Jakarta,verbivora.com – Ketua Lembaga Pemberdayaan Perempuan Pengurus Pusat PMKRI, Ningsih Wiko sangat menyayangkan kinerja DPR RI yang masih mandeg dalam tahap pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT).
Dalam momentum Peringatan Hari Perempuan sedunia pada hari ini, Rabu, 8/3/2023, PP PMKRI mendesak DPR RI untuk segera mengesahkan RUU PPRT sebagai upaya perlindungan hukum bagi PRT domestic, PRT migran, maupun bagi pemberi kerja.
Ningsih Wiko menjelaskan bahwa PRT memiliki peran yang sangat penting bagi pembangunan nasional karena mampu mendukung dalam sektor domestik maupun dalam skala nasional sebagai penyumbang devisa.
“Pekerja Rumah Tangga (PRT) merupakan sektor tenaga kerja yang sangat dibutuhkan di level mikro dan makro. Pada level mikro, PRT sangat dibutuhkan oleh pemberi kerja beserta dengan keluarganya dan pada level makro, PRT membantu menyumbang devisa negara bahkan TKI PRT ini mendapat julukan sebagai pahlawan devisa,”ucap Ningsih kepada tim media
“Sayangnya, peran penting tersebut masih tidak dianggap di kalangan sosial yang dibuktikan dengan masih seringnya PRT mengalami ketidakadilan gender, diskriminasi, dan kekerasan dengan beragam bentuk, termasuk kekerasan seksual,”tambahnya.
Ketua Lembaga Pemberdayaan Perempuan PP PMKRI,Elisabet Ningsih Wiko menilai bahwa diskriminasi yang dialami oleh PRT merupakan suatu bentuk pelanggaran HAM.
“PRT harus segera mendapatkan status sebagai pekerja dan diakui oleh negara serta mendapat perlindungan di bawah payung hukum. Pengesahan RUU Pelindungan PRT (RUU PPRT) sangat penting guna untuk menekan angka pelanggaran HAM yang dialami oleh PRT dari pemberi kerja,”tegasnya.
Perbudakan Modern
LPP PMKRI juga menyebutkan bahwa kekerasan HAM yang dialami PRT beserta reaksi pemerintah yang tidak terlalu tegas dalam menuntaskan kasus ini merupakan suatu gambaran perbudakan modern yang tersistematis.
“Sistem ekonomi politik global sekarang ini mampu mengubah manusia yang bermartabat menjadi barang komoditas. Seperti halnya kehadiran PRT beserta dengan fakta diskriminasi HAM yang mereka alami menyadarkan kita bahwa ini merupakan bentuk eksploitasi tenaga kerja dan kekerasan kultural yang terjadi modern ini,”jelas Ningsih Wiko.
“PRT dianggap sebagai properti atau komoditi yang tidak memiliki kebebasan. Mereka adalah manusia yang dikontrol melalui standar mekanisme kerja yang berlaku secara umum namun cenderung menguntungkan pemberi kerja dan membuat PRT menghadapi beban bertumpuk. Kondisi PRT yang berada di ranah domestic memberikan dampak eksploitasi tenaga kerja karena harus siap siaga selama 24 jam dalam melayani sang pemberi kerja. Diskriminasi yang dialami PRT ini merupakan sebuah bentuk baru perbudakan era modern,”sambungnya.
Desak Pengesahan RUU PPRT
Dalam momentum perayaan Hari Perempuan Sedunia, PP PMKRI memberikan atensi khusus kepada DPR RI untuk segera mengesahkan RUU PPRT sebagai upaya perlindungan hukum bagi PRT domestic maupun PRT migran.
“Perlindungan terhadap pekerja rumah tangga dibutuhkan, melihat hukum ketenagakerjaan di Indonesia saat ini tidak secara khusus dan tegas mengatur tentang pekerja rumah tangga. Percepatan pengesahan RUU PPRT ini harus terus diupayakan supaya bisa memberikan payung hukum atas pekerja rumah tangga yang rentan kehilangan hak-haknya sebagai pekerja. Lemahnya payung hukum bagi PRT turut berimbas pada lemahnya kedudukan mereka selama bekerja,”jelasnya.
Ketua LPP PP PMKRI menjelaskan bahwa peraturan perundangan yang mengatur tentang perlindngan hukum bagi pekerja rumah tangga selama ini hanya diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker). Sehingga tidak ada payung hukum yang kuat dalam memberikan perlindungan serta pengakuan bagi pekerja rumah tangga itu sendiri.
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan belum mengatur tentang pekerja rumah tangga, termasuk hak-haknya. Itu sebabnya pengesahan RUU ini menjadi penting karena sebagai bentuk pengakuan dan keberpihakan negara kepada para pekerja rumah tangga domestik yang jumlahnya mencapai 4,2 juta orang.
Selain itu, keberadaan RUU PPRT ini juga dimaksudkan untuk membangun ekosistem kerja yang baik antara pekerja dan majikannya, yakni dengan mengedepankan prinsip-prinsip kemanusiaan dalam hubungan kerja tersebut. Serta diharapkan RUU ini dapat mengatur tentang standarisasi profesi PRT melalui pendidikan dan pelatihan yang memadai.
Ketua Lembaga Pemberdayaan Perempuan PP PMKRI, Ningsih Wiko berharap agar RUU PPRT ini tidak memisahkan faktor kekerabatan dalam sektor pekerja rumah tangga.
“RUU PPRT ini tidak boleh memisahkan faktor-faktor kekerabatan. Profesionalitas dalam sektor pekerja rumah tangga ini juga harus mampu dijelaskan dalam RUU PPRT karena pada umumnya pekerja rumah tangga yang ada di Indonesia masih memiliki hubungan darah dengan pemberi kerja,”ujar Ningsih Wiko.