Gusdurian dan Ciganjur; Sebuah Tafsir Personal

Ket. Gus Aan Anshori. (Sumber Foto; https://yqueerfscamp2014.wordpress.com)


“Nek pengen melok gerakan politik praktisnya Gus Dur,
nang Yenny wae, Mas. Nek melu aku, gak oleh ngomong politik praktis,” kata
Mbak Alissa, imam kedua Ciganjur setelah bu Sinta Nuriyah, suatu ketika. Yenny
Wahid adalah imam ketiga, Anita Wahid dan Inayah Wahid adalah imam keempat dan
kelima, berurutan.
“Lho katanya Gusdurian netral, kok ndukung salah satu
capres?” tanya temanku. Begini, sepanjang yang aku pahami, Gusdurian
adalah para pengagum sekaligus penerus perjuangan Gus Dur. Kata itu sifatnya
generik. Siapapun boleh mengklaim dirinya sebagai  Gusdurian, kecuali undang-undang menentukan
lain.
Secara umum, menurutku, Gusdurian dibagi dua; Ciganjur dan
non-Ciganjur. Gusdurian non-Ciganjur adalah mereka yang tidak mengikuti arahan
langsung dari Ciganjur namun tetap merasa mengamalkan ajaran Gus Dur. Contoh
yang paling ekstrim adalah Cak Imin.
Pria ini adalah figur paling unik. Dibesarkan dan dididik
berpolitik (protege) langsung oleh Gus Dur, namun ia juga merupakan
satu-satunya orang yang sanggup membuat Gus Dur mengeluarkan surat pernyataan
keras menyangkut dirinya. Isinya, selama PKB masih dipimpin olehnya maka partai
ini dilarang menggunakan apapun yang berkaitan dengan Gus Dur demi mendulang
suara. Aku masih simpan foto suratnya. Namun harap jangan dipelintir aku tidak
suka dengan PKB. Itu dua hal yang berbeda.
Kembali ke soal Gusdurian faksi Ciganjur. Di dalam keluarga
ini, ada 5 imam sebagaimana yang aku jelaskan di atas. Kelimanya berbagi peran
untuk merawat dan meneruskan perjuangan Gus Dur. Setiap imam punya pengikut
masing-masing. Pengikutnya, tentu bisa disebut Gusdurian juga.
Yang paling menonjol gerakannya ada 3 orang; bu Sinta Nuriyah
dengan Puan Amal Hayati, Alissa Wahid dengan Jaringan GUSDURian (JGD) dan tentu
saja Yenny Wahid dengan Barisan Kader (Barikade) Gus Dur.
Yang aku pahami, Mbak Yenny kedapuk meneruskan ide dan
gerakan politik praktis Gus Dur. Mendesain parpol, berelasi antarelit parpol,
maupun mendistribusi kadernya ke parpol, itu urusan dia.
Di sisi lain, ada Alissa Wahid. Dialah yang diberi mandat
merawat perjuangan Gus Dur dalam aspek non-politik praktis. Perempuan ini
“menjahit” ratusan anak muda (dan senior) untuk tumbuh bersama. Tidak
untuk membangun sebuah partai, namun menciptakan barisan masyarakat sipil,
dalam arti gerakan kritis non-pemerintah dan non-partisan. Alissa meneruskan
perjuangan panjang Gus Dur jauh sebelum pria ini mendirikan PKB.
Apakah Jaringan GUSDURian yang dikomandani Alissa Wahid bukan
sekedar kedok saja, untuk menyuplai gerakan politik yang dikomandani Yenny?
Rasanya kok tidak. Sekitar enam tahunan berproses bersama Jaringan GUSDURian,
aku tidak merasakan skenario itu.
Justru yang terberat di Jaringan GUSDURian ini, menurutku,
adalah keharusan non-aktif dari JGD kalau aktifisnya ingin berproses di parpol,
misalnya nyaleg. “Jangan bawa-bawa GUSDURian di arena kontestasi politik
praktis!” Itu kuncinya. Oleh sebab itu, cukup mudah mengidentifikasi mana
pasukannya Alissa dan Yenny. Pasukan Alissa terlihat dari gesture dan
kosakatanya; LSM banget! — pengorganisasian, pendidikan kritis, advokasi dan hal-hal
seputar itu. Bahkan tak jarang orang-orangnya sangat kritis pada partai
politik.
Jadi, kalau ada orang yang mendeklarasikan diri sebagai
Gusdurian, maka tanyalah “Ciganjur atau non-Ciganjur?” Jika dijawab
“Ciganjur” maka susuli dengan pertanyaan lanjutan “Siapa
Imamnya?” Dari sini akan kelihatan rantai komando dan karakternya.
Terhadap semua pengikut para imam Ciganjur, aku selalu
melihatnya sebagai keluarga besar di mana persaudaraan harus terus digelorakan.
Misalnya, beberapa bulan lalu aku dengar ada kelompok MAFINDO. Di dalamnya ada
Mbak Anita Wahid. Maka siapapun yang berkecimpung di sana, aku anggap Gusdurian
dan kami beririsan di pusaran Ciganjur meski beda imam. “Oooo genknya Mbak
Anit ya..” atau “Oooo pasukannya Mbak Yenny ya” atau
“Oalah..kamu orangnya ibuk to” Kata “ibuk” merujuk kepada
bu Sinta Nuriyah.
Yang tak kalah penting, dalam perspektifku, berelasi dengan
gerakan Ciganjur adalah kesediaan untuk melayani (khidmat) dan berkorban.
Bahkan tidak jarang harus menerima kenyatan untuk “disalib” karena
memperjuangkan sebuah prinsip, sebagaimana Gus Dur atau Ahok.
Sekali lagi, Gusduriannya Mbak Yenny itu berpolitik praktis
melalui Barikade Gus Dur. Sedangkan Jaringan GUSDURian-nya Mbak Alissa tidak
berpolitik praktis. Arah gerakan 2 imam dan 3 imam Ciganjur lain adalah SAMA;
merawat dan meneruskan cita-cita Gus Dur. Caranya saja yang berbeda. 

Oleh: Gus Aan Anshori, kordinator Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD), aktifis GUSDURian    

RELATED ARTICLES

Most Popular