Gandeng SPI, PP PMKRI Gelar Diskusi Cegah Radikalisme

CEGAH RADIKALISME, JAKRTA, vebivora.com – Dalam rangka menjaga kebhinekaan dari ancaman radikalisme di Indonesia, Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PP PMKRI) bersama Stundent Peace Institute (SPI), menggelar diskusi kebangsaan di Gedung Margasiswa PMKRI, Jl. Dr. Samratulangie No.1, Jakarta Pusat, Senin (9/01/2016).

Gandeng SPI, PP PMKRI Gelar Diskusi Cegah Radikalisme
Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PP PMKRI) bersama Stundent Peace Institute (SPI), menggelar diskusi kebangsaan di Gedung Margasiswa PMKRI, Jl. Dr Samratulangie No.1, Jakarta Pusat -Foto: Andy Tandang

Diskusi bertajuk ‘Mengkawal Kebhinekaan Indonesia Dari Ancaman Radikalisme’ ini, menghadirkan empat nara sumber diantaranya, Ketua Umum PP PMKRI Angelius Wake Kako, Direktur Eksekutif SPI Doddy Abdallah, Koordinator Rumah Pelita Slamet Abidin, Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai dan  Pakar Perbandingan Agama Dr. Media Zainun Bahri.

Angelus Wake Kako dalam kesempatan tersebut menekankan soal fakta kebhinekaan yang merupakan nilai luhur bangsa Indonesia yang mesti dijaga dan dirawat oleh segenap anak bangsa. Ia menegaskan, tugas untuk mengkawal kbhinekaan dan menjaga harmoni kebangsaan dari ancaman radikalisme merupakan tanggung jawab bersama warga negara.

“Perbedaan itu sudah ada dari awal terbentuknya negara Indonesia. Hal tersebut telah terakumulasi dalam Pancasila yang menjadi pijakan hidup bernegara kita. Telah menjadi tugas bersama seluruh warga negara untuk mengkawal kebhinekaan dari ancaman radikalisme yang ingin memecah belah persatuan Indonesia,” ungkapnya.

Sementara itu, Doddy Abdallah lebih melihat radikalisme semacam virus yang mengancam dan bahkan bisa mematikan. Virus tersebut, katanya, telah menyebar ke dalam prilaku warga negara khusunya pada kelompok usia dini seperti pelajar dan mahasiswa. Karena itu, SPI sendiri kata Doddy, mempunyai tanggung jawab untuk menghilangkan virus-virus tersebut.

“Doktrin radikalisme sudah ada pada usia-usia dini khusunya dikalangan pelajar dan mahasiswa. Radikalisme itu virus yang membahayakan. Kami telah melakukan aksi-aksi konkrit seperti sosialisasi terhadap pelajar, agar mereka memahami secara baik makna dan nilai dari kebhinekaan itu sendiri,” ungkapnya.

Slamet Abidin dalam kesempatan tersebut lebih menyoroti kehadiran Front Pembela Islam (FPI) yang dinilai telah merusak citra baik Islam di Indonesia. Tak hanya itu, ia juga mengingatkan bahwa potensi perpecahan di tubuh NKRI semakin tinggi apabila kehadiran kelompok ini tidak dilihat secara serius oleh negara.

“Riziq Shihab adalah sosok yang bisa menimbulkan perpecahan dengan ujaran kebencian, penistaan dan pemaksaan kehendak. Karena itu orang-orang seperti ini tidak boleh ada di Indonesia. Tokoh agam yang seharusnya menjaga toleransi,” ungkap Slamet.

Sorotan yang berbeda dari Natalius Pigai. Komisoner Komnas HAM ini lebih melihat negara yang bertanggung jawab dalam setiap persoalan yang terjadi di Indonesia termasuk radikalisme. Kehadiran negara menurutnya, bisa termanifestasi dalam pembuatan kebijakan dan regulasi yang jelas dan adil untuk melindungi hak asasi warga negaranya.

“Negara harus hadir dalam menjaga kebhinekaan. Negara juga wajib menjaga hak warga negaranya serta memenuhi kewajibannya. Rakyat tidak pernah bersalah, yang salah adalah negara,” pungkasnya.

Menutupi diskusi tersebut, Dr.Media Zainun Bahri mengajak seluruh audiensi untuk secara inklusif dan obyektif melihat dan memahami dogma-dogma iman yang berbeda. Perbandingan agama, kata dia, sangat dibutuhkan dalam menjaga kebhinekaan.

“Dengan mampu memahami setiap keyakinan orang lain dalam dogma keyakinanan yang berbeda, pemahaman yang keliru akan orang lain akan bisa diatasi. Karena itu dibutuhkan sikap inklusifitas dalam memahami setiap ajaran agama yang berbeda,” ungkap Media.* (AT)

RELATED ARTICLES

Most Popular