Ket: Firman Jaya Daeli sedang menyampaikan materinya pada diskusi publik yang diselenggarakan oleh PP PMKRI pada Sabtu, 1 September 2018 di Aula Margasiswa 1. |
JAKARTA, verbivora.com- Diskursus kebangsaan dalam perpolitikan Indonesia akhir-akhir ini
menuai banyak persoalan. Aspek rasionalitas raib bersama menguatnya politisasi
SARA yang jelas membawa dampak buruk bagi pihak tertentu. Selain berdampak
buruk, politisasi SARA justru mengkotak-kotakkan manusia berdasarkan asal-usul,
agama, ras, suku, golongan dan bahkan wilayah geografis.
Dan kondisi ini
diperparah dalam momen politik di mana isu SARA digunakan dengan begitu masif
oleh para politisi untuk mendulang dukungan dan simpati rakyat. Agama menjadi
salah satu unsur yang paling laku dijual.
“Agama bukan lagi
menjadi jalan bagaimana manusia berelasi dengan Allah dan sesama melainkan
berubah menjadi komoditas politik. Alhasil, kekuatan mayoritas menjadi
pengendali kekuasaan. Negara seolah telah kehilangan basis legitimasi karena
tunduk pada kehendak mayoritas,” ungkap Alfred Nabal dalam sambutannya mewakili
PP PMKRI pada diskusi publik yang bertempat di Aula Margasiswa 1, Menteng,
Jakarta Pusat. Sabtu (1 September 2018).
“Beberapa bukti bisa
kita lihat, mulai dari pilkada DKI setahun silam sampai pada pilkada serentak
yang baru selesai dilakukan. Seolah Jakarta menjadi patron yang baik untuk
berpolitik sehingga yang di daerah pun ikut-ikutan bermain isu SARA,” sambung
ketua Lembaga Kajian Penelitian dan Pengembangan PP PMKRI tersebut.
Diskusi publik dengan
tema “Menakar Peluang Politisasi Isu SARA Menuju Pilpres 2019” yang
dimoderatori oleh Orin Lado Wea tersebut menghadirkan beberapa pemateri seperti
Firman Jaya Daeli (politisi PDIP dan mantan anggota komisi politik dan hukum
DPR RI), Martin Hutabarat (anggota DPR RI fraksi Gerindra), Hadi Suprapto Rusli
(Pengamat Politik Indo Barometer), Rohim Ghazali (LHKP PP Muhammadiyah).
Dalam diskusi tersebut
semua pembicara menyampaikan, politisasi isu SARA akan tetap ada dalam setiap
perhelatan demokrasi, hanya kali ini kadarnya lebih kecil karena
pilihan-pilihan politik yang dimainkan pada ranah nasional.
Hal tersebut diakui
oleh Firman Jaya Daeli, politisi PDIP dan mantan anggota komisi politik dan
hukum DPR RI. Dalam materi diskusinya Firman mengatakan bahwa isu SARA telebih isu
agama dalam kontestasi Pilpres 2019 tetap akan dimainkan namun kali ini
kadarnya lebih kecil mengingat Jokowi telah menggandeng Ma’ruf Amin yang dipercaya
bisa menyatukan umat dan meredam isu agama di kontestasi Pilpres 2019 mendatang.
Dia juga
mengatakan, Ma’ruf merupakan sosok yang kaya pengalaman di sejumlah institusi
legislatif dan pemerintahan. Selain itu Ma’ruf juga tokoh yang bijaksana.
Politisi PDIP ini juga
menghimbau agar generasi milenial khususnya kaum muda harus bisa membangun satu
kesepahaman dalam menjaga keutuhan bangsa karena hal itulah yang perlu dipertahankan
dan dapat mencegah gerakan radikalisme dan ideologi lain yang mau mengoyak ideologi
Pancasila.
Diskusi tersebut
diakhiri dengan penyerahan piagam kepada pemateri oleh PP PMKRI.
“Sebagai generasi
Sadar Pemilu, PMKRI terpanggil untuk mengawal proses ini agar berjalan damai
dan aman. Strategi apapun dari masing-masing kubu harus tetap berdiri di atas
fondasi kebersamaan. Perbedaan dan keberagaman harus menjadi embrio persatuan
dalam membangun bangsa yang beradab dan maju,” kata Orin Lado Wea selaku moderator di akhir diskusi.