Jakarta, Verbivora.com – Seperti anda tahu, ada pertandingan sepak bola antara Arema FC dengan Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan Malang, Sabtu (1/10/2022). Arema kalah. Ini kekalahan pertama mereka dari Persebaya di kandang sendiri setelah 23 tahun.
Hasil yang tidak menggembirakan ini, lantas menyulut amarah dari para suporter Aremania. Mereka tak puas dan langsung merengsek masuk ke lapangan. Karena kewalahan, aparat keamanan menghadangnya dengan berbagai cara. Ada yang dipukul,
ditendang hingga menembakan gas air mata. Meski gas air mata ini sudah dilarang
penggunaannya oleh Federation International de Football Association (FIFA) dalam menangani kerusuhan suporter sepak bola.
Buntut dari peristiwa yang ada, sejumlah 132 orang meregang nyawa. Belum terhitung yang luka-luka baik ringan maupun berat. Publik tanah air menyebutnya “Tragedi Kanjuruhan” sekaligus bencana kemanusian. Bagi dunia internasional kejadian ini adalah hari gelap bagi sepak bola dunia. Tidak mengherankan, ucapan duka pun datang silih
berganti dan hilir mudik hingga saat ini. Namun tak hanya itu, beragam aksi pengecaman juga banyak dilakukan sebagai bentuk protes dan rasa kecewa. Kepada siapa?
Ada yang melimpahkannya kepada para suporter. Menjustifikasi tragedi yang terjadi tak lepas dari toxic subculture yang ada pada suporter sepak bola Indonesia. Tentu penilaian itu tidaklah sepenuhnya salah. Kita tidak kekurangan contoh jika ingin menyajikannya. Bahwa para suporter ini memiliki daya rusak sebagai gerombolan.
Namun, menyalahkan mereka tidak begitu mendesak. Bagi saya toxit culture tersebut harusnya diarahkan kepada aparat keamanan. Pengendalian massa (Crowd control) oleh aparat keamanan masih sangat buruk. Bahwa ada budaya kekerasan yang sudah
laten tumbuh di tubuh kepolisian. Menganggap massa yang tak terkontrol itu
sebagai musuh yang harus ditaklukan dengan menghalalkan segala cara.
Lamban Berbenah
Anda tentu tahu, Polri adalah anak kandung reformasi dan demokratisasi. Ia dipisahkan
dengan TNI, dikontrol rakyat dan dikendalikan pemerintahan sipil. Demikian, reformasi kepolisian diletakan ditengah kepentingan dan kekuatan masyarakat sipil. Namun, antipati masyarakat terhadap kepolisian terus bermunculan dan tak henti-hentinya. Semuanya bukan tanpa alasan dan sekonyong-konyong timbul begitu saja.
Hal yang paling potensial selalu hadir selama ini adalah munculnya militerisme yang merepresentasikan gaya militer dalam menyikapi beragam persoalan sosial. Implikasi militerisme paling sahih adalah timbulnya sikap otoriter dalam bentuk kekerasan terhadap masyarakat sipil. Berulangkali konflik antara rakyat sipil via a vis Negara berawal dari
ketidakpuasan masyarakat yang kemudian dihadapi dengan cara kekerasan. Kekerasan semacam heroisme tersendiri di lingkungan kepolisian. Apalagi hal ini diperkuat dengan keadaan minimnya penghargaan bagi aparat yang mampu menyelesaikan konflik dengan dialog dibandingkan dengan aksi massa.
Tragedi kanjuruhan, akhirnya terus menambah daftar panjang kegagapan Polri mereformasi diri. Ada kesan kuat bahwa Polri terus bergerak melakukan kontra reformasi dan demokratisasi. Kontras mencatat ada 677 kekerasan yang dilakukan oleh aparat
kepolisian sepanjang Juli 2021-Juni 2022 menyebabkan 928 orang terluka, 59 jiwa meninggal dunia dan 1.240 orang ditangkap (Kompas,30/6).
Jangan heran jika kepercayaan masyarakat Indonesia terus terjun bebas terhadap Institusi Polri. Sebelumnya pada April lalu, tingkat kepercayaan masyarakat kepada Polri sebesar 71,6 persen namun pada Agustus lalu, tingkat kepercayaan itu hanya sebesar 54,2 persen (CNNIndonesia, 3/10)
Apalagi reformasi setengah hati itu dilakukan ditengah anggaran kepolisian yang terus
membengkak. Bahkan tahun ini, Polri memiliki anggaran sebesar Rp 109,7 triliun. Banyak dari uang itu dihabiskan untuk gas air mata, pentung (tongkat) dan masker gas. Demikian juga terjadi ditengah prahara kasus kematian Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J yang sangat menggerus kepercayaan masyarakat terhadap Polri.
Ikhtiar Kapolri Jendral Listyo Sigit membenahi secara serius tubuh polisi ternyata masih menapaki jalan terjal. Tagline yang ia buat memang indah sekali, yaitu Presisi (prediktif, responsibiltas, transparan, bertanggung jawab serta berkeadilan). Namun ternyata tak begitu implementatif. Polri masih lamban berbenah dan masih menyisahkan pekerjaan fundamental yang mendesak diselesaikan, yakni toxit culture.
Konsolidasi Demokrasi
Politik tanpa keamanan adalah anarki. Demikian sebaliknya, sekali keamanan jadi panglima
politik, demokrasi diberangus atas nama ketertiban semata. Negara modern yang
mengusung emansipasi dan liberasi harus memastikan kecendrungan itu dicegah
sedini mungkin. Karena dua ekstrim ini sama daya rusaknya terhadap kedaulatan negara dan hak asasi manusia. Pembangunan manusia dan berjalan lancar sepanjang
demokrasi dan keamanan berkolaborasi dengan baik.
Karena itu, Polisi menjadi bagian penting dalam konsolidasi demokrasi dengan bekerja sesuai koridor Negara Hukum yang tentunya sangat menghormati prinsip due process of law dan penghargaan akan kebebasan. Apalagi peran polisi semakin penting sekarang ini mengingat eskalasi konflik politik bisa berakhir dengan kekerasan massal dan meluas. Jika terjadi, estafet kepemimpinan akan sangat mungkin terganggu dan pembangunan ekonomi bisa terbengkalai.
Oleh: Astra Tandang/Ketua Lembaga LITBANG Pengurus Pusat (PP) PMKRI Periode 2022-2024