Jakarta, verbivora.com – Ekspresi moralitas sebagai kelas memenegah tercerahkan yang selalu memposisikan diri sebagai agen of change, kaum muda tentu tidak pernah luput untuk mengambil peran dalam menggerakan perubahan sosial politik bangsa ini.
Keterlibatan kaum muda bisa diperiksa pada pergerakan awal pembetukan bangsa ini, terlibat sebagai pionir yang menggulingkan rezim otoriter Soeharto, hingga ikut merumuskan agenda-agenda reformasi.
Kaum muda, khususnya para aktivis pergerakan yang menyibukan diri dengan kerja-kerja advokasi intelektual, juga relatif mengambil porsi keberpihakan yang besar pada kelompok-kelompok yang termarjinalkan, tertindas, terpinggirkan atau para korban kekuatan dominan.
Namun, betatapun kontribusi terhadap gerak historis bangsa ini sangatlah besar dan posisi keberpihakan terhadap yang rentan amatlah besar, kaum muda juga tidak luput dari pilihan-pilihan kepentingan yang kadang kontraproduktif.
Tidak jarang juga kaum muda hanyut dalam konfigurasi politik elit hingga menciptakan ketengan-ketengan dengan apa yang sedang dikerjakannya. Disini, sebagai pemuda agen of control tentu mengalami pelemahan.
Hambatan Baru
Hari-hari ini kita merasakan bersama bagaimana agenda-ganeda demokratisasi tidak sepenuhnya terealisasi. Perubahan yang berlangsung tampak tidak terarah, bahkan cendrung ke arah disorientasi. Hal tersebut dipengaruh oleh prkatik pembajakan politik desentralisasi oleh elit baik di lokal maupun di nasional.
Ditambah, struktur oligarkhis isntitusi demokratis yang masih kuat. Selain itu munculnya kesadaran semu partisipasi warga. Keterlibatan warga dalam kontesatsi electoral atau arena election sejauh ini tidak didasari kesadaran yang kritis dan ideologis. Tidak jarang masyarakat hanya sebagai kerumunan massa yang kehilangan kekuatan politik dan hanya menjadi objek mobilisasi atau manipulasi para pemburu kekuasaan.
Karakter-karakter politik ini tentu menjadi hambatan baru bagi kaum muda untuk mengabil peran lebih dalam mengisi reformasi. Meski memang, pada awal-awal separuh dekade demokratisasi, melihat kenyataan ini, kaum muda sebagaiamana dicatat Priyono dkk. (2007) masih “setia dan menahan diri” dan memimilih untuk berjarak dengan kekuasaan atau tidak terlibat langsung dalam politik praktis. Mungkin saja pilihan ini bisa dimaklumi, karena sebagai pilihan tetntaif diawal refromasi yang baru lahir.
Selain itu, dalam pelibatannya pada pristiwa-pristiwa social kebangsaan, tantangan baru juga datang dari dalam tubuh pergerakan kaum muda sendiri. Perapuhan demi perapuhan gerakan terjadi.
Kaum muda terlibat dalam fragmetasi yang cukup tajam. Karenanya, tidakklah mengherankan jika kaum muda saat ini sangat kesulitan untuk menghimpun energy kolektif, merayakan perjumpaan dan terlibat lebih massif dalam mengawal kebijikan-kebijakan negara yang timpang. Hal ini bisa kita saksikan belakangan ini, seperti aksi demonstrasi Gejayan Memanggil yang tidak satupun tuntutannya berhasil meski menghimpun banyak kaum muda.
Dalam keadaan seperti ini, saya melihat ada karakter yang berbeda-beda yang terjadi dalam tubuh pergerakan kaum muda. Pertama, golongan pragmatis. Golongan ini kita bisa temukan pada mahasiwa yang hanya menyibukan dirinya pada orietasi dan kalkulasi ekonomi. Ia haya membajak identitas mahasiswanya hanya untuk mobilisasi vetikal kelasnya.
Situasi ini memang diperparah dengan kenyataan dunia pendidikan hari ini yang kental dipengaruhi kekuatan indsutri kapitalisme. Konsekuensi dari hal tersebut tidak hanya melumpuhkan daya juang kaum muda tetapi membuat kaum muda kehilang orientasi pergerakan untuk terlibat pada yang tertindas dan menciptakan perubahan-perubahan social politik .
Kedua, golongan hedonis. Golongan ini adalah mereka yang tercebur pada kubangan ekspresi gaya hidup modern yang bergerak masif dan menemukan momentumnya paling nyata seiring perubahan ekonomi pasar yang kian bebas. Golongan ini juga erat berkaitan dengan paraktik konsumerisme. Di mana mereka hanya menempatkan diri sebagai pemakai ketimbangan berpikir dan mengambil tindakan sebagai produsen atau penyedia lapangan kerja.
Ketiga, golongan kaum muda aktivis yang kritis. Golongan ini memiliki kesetian diri pada jalan sunyi, yaitu jalan diluar dari semangat meanstream. Mereka melibatkan diri pada jalan idealisme, kerja-kerja pengetahuan dan advokasi ke masyarakat. Mereka juga mengeksperesikan pemikirannya melalui bergam platform. Bisa terlibat dalam organisasi kampus, organisasi gerakan ataupun terlibat dalam dunia jurnalisme alternative.
Isu-isu yang mereka garap pun sangat beragam, seperti korupsi, lingkungan, HAM dan lain-lain. Namun memang pada perkembangannya, jika kita meyaksikan keyataan hari ini, banyak aktivis yang dulunya sangat heroik di garis perjuangan massa, kini terjebak di dalam kanalisasi saluran pragmatis akibat persekutuannya dengan politik pragmatis.
Cara Baru Berpolitik
Apa yang sesungguhnnya terjadi di kalangan kaum muda sehingga perjuangan politiknya semakin terseok-seok dan terus mengalami hambatan baru? Saya melihatnya, selain absenya penguatan pendidikan politik di awal reformasi yang membuat kaum muda belum maksimal dalam berpartisipasi dalam ruang demokratisasi dan belum seluruhnya memiliki kesadaran kritis serta teroganisir dengan baik.
Satu hal yang penting adalah, set up perubahan demokratisasi di Indonesia kurang memberi ruang bagi intensi kaum muda untuk menentukan pilihan baru dalam peran politik.
Karenanya, kaum muda harus bersiasat dan mengabil peran utama dalam arena baru politik. Tidak hanya dengan melibatkan diri dalam organisasi masyarakat atau terlibat massif dalam kerja-kerja pembasisan sosial non parlementer, tetapi jauh dari itu adalah harus merebut kekuasaan.
Kaum muda, harus berani menjadi politisi muda yang kritis dengan menggengam idealisme dan melakukan intevensi langsung pada kebijakan-kebijakan Negara yang pro rakyat. Karena kaum muda adalah kekuatan perubahan itu sendiri.
Penulis Astra Tandang, Pengurus Pusat PP PMKRI Periode 2022-2024 dan Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Poltik Universitas Nasional, Jakarta.