Kapolri Jenderal Tito Karnavian – Foto: Andy Tandang |
Saat itu, mantan Kabareskrim Mabes Polri itu menilai pembentukan Densus Tipikor sangatlah tidak relevan. Sebab, di dalam institusi Polri sendiri sudah memiliki Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Dittipidkor) Barekrim Polri.
Daripada menghabiskan anggaran negara, mantan ajudan Presiden Abdurahman Wahid tersebut, lebih memilih meningkatkan kemampuan personel, alat dan anggaran satuan yang sudah ada.
“Kita enggak usah berpikir lembaganya, lembaga yang sudah ada kita tingkatkan kemampuannya,” tegas Sutarman saat itu seperti yang dilansir Gatranews, Selasa, (12/11/2013).
Salah satu upaya yang dilakukannya saat itu adalah dengan memberikan pelatihan teknis penyidik tindak pidana korupsi. Pelatihan tersebut dinilai lebih efektif dalam meningkatkan kemampuan para penyidiknya.
Wacana tersebut meredup selama hampir empat tahun. Pada tanggal 23 Mei 2017, dalam sebuah Rapat Kerja Kapolri dengan Komisi III DPR, Jenderal Tito Karnavian kembali menghembuskan wacana ini.
Pembentukan Densus Tipikor ini diusulkan bermula ketika Tito mengeluhkan anggaran Dittipidkor Bareskrim yang sangat rendah dibandingkan KPK. Hal ini menurutnya, berdampak pada proses penanganan kasus yang tidak maksimal.
Selain karena penangan kasus korupsi yang ada di institusi Polri ini masih dianggap belum maksimal, Tito juga menilai tidak semua kasus bisa ditangani KPK. Menurutnya, institusi anti rasuah itu memiliki keterbatasan sumber daya manusia.
“Sekarang kita lagi menyusun, intinya kita bukan ingin menyaingi KPK, tidak. KPK jumlahnya terbatas, berapa kan 1.000 paling. Penyidiknya juga 150 paling, penyelidik sekitar segitu. Jadi yang bisa ditangkap kasus-kasus besar,” ujar Tito, dilansir detik.news, pada Juli lalu.
Selama ini memang KPK sangat gencar membongkar kasus-kasus besar di Indonesia. Namun, menurut Tito, dampaknya tidak begitu massif. Bahkan ia menunjukkan banyaknya SDM yang dimiliki polisi dalam memberantas kasus korupsi.
“Kami sampaikan, Polri ini mesin raksasa jumlahnya 423 ribu orang. Punya 33 Polda, hampir 500 polres. Kita ambil contoh sembako saja, begitu sembako bersama dengan Mentan, Mendag, dan KPPU, kemudian saya tekan para Kapolda 33 membentuk satgas masing-masing bergerak di dinas pertanian,” kata Tito.
Cari Panggung Jelang Pilpres
Hingga saat ini, wacana pembentukan Densus Tipikor menuai pro dan kontra. Gebrakan Tito dinilai syarat muatan politik. Hendri Satrio, Pengamat politik dari Universitas Indonesia angkat bicara soal ini. Menurut Hendri, Densus Tipikor merupakan upaya Tito mencari panggung politik jelang Pemilihan Presiden 2019.
Bahkan ia menilai, Tito hanya mengambil manfaat pemberantasan korupsi yang memberi citra positif seperti yang selama ini KPK dapatkan. Apresiasi publik terhadap pemberantasan korupsi, kata Hendri, dianggap lebih menjanjikan dibandingkan dengan pemberantasan terorisme atau narkotik.
“Tito berusaha cari panggung lebih populer. Coba ada OTT (Operasi Tangkap Tangan) KPK, disanjung betul oleh masyarakat. Nah, kemudian Polisi juga ingin seperti itu. Kalau tangkap korupsi disanjung masyarakat,” jelas Hendri, saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, Senin (16/10).
Hendri mengusulkan, program ini sebaiknya dihentikan. Selain karena Polri telah memiliki Dittipidkor Bareskrim, tetapi juga untuk menghormati pernyataan Presiden Joko Widodo di sidang Tahunan MPR 2017. Dalam kesempatan tersebut, Jokowi mengatakan setiap lembaga negara harus saling kerja sama, saling mengingatkan, saling kontrol, saling mengimbangi, saling melengkapi, tidak memperlemah tugas dan tanggung jawab konstitusional yang dijalankan oleh setiap lembaga negara.
Mosi Tidak Percaya DPR terhadap KPK
Selain disebut ditunggangi kepentingan politik jelang Pilpres, wacana Densus Tipikor dinilai sebagai bentuk pernyataan mosi tidak percaya secara tidak langsung dari DPR terhadap KPK. Komentar ini datang dari pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro.
DPR, kata Siti, mencoba memanfaatkan ego sektoral yang ada di antara lembaga penegak hukum (Kepolisian dan Kejaksaan) terhadap KPK untuk menyampaikan mosi tidak percaya itu. Ego sektoral ini sendiri muncul karena amanat perundangan yang membentuk KPK dengan mengambil personel Polri dan Kejaksaan Agung.
“Nah unek-unek itu gayung bersambut dengan apa yang dirasakan oleh DPR, sehingga muncul rekomendasi Densus Tipikor,” kata Siti.
Seperti dikabarkan sebelumnya, Pemerintah sendiri beda sikap soal rencana pembentukan Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi ini. Wakil Presiden Jusuf Kalla bahkan berbeda sikap dengan Presiden Joko Widodo terkait unit khusus antikorupsi yang diperkirakan memakan biaya sebesar Rp 2,6 triliun itu.
JK menilai tidak perlu lagi dibentuk lembaga pemberantasan korupsi lainnya, melainkan cukup memaksimalkan kerja KPK, Kepolisian dan Kejaksaan.
“Jadi cukup biar KPK dulu, toh sebenarnya polisi, kejaksaan juga masih bisa menjalankan tugas. Tidak berarti perlu ada tim baru untuk melakukan itu, tim yang ada sekarang juga bisa. Difokuskan dulu KPK, dan KPK dibantu sambil bekerja secara baik,” kata JK, di Jakarta seperti dikutip Antara, Selasa (17/10/2017).* (AT)