Bogor, Verbivora.com – Dinamika politik menjelang Pilpres dan Pilkada serentak tahun 2024 ini penuh dengan peristiwa yang tidak biasa. Sejak bergabungnya oposisi ke dalam pemerintahan Jokowi pada periode kedua, nyaris tidak ada “check and balance” setiap kebijakan publiknya.
Hari-hari ini publik dipertontonkan dengan drama-drama koalisi pencapresan oleh kekuasaan. Berangkat dari pernyataan Jokowi sebelumnya akan “cawe-cawe mendukung salah satu capres; putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai batas usia pencapresan; serta anaknya Presiden Jokowi Widodo, Gibran Rakabuming Raka yang merupakan Walikota Solo menjadi bakal Calon Wakil Presiden berpasangan dengan bakal Calon Presiden Prabowo Subianto memunculkan kontrovesi.
Benteng demokrasi bangsa kita yakni institusi Mahkamah Konstitusi yang seharusnya bertindak netral, faktanya Ketua MK Anwar Usman yang adalah pamannya Gibran tendesius berlaku sebaliknya. Ada yang berpendapat keputusan MK meaning full artinya memberi angin segar bagi kaum muda untuk bisa ikut berkompetisi dalam politik.
Baca:Putusan MK: Ada Optimisme di Balik Keengganan Kaum Muda Berpolitik
Gibran telah menjadi Cawapresnya Prabowo, sebagian orang mengklaim bahwa itu mewakili anak muda sejauh tidak bertentangan dengan konstitusi. Ya benar tidak menyalahi aturan. Tapi apakah prosesnya tidak menyalahi aturan? Siapa yang akan bertanggung jawab soal itu. Apapun itu, apabila kita coba menggunakan akal sehat kemudian sekedar mengajukan pertanyaan seperti ini, jika Gibran bukan anak presiden, apakah bisa dicalonkan atau lebih jauh lagi apakah ada putusan MK yang sekontrovesi itu? karena itu, kita tidak bisa memisahkan persoalan MK dan Cawapres, antara Anwar Usman dengan Gibran pada saat yang sama.
Menurut data yang dituturkan oleh Andi Widjajanto ex Gubernur Lemhanas pada sebuah acara podcast (2 November 2023). Sebanyak 88% Publik dalam waktu 24 jam setelah putusan MK mengenai batas usia pencapresan memberi komentar negatif terhadap putusan MK tersebut. Angka ini merupakan angka tertinggi pertama setelah Omnibus law 86% publik negatif.
Ketika kita menggunakan pendekatan kausalitas, tentu peristiwa-peristiwa di atas ada motifnya, isu presiden tiga periode, perpanjang masa jabatan tentu menjadi asal muasalnya. Isu yang kian senter ini dipandang akan merusak suasana berdemokrasi kita. Ada kelompok yang berusaha merongrong demokrasi. Sebuah perilaku yang ahistoris terhadap reformasi. Demokrasi yang hampir matang ini coba dikebiri oleh kaum tirani yang telah dibutakan kekuasaan. kekuasaan itu nikmat betul sampai-sampai segala daya upaya dipakai bahkan dengan cara menginjak-injak demokrasi dan konstitusi demi melanggengkan kekuasaannya. Cukup dengan akal sehat saja untuk memahami gejolak ini. Sayangnya, ada beberapa kelompok pemuda hanya melihat dengan kacamata polos atau mungkin melihatnya hitam putih.
Demokrasi Dipertaruhkan Jokowi
Demokrasi yang diperjuangkan sejak era reformasi kian mendung di akhir masa jabatan presiden Jokowi, apakah awan yang mendung ini akan mengakibatkan hujan atau mungkin badai petir? Ya. Pikiran alam bawah sadar publik telah terbenam jauh oleh kekecewaan. Ada perasaan tidak adil dalam sanubari publik. Ada bibit-bibit pemberontakan.
Semua orang punya hak berpolitik dan kami menghormati hak politiknya. Oleh sebab itu, apabila dilihat dari segi etika berorganisasi. Perihal Kaesang Pangarep, putra Presiden Jokowi ditunjuk menjadi Ketua salah satu Partai Politik setelah jelang dua hari Ia mendapatkan Kartu Tanda Anggota. Ada beberapa anak muda ikut tergabung dengan mengklaim mewakili anak muda. Cara-cara konservatif tersebut dilakukan oleh anak muda. Bahkan konon katanya, ada beberapa anak muda yang telah berorganisasi bertahun-tahun di Organisasi Kemahasiswaan memilih dengan kesadaran penuh pada partai tersebut yang notabene ketua umum partainya tidak dipilih berdasarkan budaya organisasi pada umumnya. Tak lazim. Menurut kami partai tersebut tidaklah muda meski semboyannya mewakili anak muda, karena masih mempraktikan cara-cara konservatif, cara-cara lama.
