Menuju Pilpres yang Damai Berlandaskan Nilai Kebangsaan

Ket. Epenk Djawang. (Foto. Dok. Pribadi)
Manusia
sebagai makhluk politik tidak bisa berdiri sendiri dalam kehidupannya dengan
masyarakat dan organisasi sosial, sehingga dalam realitas kehidupannya, manusia
memiliki kecenderungan untuk berelasi dengan orang lain.  Setiap manusia dibekali oleh akal untuk dapat
mempertahankan hidupnya dan mencapai cita – cita yang diinginkan dengan
merencanakan dan menyusun strategi dalam bertindak untuk merealisasikan
keinginannya tersebut.
Makna
politik sebenarnya adalah kebebasan. Bebas dari pengendalian mekanisme alamiah,
bebas dari dominasi hirarkis, lalu masuk ke dalam ruang publik sebagai orang
yang autentik. Jadi, berpolitik adalah tindakan politis yang dilakukan dalam
ruang publik.
Pengertian
politik secara umum adalah sebuah tahapan untuk membentuk atau membangun
posisi-posisi kekuasaan didalam masyarakat yang berguna sebagai pengambil
keputusan-keputusan yang terkait dengan kondisi masyarakat. Atau tindakan dari
suatu kelompok individu mengenai suatu masalah dari masyarakat atau negara.
Melek Literasi Politik dan Komunikasi
Etis di Pilpres 2019
Menjelang
momentum Pilpres 2019, masyarakat Indonesia saat ini dihadapkan pada narasi dan
isu-isu politik menuju kontestasi Pilpres 2019. Sayangnya, isu-isu yang
berkembang saat ini lebih cenderung terhadap isu “SARA” dengan tujuan
memecah belah suatu kelompok atau golongan tertentu. Isu SARA memiliki efek
yang memadai untuk elektabilitas seseorang.

Politik
berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) menjadi salah satu hal
yang paling diwaspadai menjelang tahun politik. Isu SARA perlu diantisipasi
agar tidak mencederai polapikir masyarakat terhadap politik ataupun terhadap
salah satu kandidat. 
Dalam
Undang-Undang Pemilu, telah dijelaskan bahwa penghinaan terhadap etnis, agama,
dan lainnya adalah sesuatu yang dilarang.

Oleh
karena itu perlu adanya pemahaman terhadap politik identitas. Yang
pertama,  kita harus mengetahui penyebab
dari politik identitas itu sendiri. Penyebabnya ialah adanya kesenjangan
ekonomi, buruknya kelembagaan politik, adanya polarisasi politik, dan rendahnya
literasi (literasi Politik dan Komunikasi etis).
Tanpa
literasi politik dan komunikasi etis, seseorang akan gagal membandingkan opini
dan fakta. Antara pemberitaan dan penyebarluasan kabar bohong lewat konstruksi yang
begitu massif seoleh sebuah fakta yang terjadi di Indonesia. Oleh karena itu
seharusnya dibangun nalar kritis masyarakat sehingga dapat mempertimbangkan isu-isu
yang berkembang dan membedakan antara yang benar dan berita bohong (hoax).

Dengan
demikian masyarakat tidak akan mudah terpancing dengan adu domba yang bisa
merusak persatuan dan kesatuan bangsa. 
Politisasi
SARA dampaknya sangat besar karena akan mengakibatkan konflik horizontal. Isu
SARA ini menjadi narasi besar karena dikapitalisasi oleh elite politik.

Sebagai
negara majemuk dengan beragam suku, ras, agama dan golongan, Indonesia menjadi
negara paling rawan terhadap konflik SARA. Perbedaan pandangan antar kelompok
masyarakat di suatu wilayah (geopolitik) kerap menjadi pemicu pecahnya bentrok
antar mereka. 
Namun,
di tengah konflik itu ada saja orang yang memanfaatkan situasi sehingga menjadi
konflik yang berkepanjangan. Salah satu contohnya adalah Konflik antar agama
yang terjadi di Ambon.

Berkaca pada Konflik Ambon dan Pilkada
DKI
Konflik
berbau agama paling tragis meletup pada tahun 1999 silam. Konflik dan
pertikaian yang melanda masyarakat Ambon-Lease sejak Januari 1999, telah
berkembang menjadi aksi kekerasan brutal yang merenggut ribuan jiwa dan
menghancurkan semua tatanan kehidupan bermasyarakat.
Konflik
tersebut kemudian meluas dan menjadi kerusuhan hebat antara umat Islam dan
Kristen yang berujung pada banyaknya orang yang meregang nyawa. Kedua kubu berbeda
agama ini saling serang dan bakar membakar bangunan serta sarana ibadah.
Saat
itu, ABRI dianggap gagal menangani konflik dan merebak isu bahwa situasi itu
sengaja dibiarkan berlanjut untuk mengalihkan isu-isu besar lainnya. Kerusuhan
yang merusak tatanan kerukunan antar umat beragama di Ambon itu berlangsung
cukup lama sehingga menjadi isu sensitif hingga saat ini.
Berdasarkan
contoh diatas, maka untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan akibat dari
pecah belah atau politik devide et impera
yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu, maka Masyarakat harus lebih selektif
dalam menerima informasi dari berbagai media sosial. Jangan mudah terprovokasi
oleh isu-isu yang viral di media sosial. Di sisi lain masyarakat juga harus
melakukan fungsi controling terhadap isu – isu yang berkembang sehingga ketika
ada isu yang mengandung SARA ataupun Hoax yang mengundang konflik maka harus
segera dilaporkan kepada pihak yang berwajib.
Baik
isu SARA ataupun penyebar luasan berita palsu telah termuat dalam Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. (UU Anti
SARA)  Juga Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. (UU anti Hoax)
Ketika
isu-isu SARA semakin menguat dan politik identitas menguat, maka akan ada yang
merasa terintimidasi. Ada yang kebebasan pendapatnya menjadi terhalang, menjadi
takut ketika mengemukakan pendapat. isu SARA dan politik identitas pasti
sengaja dibuat secara politik dan itu meniscayakan bahwa kelompok yang satu lebih
baik dan paling hebat sedangkan yang lain subordinat.

