Pro dan Kontra Pelibatan TNI Dalam RUU Terorisme Serta Penerbitan PERPPU Terorisme

Foto. Dok. Priadi

Oleh : Dionisius
Shandy Tara*

Pada
beberapa hari lalu kita digegerkan dengan aksi terorisme di
Mako Brimob, gereja dan
markas polisi.
Di
tengah situasi indonesia yang panas setelah aksi terorisme, Presiden
Jokowi menekan DPR untuk
segera merampungkan RUU Terorisme dan mengancam mengeluarkan PERPPU serta
mendapatkansaran pelibatan TNI harus dimasukan dalam pasal RUU Terorisme,
pada akhirnya
muncul pro kontra di tengah publik perihal pelibatan TNI dalam RUU Terorisme
dan penerbitan perppu.

Di sini saya mencoba
mengkaji dan menganalisa secara konstitusi beserta dampak dari pelibatan TNI
dalam perumusan RUU Terorisme serta menganalisa frasa kegentingan yang mendesak
yang merujuk pada perppu yang akan dicanangkan jika RUU tidak selesai.

PELIBATAN TNI DALAM
RUU TERORISME

Berbicara konstitusi
dalam penyusunan suatu UU harus menjadi landasan dan harus melihat banyak
rujukan tidak serta merta asal merumuskan saja UU.

Menurut hemat saya
ada 2 persoalan yang membuat legitimasi pelibatan tni dalam ruu terorisme tidak
memiliki dasar yang kuat , yaitu

1. Berbenturan dengan
supremasi sipil atas militer
, 2. Akan berbenturan
dengan hakekat tata ruang pengadilan umum
.

Sebelum
saya berbicara ke 2 point diatas , saya ingin meluruskan paham sebagaian
masyarakt awam bahwasannya jika pelibatan TNI dalam RUU Terorisme tidak
terakomodir maka keterlibatan TNI dalam pemberantasan terorisme dibatasi oleh
UU ,  dan bahwa ada sekat yang kuat
terhadap UU dan Eksistensi TNI dalam pemberantasan Terorisme. Stigma dan
paradigma itu yang kemudian keliru.

TNI
bisa dilibatkan dalam penanganan terorisme sesuai dengan uu no 34 tahun 2004
dengan syarat harus ada keputusan presiden menimbang jika kedaulatan negara
dalam keadaan secara nyata terancam maka TNI di mungkinkan ikut terlibat
pemberantasan aksi terorisme.

Jadi , ada 3 syarat
mendasar TNI perihal memberantas terorisme

1. Harus berdasarkan
keputusan politik presiden
, 2. Jika keutuhan
kedaulatan teritorial secara nyata terancam
, 3.Ketika komponen
pemerintah lainnya tidak bisa menangani aksi terorisme

contoh
kasus

Operasi Tinombala tahun
2016-sekarang adalah operasi dalam melakukan perburuan terhadap kelompok
Mujahidin Indonesia Timur (MID) yang diketuai Santoso di Poso, Sulawesi Tengah.
 Di sini
TNI bersinergi dengan POLRI terlibat dalam operasi pemberantasan  .

Supremasi Sipil Atas Militer

Tentunya  sekarang kita hidup di era reformasi dan
sistem demokrasi . Supremasi sipil adalah bagian dari instrumen demokrasi bahwasannya  otoritas tertinggi militer adalah sipil yaitu
Presiden sebagai daulat rakyat .

Penyebutan
supremasi sipil secara jelas dicantumkan dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang
TNI, pada Bab II Jati Diri, Pasal 2, huruf d berbunyi sebagai berikut, Tentara
Profesional, yaitu tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik,
tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta
mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi
sipil
, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional
yang telah diratifikasi.

Jika tni dimasukan
dalam point RUU , TNI akan bertindak secara eksplisit tidak sesuai dengan
prinsip supremasi sipil yang berarti panglima tertinggi TNI adalah otoritas sipil
yakni presiden.

 Sebagai sebuah kebijakan dan keputusan politik
negara, maka termasuk dalam memberantas terorisme adalah keputusan ad hoc dan
temporer oleh suatu situasi darurat dimana terorisme dianggap mengancam
kedaulatan negara. 

Jika
pelibatan TNI dipermanenkan dalam RUU Antiterorisme, sama artinya menyerahkan
otoritas sipil pada militer untuk waktu yang tidak terbatas, karena itu
bertentangan dengan prinsip supremasi sipil yang menjadi bagian dari sistem
demokrasi .

Tata Ruang Peradilan Umum

Jika
pelibatan TNI dimasukan dalam RUU Terorisme bahwa jelas TNI akan bergerak
secara eksplisit tanpa otoritas tertinngi yaitu presiden.