Fenomena pemimpin yang tidak berproses dengan benar atau anorganisatoris menjadi kebalikan dari Jokowi. Jokowi berproses dengan baik dari bawah ke atas. Seharusnya teladan ini diteruskan oleh anak-anaknya. Hal di atas mengusik kewarasan berpikir. Pada dasarnya itu adalah hak semua orang. Kami tetap menghormati hak mereka. Karena negara ini demokrasi.
Untuk itu, perlu ada penguatan demokrasi yang berarti perluasan demokrasi. Semua orang memiliki kesempatan yang sama. Tidak boleh ada privilege, tidak boleh ada fasilitas-fasilitas khusus, tidak boleh ada rekayasa-rekayasa kekuasaan sehingga anaknya si “A” akan mudah mencapai posisi tertentu pada saat kompetisinya diatur, di saat yang sama kompetensinya mungkin kalah dengan orang lain. Siapa yang berkompetisi tanpa kompetensi adalah budak peradaban. Ide dari demokrasi adalah harus kembali kepada rakyat yang artinya kesempatan yang sama bagi semua orang. Seorang anak petani pun bisa mencapai presiden jika berkompeten.
Baca:Menpora RI Dito Ariotedjo Siap Mendukung Konferensi Studi Nasional PMKRI di Denpasar
Langit demokrasi yang mendung di akhir masa jabatan Presiden Jokowi apakah akan berakhir setelah putusan MK tanggal 7 November 2023, ataukah mendungnya tidak dapat menahan bobot air hujan sehingga menyebabkan hujan, ataukah mendung tersebut berubah menjadi badai dan petir?. Pada akhirnya kami mengutip sebuah kalimat indah dari sesesorang. Kira-kira bunyinya begini, “Perampok mungkin bisa merusak kebun bunga tapi ia tidak dapat menahan tibanya musim semi.”
Apa yang perlu kita lakukan? Seperti yang ditulis oleh Albert Camus dalam bukunya berjudul “The Myth of Sisyphus”. Sisipus adalah dewa yang dikutuk untuk mendorong batu ke atas bukit lalu diguling batu itu kembali ke bawah bukit. Sama seperti sisipus, kita harus membayangkan diri kita adalah Sisipus. Sisipus adalah kita. Kita tak pernah dapat memahami kenapa kita dilempar ke dunia tanpa ada arah dan tujuan, seperti takdir. Karena Sisipus memberontak, maka kitapun harus berontak. Berontak terhadap makna, terhadap keadaan yang menyerobot batas-batas kewarasan kita. Sebab pemberontakan itu sama dengan kebebasan.
Baca:Agnes Laratmase Terpilih Sebagai Ketua Presidium PMKRI Cabang Manado Periode 2023-2025
Kita sebagai organisasi pengkaderan yang berlandaskan pada intelektual dan didorong oleh semangat kaum muda, apakah menutup mata bahkan diam terhadap persoalan MK, terhadap perilaku-perilaku kekuasaan yang tidak mencerminkan teladan kepemimpinan yang baik dan benar? Siapa yang harus kita jadikan rujukan inpirasi kepemimpinan ketika Presiden Jokowi tidak bisa dipegang lagi kata-katanya. Ketika penguasa-penguasa dibutakan oleh kepentingan keluarga. Mana harus kita percayai ketika Mahkamah Konstitusipun tidak bisa netral.
Apakah kita menerima keadaan seperti itu wahai para intelektual muda? Siapa yang ingin kau dustai.
Dari tiga paslon capres dan cawapres tersebut dalam visi-misi yang ditawarkan nyaris bahkan absen terhadap isu HAM dan lingkungan di Tanah Papua. Kami berharap ketiga pasangan capres dan cawapres memasukan isu Papua ke dalam program kerja presiden dan wakil presiden berikutnya.
Oleh: PMKRI Cabang Bogor dalam diskusi bertajuk “Awan Mendung Demokrasi di Akhir Pemerintahan Jokowi? bertempat di Asrama Marga Putra Bogor, Minggu (5/11/2023) sore.