Tentu
menjelang Pilpres 2019 ini pasti ada saja oknum yang sengaja memainkan politik
SARA untuk mencari dukungan dari sejumlah pihak serta memanfaatkan situasi yang
ada sebagai upaya mendapatkan kekuasaan.
Oknum
tersebut tak lain dan tak bukan adalah bagian dari politisi. Ia mengarahkan
kepada rakyat supaya membenci kepada penganut agama atau suku tertentu.

Kita
bisa melihat hal – hal yang sudah terjadi sebelumnya yaitu pada saat Pilkada
DKI. Sekitar 71% warga Jakarta mengaku khawatir dengan semakin menguatnya isu
SARA selama Pilkada DKI Jakarta, seperti terungkap dalam sebuah survei.

Berdasarkan
Survei yang dilakukan Populi Center setelah Pilkada DKI Jakarta putaran
pertama, menunjukkan isu SARA yang digunakan dalam Pilkada Jakarta antara lain
munculnya himbauan untuk tidak memilih calon Muslim dan masalah tidak
mensalatkan jenazah. 
Selain
memisahkan masyarakat, isu SARA menurut Direktur Populi Center, juga membuat
masyarakat terintimidasi. Dalam kampanye pada saat itu, tidak ada pendidikan
politik. Namun yang ada adalah pembusukan dalam marwah demokrasi kita sehingga
masyarakat semakin intoleran terhadap salah satu kandidat.

Dampak
dari politisasi SARA yaitu hubungan antar masyarakat akan rusak. Timbulnya sikap
kecurigaan dan ketidakpercayaan dalam realitas sosialnya. Politik berbau SARA
membuat proses Pilkada berjalan tidak baik dan penuh kecurigaan yang merusak kedewasaan
demokrasi bangsa kita.

Meningkatkan Kewaspadaan Terhadap
Politisasi Isu SARA
Selain
meningkatkan kewaspadaan akan berkembangnya isu SARA menjelang momentum Pilpres
2019 ini, suatu hal yang juga harus dihindari adalah politik uang (money politic).  Politik uang dan juga politisasi SARA akan
berdampak negatif terhadap masyarakat. Sebab, politik uang akan menciptakan
potensi tindak pidana korupsi dalam penyelenggaran pemerintahaan. Sedangkan
politisasi SARA akan menciptakan garis demarkasi antar hubungan sosial
masyarakat  Indonesia yang majemuk. Berkaca
dari konflik sosial berbasis SARA yang terjadi di tanah air ini, saatnya sesama
anak bangsa mengembalikan keniscayaan bangsa kita yang majemuk, karena hal
inilah merupakan kekuatan dan kekayaan bangsa kita yang tidak ternilai
harganya.
Politik
uang dan politisasi isu suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) jangan sampai
menodai Pilpres tahun ini. Pilpres harus kita kawal agar terbebas dari isu SARA
dan politik uang agar berjalan dengan demokratis, jujur, dan adil. Dengan
demikian akan menghasilkan pemimpin yang berkualitas.

Indonesia
adalah negara yang memiliki Ideologi Pancasila dengan berlandaskan pada aspek religius
dan sosial. 

Inti dari Pancasila adalah budaya gotongroyong. Untuk membangun
negara kita yang tercinta ini, kita tidak bisa hanya bergantung pada
pemerintah.  
Oleh karena itu harus ada keseimbangan antara rakyat dan perintah
sehingga terciptanya harmonisasi antar seluruh elemen.

Masyarakat
Indonesia harus tetap menjunjung tinggi Bhineka Tunggal Ika dan persatuan
meskipun akhir-akhir ini ideologi transnasional merasuk dalam sendi-sendi
kebangsaan kita. Oleh karena itu mari kita menjaga persatuan antar seluruh
elemen masyarakat dan menjauhi isu-isu SARA yang akan menimbulkan perpecahan antar golongan.
Mari
Memilih pemimpin yang Demokratis, humanis, egaliter, dan sosialis sehingga cita-cita para Founding Fathers kita dapat tercapai dan regenerasi kita
berikutnya dapat merasakan poin ke-5 dari Pancasila yakni Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.

Salam #Kita_Indonesia

*Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Bung Karno dan Presidium Pengembangan Organisasi PMKRI Jakarta Pusat periode 2018/2019.

RELATED ARTICLES

Most Popular