Anies dan Polemik “Pribumi”

JAKARTA-verbivora.com – Baru sehari menjabat Gubernur DKI Jakarta, Anies Rasyid Baswedan menuai kecaman dan kritikan. Ia dibully habis-habisan oleh warganet. Kecaman dan kritikan itu muncul lantaran dalam pidatonya menggunakan diksi “pribumi ditindas”.

Gubernur DKI Jakarta ANies Baswedan saat menyampaikan pidato usai serah terima jabatan di Balai Kota
Gubernur DKI Jakarta ANies Baswedan saat menyampaikan pidato usai serah terima jabatan di Balai Kota – Foto : Andy Tandang

Warganet menilai, isi pidato yang disampaikan usai serah terima jabatan  di Balai Kota DKI Jakarta, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Senin (16/10/2017) tersebut, merupakan sentiment negatif kepada non-pribumi yang bisa memicu terjadinya gejolak sosial.

Tak hanya warganet, kritikan yang sama datang dari Pengamat Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Pangi Syarwi Chaniago. Pangi menilai, bahasa yang digunakan Anies seharusnya lebih memberikan kesejukan bagi warga Jakarta yang hidup dari beragam latar belakang. Bukan sebaliknya, menciptakan kosa kata yang bias memicu sentiment liar warga.

“Sangat disesali, sangat disayangkan, karena seharusnya dia mengucapkan bahasa yang lebih bermakna persatuan,” ungkap pria kelahiran Sumatera Barat ini saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, Selasa (17/10).

Di sisi lain, alumnus ilmu politik Universitas Indonesia itu, mengkritik penggunaan diksi pribumi dan non pribumi yang dinilai tidak relevan karena sudah tidak memiliki makna yang mutlak di masa sekarang ini.
Menurutnya, tugas seorang pemimpin sejatinya merajut kebersamaan, bukan justru menerbitkan perseteruan.

“Makna pribumi itu sudah bias. Dia sendiri juga belum tentu pribumi, dia kan keturunan Arab. Jadi pribumi yang dimaksud itu siapa?” kata Pangi. “Diksi itu berbahaya,” lanjutnya.

Berbeda dengan Pangi, Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera Hidayat Nur Wahid justru membela pidato politik mantan menteri Pendidikan itu. Menurut Hidayat, pernyataan Anies yang menyinggung soal pribumi tadi malam, bukan pertama kalinya diucapkan seorang pejabat atau tokoh nasional.

Hidayat menyentil dua nama tokoh yakni Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri yang menurutnya pernah menggunakan diksi pribumi dan non pribumi di dalam pidatonya.

“Jadi mestinya permasalahan seperti ini dudukan dan diproporsionalkan. Ditanyakan pada Pak Anies apa yang dimaksudkan. Tapi menurut saya melihat dari pada keseluruhan semangat yang dibangun tentu bukan untuk melakukan dikotomi antara yang disebut pribumi maupun yang bukan pribumi,” kata Hidayat di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (17/10).

Jebolan doctor dari Arab Saudi itu menilai, pernyataan Anies tidak bermaksud memecah-belah, sebaliknya pidato itu secara keseluruhan membawa semangat untuk rekonsiliasi usai Pilkada DKI Jakarta.

Pribumi vs Non Pribumi; Istilah yang telah lama ditinggalkan

Walau bisa dipahami konteks penggunaan kata ‘Pribumi’ itu, namun pidato Anies bertentangan dengan Instruksi Presiden nomor 26 tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Nonpribumi.

Secara historis, istilah “nonpribumi” yang diasosiasikan dengan warga keturunan Tionghoa memuncak pada tragedi Mei 1998. Dalam laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kerusuhan Mei 1998 menunjukkan bahwa kemarahan terhadap warga etnis Tionghoa muncul karena prasangka rasial terhadap etnis tersebut yang menjelma jadi stigma.

Laporan TGPF itu menyatakan terdapat pola yang sama baik dari perencanaan sampai eksekusi kerusuhan yang terjadi di beberapa kota khususnya di Jakarta. Namun laporan itu juga memperingatkan, agar hati-hati dalam menyimpulkan bahwa ada konspirasi nasional yang telah direncanakan dengan baik di balik aksi kekerasan pada Mei 1998.

Temuan tim juga menunjukkan bahwa korban material dalam kerusuhan ini bersifat lintas kelas sosial, tidak hanya menimpa etnis Tionghoa, tetapi juga warga lainnya. Namun yang paling banyak menderita kerugian material adalah warga dari etnis Tionghoa, yang dulu populer dengan sebutan “Cina”.

Pada masa Orde Baru, beberapa peraturan memang cenderung diskriminatif terhadap etnis Tionghoa. Salah satunya adalah Instruksi Presiden No. 14/1967. Inpres tentang Agama Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina itu ditandatangani Presiden Soeharto pada 9 Desember 1967.

Isinya menyatakan bahwa keleluasaan memeluk agama dan menunaikan ibadat, tata-cara ibadah Cina yang memiliki aspek affinitas culturil yang berpusat pada negeri leluhurnya, harus dibatasi hanya di lingkungan keluarga atau perorangan.

Pasal kedua dalam Inpres itu dengan terang menyebut, “Perayaan-perayaan pesta agama dan adat istiadat Cina dilakukan secara tidak menyolok di depan umum, melainkan dilakukan dalam lingkungan keluarga.”
Tragedi pada 1998 itu, direspons dengan Instruksi Presiden No. 26/1998 oleh Presiden RI saat itu, B.J. Habibie.

Isinya menegaskan penghentian penggunaan istilah pribumi dan nonpribumi dalam semua perumusan dan penyelenggaraan kebijakan, perencanaan program, ataupun pelaksanaan kegiatan pemerintahan.

Inpres No. 14/1967 pada era Soeharto pun dicabut pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), melalui Keputusan Presiden No. 6/2000. Dalam pertimbangannya disebutkan, “penyelenggaraan kegiatan agama, kepercayaan, dan adat istiadat, pada hakekatnya merupakan bagian tidak terpisahkan dari hak asasi manusia”.

Namun penggunaan istilah Cina dinilai telanjur menimbulkan dampak psikososial-diskriminatif terhadap warga bangsa Indonesia dari keturunan Tionghoa. Pada 2014, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menerbitkan Keputusan Presiden No. 12/2014 yang mengembalikan penggunaan istilah Tionghoa dan Tiongkok.

Keputusan Presiden ke-6 RI itu mencabut Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/Pred.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967. Surat edaran lama itu berisi penggunaan istilah “Tjina” (Cina) untuk menggantikan “Tionghoa/Tiongkok”.

Dengan berlakunya Keppres yang ditandatangani pada 14 Maret 2014, dalam semua kegiatan penyelenggaraan pemerintahan, penggunaan istilah orang atau komunitas Tjina/China/Cina diubah menjadi orang dan/atau komunitas Tionghoa. Untuk penyebutan negara Republik Rakyat Cina, diubah menjadi Republik Rakyat Tiongkok.

Presiden SBY menilai, pandangan dan perlakuan diskriminatif terhadap seorang, kelompok, komunitas dan/atau ras tertentu, pada dasarnya melanggar nilai, prinsip perlindungan hak asasi manusia.

“Karena itu, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis,” bunyi pertimbangan butir b Keppres tersebut. (AT)

RELATED ARTICLES

Most Popular