalah, dan hancur. Setiap pemain ingin menjadi pemenang, sehingga wajar untuk memenangkan permainan ini mereka akan melakukan berbagai siasat.
Dalam era masyarakat yang terkena dampak arus posmodern, globalisasi dan dunia digital, ada sebuah siasat politik baru yang menjadi senjata andalan para pemain politik, melalui permainan persepsi dan rekayasa pencitraan.
Perlu saya tekankan, penggunaan diksi permainan dan rekayasa bukanlah dalam konteks negatif. Saya justru menempatkan diksi ini sebagai bentuk ekspresi, bahwa saya melihat antara persepsi dan pencitraan bisa dikonstruksi sedemikian rupa.
Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif 2014 memberikan indikasi, bahwa permainan persepsi dan pencitraan kini tengah menanjak dan saya prediksi akan mencapai puncaknya pada pemilu 2024 nanti. Artinya, menjadi tantangan bagi pemain di arena politik Sikka untuk menguasai dua instrumen ini, untuk bisa mendapatkan lebih banyak pemilih.
Persepsi adalah cara pandang sekelompok orang, berdasar pada lintas opini dan pikiran yang mengendap dalam benak mereka. Lintasan opini dan pikiran ini dibangun oleh pemberitaan yang berulang, sebaran mouth-to-mouth di warung kopi dan juga hasil refleksi pribadi terhadap lintasan yang ada.
Menimbang, mayoritas masyarakat Sikka bisa mengakses televisi, maka persepsi ini akan terbangun dengan televisi sebagai media utama.
Michael Baumann pada tahun 1960 mengistilahkan telepolitics untuk menggambarkan fenomena ini. Mereka yang menguasai televisi akan mendominasi opini publik, sehingga kita sama-sama melihat, saat ini para politisi berlomba-lomba untuk dapat berada di layar televisi guna memperkenalkan dirinya kepada khalayak ramai.
Namun, perlu dicatat bahwa opini yang terbangun melalui televisi tidak selalu positif, bisa jadi semakin banyak muncul di televisi semakin turun pula elektabilitas seseorang. Hal ini bisa disebabkan oleh kurang disukainya karakter seseorang atau memang ada upaya demarketisasi secara sistemik dari industri media televisi tertentu.
Berbeda dengan persepsi, pencitraan adalah rekayasa yang dibangun secara sadar, bersifat aktif dan konstruktif. Artinya, citra perlu dibangun. Seseorang yang bekerja dengan keras dan giat, apabila tidak disampaikan ke publik, maka publik tidak akan mengetahui jerih payah yang bersangkutan.
Begitu juga dengan partai politik yang ingin melebarkan segmen pemilih, perlu membangun citra sedemikian rupa. Rekayasa pencitraan ini sangat berkaitan dengan simbol, publikasi kegiatan, diksi atau jargon yang diulang-ulang, gestur tubuh dan kemampuan membangun viral publik.
Menariknya, antara persepsi dan pencitraan ini saling berkaitan, meskipun pada akhirnya selera publik menjadi penentu terakhir. Bagaimana karakter selera publik? saya memperhatikan, bahwa publik selalu ingin yang baru, berbeda atau anti-tesis dari karakter yang ada saat ini.
Artinya, publik selalu haus perubahan. Dalam konteks pemilu, publik mencari sosok yang berbeda dari sosok yang memimpin Indonesia saat ini. Pola semacam ini setidaknya sudah berlangsung sejak pemilu 2004.
Alex Longginus memiliki karakter segar, terlihat bisa memimpin, punya gagasan atau cerdas, punya karakter high–profile yang memungkinkan untuk menjadi wajah Sikka di luar daerah dan punya tampang sebagai bupati.
Namun seiring waktu, setelah lima tahun memimpin, publik menilai bahwa karakter tersebut ternyata tidak cukup. Mereka mencari karakter yang sebaliknya yaitu low-profile, merakyat, tidak perlu terlalu cerdas asal bisa merangkul dan mengayomi serta seorang eksekutor bukan konseptor.
Membangun persepsi publik dan merekayasa pencitraan diri tidaklah bisa dijalankan dalam satu tahun saja. Perlu ada upaya sistematis dan terukur untuk bisa mencapai hasil yang diharapkan.
Setidaknya, kita bisa melihat bahwa mereka yang kini memiliki peluang terbesar untuk menjadi bupati adalah mereka yang telah mendaki tangga persepsi dan pencitraan lebih dari tiga tahun secara konsisten, kini mereka menuai hasilnya.
Transisi demokrasi Sikka telah membawa publik daerah ini ke arena politik populis. Apakah populis itu buruk? Saya merasa belum layak secara keilmuan untuk menilai, tetapi setidaknya para pakar dunia menilai bahwa pemimpin populis memberikan kesempatan meningkatnya rasa nasionalis publik.
Bisa jadi, untuk saat ini Sikka lebih membutuhkan gelora nasionalisme ketimbang tumpukan wacana gagasan. *(AR)
Antonius Yano Dede Keytimu: Wakil Presidium Germas PMKRI Cabang Maumere Periode 2021/2022.