Saya berpendapat
pelibatan TNI secara eksplisit harus ditolak dengan alasan merusak sistem
peradilan pidana. 

Terorisme
adalah “crime” yang harus diatasi dengan pendekatan hukum yang selama ini
terbukti mampu mengurai jejaring terorisme dan mencegah puluhan rencana aksi
terorisme.

Menurut
saya keterlibatan TNI akan memperlemah akseptabilitas dan akuntabilitas kinerja
pemberantasan terorisme, karena TNI tidak tunduk dan bukan aktor dalam sistem
peradilan pidana terpadu. 

Tidak
ada hak uji (habeas corpus) atas tindakan paksa yang dilakukan oleh TNI. Serta
jika terbukti anggota TNI melakukan tindak pidana maka tidak bisa dibawa ke
pengadilan umum melainkan ke pengadilan militer yang tertutup dan tidak mungkin
oknum terkait bisa mendapatkan imunitas.

Jika
ini terjadi akan membahayakan demokrasi, HAM, dan profesionalitas TNI itu
sendiri.

Kesimpulan :

Pelibatan
TNI dalam RUU Terorisme sebenarnya tidak usah dimasukan lagi karena akan
tumpang tindih dengan UU No 34 Tahun 2004 terkait
penanganan terorisme .

TNI
tetap harus terlibat aktif dalam penanganan terorisme tetapi harus ada batasan
dan tetap kembali kepada otoritas presiden sesuai amanat UU No 34 Taahun 2004 .

Kegentingan Secara
Nasional dan PERPPU Terorisme

Kegentingan
menurut KBBI adalah keadaan yang genting , krisis dan kemelut
. Serta kata genting
mnurut KBBI adalah berbahaya (tentang keadaan yang mungkin segera menimbulkan
bencana perang dan sebagainya.

Dalam
mengajukan perppu, Pemerintah harus menimbang dari frasa ‘’Kegentingan yang
memaksa ‘’

Hal ihwal
kegentingan yang memaksa yang menjadi pertimbangan dikeluarkannya sebuah Perppu
alasannya bersifat subjektif, di masa datang, alasan-alasan yang menjadi
pertimbangan Presiden untuk mengeluarkan sebuah Perppu harus lebih didasarkan
pada kondisi objektif bangsa dan negara yang tercermin dalam konsiderans
‘menimbang’ dari Perppu yang bersangkutan.

Tafsir
MK mengenai  ‘kegentingan yang memaksa’ yaitu,

1. Adanya keadaan yaitu
kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan
undang-undang.
2. Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan
hukum atau ada undang-undang tetapi tidak memadai.
3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat
undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup
lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk
diselesaikan.

Dari
ketiga point diatas menurut hemat saya berpendapat legitimasi Presiden dalam
membuat PERPPU kurang kuat dikarenakan,


1. Alasan
presiden mencanangkan penerbitan perppu karena harus ada langkah preventif dalam menangani terorisme. Jika dilihat dari segi waktu presiden
sudah terlambat mengeluarkan perppu karena perppu bersifat darurat dan
reaksioner

contoh
kasus :

Perppu
nomor 1 tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme. Perppu
tersebut dikeluarkan pemerintah pasca terjadinya ledakan bom Bali tahun 2002.
Perppu tersebut dikeluarkan lantaran tidak ada pasal dalam KUHP yang
menjelaskan secara rinci tentang kejahatan terorisme.
   

“Ketentuan ini tidak memadai, oleh karena itu pemerintah mengeluarkan
Perppu soal terorisme pukul 01.30 WIB dan aparat menangkapi para teroris itu
pukul 03.00 WIB dini hari. Jadi perppu bersifat darurat dan reaksioner.


2. Sudah
ada payung hukum terkait tindak terorisme yaitu UU NO.15 Tahun 2003, maka dari
itu aspek
kekosongan hukum yangmenjadi syarat terbantahkan.

Jadi, menurut saya sangatlah
gegabah jika langkah preventif yang disarankan berbagai pihak langsung
ditanggap presiden dengan perppu , ada baiknya ini dimasukan ke dalam RUU Terorisme
karena langkah preventif adalah sesuatu yang tidak darurat dan tidak bersifat
reaksioner karena ini adalah langkah
pencegahan bukan penindakan
serta tidak masuk kategori kegentingan yang
memaksa . 

Perlu
direvisi RUU Terorisme serta dimasukan saran yaitu adanya langkah preventif,
deradikalisasi tahanan serta Rehabilitasi yang memadahi sehingga dapat
diminimalisir aksi Terorisme di indonesia.

*Penulis
adalah Presidium Gerakan Kemasyarakatan PMKRI Cabang Jakarta Barat.

RELATED ARTICLES

Most Popular